Bak Main Gim Harvest Moon, Petani Urus Kebun Lewat Gawai
Tantangan regenerasi petani antara lain terkait stigma bahwa petani adalah profesi yang tak menguntungkan kendati telah diusahakan melalui kerja keras di lapangan. Namun, stigma ini bisa diempas dengan teknologi.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
Sambil duduk di atas panggung ”Kompasfest 2023: Creation”, pendiri Petani Muda Keren AA Gede Agung Wedhatama P yang berasal dari Bali menunjukkan ponselnya kepada hadirin. ”Bertani saat ini persis seperti bermain gim Harvest Moon. Dari sini, saya bisa mengontrol dan mengecek kebun. Kebun ini bisa saya siram otomatis. Namun, kalau di sana hujan, sensor akan membuat kebun tak perlu disiram secara otomatis pula,” tuturnya di Senayan Park, Jakarta.
Aplikasi ponsel yang mampu ”mengurus” lahan pertanian dari jarak jauh itu ditunjukkan di sela sesi konferensi bertema ”Local Innovators: The Agriculture Heroes” yang digelar harian Kompas, Sabtu (17/6/2023). Wedha berharap cara bertani yang praktis dan modern itu menjadi bukti sekaligus magnet bagi generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian.
Harvest Moon merupakan gim yang mengisahkan aktivitas bertani dan beternak dari karakter utama. Gim itu menggambarkan si karakter yang tinggal di rumah dengan lahan pertanian di sekelilingnya. Aktivitas pertanian yang ditunjukkan antara lain menggarap lahan, menebar benih, menyiram, panen, hingga menjual hasil panennya.
Menurut dia, sektor pertanian dapat menjadi salah satu ladang produktif yang digarap kaum muda agar Indonesia dapat menikmati bonus demografi pada tahun-tahun mendatang. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memproyeksikan, sebanyak 64 persen dari populasi Indonesia pada 2030-2040 berada di rentang usia produktif (15-64 tahun). Oleh sebab itu, dia berharap jumlah anak muda di pertanian mencapai 50 persen dari populasi petani secara total di Indonesia.
Survei Pertanian Antarsensus 2018 dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah rumah tangga usaha pertanian mencapai 27,68 juta kepala keluarga. Sebanyak 64,19 persen di antaranya atau sekitar 17,77 juta kepala keluarga petani berusia 45 tahun ke atas. Adapun total jumlah kepala keluarga petani berusia 25-44 tahun sebanyak 9,63 juta jiwa atau berkisar 34,81 persen dari seluruh rumah tangga usaha tani.
Oleh sebab itu, agar pertanian dapat memikat lebih banyak anak muda, Wedha menerapkan, mencontohkan, sekaligus mempromosikan cara bertani cerdas yang mencakup aspek budaya, keuangan, dan teknologi. Dari segi budaya, dia mengedepankan cara bertani organik karena bahan kimia buatan menggerus produktivitas lahan.
Di sisi keuangan, dia menilai, usaha tani yang penghasilannya empat bulan sekali sulit dilirik oleh kaum muda. Dengan demikian, petani perlu memiliki sumber penghasilan yang bersifat harian, mingguan, hingga bulanan yang dapat diperoleh dengan metode tumpang sari dan pengaturan waktu tanam. Petani juga mesti berorientasi pasar dengan memenuhi permintaan dari segi kuantitas, kualitas, dan kontinuitas sehingga membutuhkan komunitas yang dapat mengumpulkan komoditas hasil produksi secara kolektif.
Petani mesti berorientasi pasar dengan memenuhi permintaan dari segi kuantitas, kualitas, dan kontinuitas.
Tantangan regenerasi pertanian saat ini, lanjut dia, bersumber dari stigma petani yang kerja lelah dan panas-panasan. Stigma ini dapat diempas oleh teknologi. Dia mengilustrasikan, waktu menyiram lahan seluas 1.000 meter persegi membutuhkan waktu 4-8 jam dan petani mesti membawa selang ke mana-mana.
”Sekarang, dengan teknologi yang diterapkan pada sistem irigasi, menyiram lahan seluas itu hanya cukup memencet tombol lalu penyiraman berlangsung selama 15 menit. Bertani jadi asyik,” katanya sambil tersenyum lebar.
Minat petani muda pada teknologi tecermin dalam penelitian Diah F Widhiningsih dari Universitas Gadjah Mada yang berjudul ”Young Farmers’Knowledge and Technical Practice on Developing Farming Based n Parents’Occupation” dan terbit pada 2019. Riset itu menyebutkan, sebanyak 63,41 persen petani muda yang menjadi responden telah menerapkan teknologi dalam praktik pertaniannya. Adapun penelitian itu menyurvei 42 petani berusia di bawah 36 tahun di Prambanan dan Kalasan, Yogyakarta.
Wedha menyebutkan, alat-alat yang diterapkan dalam pertanian cerdas terdiri dari pompa, sprinkler, dripper, dan remote control unit. Secara fundamental, alat-alat tersebut membutuhkan pasokan listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Secara khusus, Executive Vice President Penjualan dan Pelayanan Pelanggan Retail PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tonny Bellamy menyebutkan, PLN memiliki program Electrifying Agriculture dalam rangka mendukung pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan yang memanfaatkan teknologi, digitalisasi, serta internet segalanya (internet of things). Program ini dapat mengubah perilaku petani, meningkatkan produktivitas, serta menghemat biaya operasional.
Program itu turut mengganti tenaga diesel menjadi listrik, salah satunya pada irigasi pompa. Dengan diesel, petani mesti mengeluarkan ongkos sebesar Rp 10 juta per bulan, sedangkan biaya untuk irigasi pompa dengan listrik hanya Rp 1,6 juta per bulan. Artinya, biaya bulanan menjadi lebih hemat. Penggantian diesel itu, menurut Tonny, turut menekan jumlah limbah yang dihasilkan.
Artinya, Tonny menilai, generasi muda dan tua tidak perlu khawatir jika ingin mentransformasikan cara bertaninya dengan memanfaatkan teknologi. PLN juga sudah membangun ekosistem yang menopang program tersebut dari hulu ke hilir lewat fasilitas pemasaran dan lokapasar dalam aplikasi PLN Mobile.
Data PLN menunjukkan, per Mei 2023 jumlah pelanggan program Electrifying Agriculture mencapai 212.014 identitas dengan jumlah total daya terpasang mencapai 3.411 megawatt jam (MWh). Total pendapatan pelanggan program tersebut mencapai Rp 2,57 triliun. Hingga akhir 2022, PLN telah mengimplementasikan 109 program tersebut di 24 provinsi.
Kementerian Pertanian menargetkan terdapat 2,5 juta petani milenial sepanjang tahun 2019-2024.
Koordinator Bagian Hubungan Masyarakat Kementerian Pertanian (Kementan) M Arief Cahyono mengatakan, Kementan menargetkan terdapat 2,5 juta petani milenial sepanjang tahun 2019-2024. Hingga saat ini, dia memperkirakan, jumlah petani milenial yang sudah terjun ke pertanian mencapai 500.000 orang. Harapannya, cara bertani modern yang sarat dengan teknologi dan mampu mendekatkan petani pada pasar dapat menggaet generasi muda ke sektor pertanian.
Setiap pekan, kata Arief, Kementan juga mengadakan sejumlah pelatihan untuk mendukung target tersebut dari sisi teknis bertani hingga menjangkau akses pasar. ”Kami mengawal pendampingan dengan harapan dapat menambah kepercayaan diri petani muda dalam memperluas akses pasar,” ujarnya.
Pertanian dengan teknologi memang mengasyikkan asalkan pasokan listrik yang menjadi sumber dayanya andal dan terjaga. Semoga kawan muda yang terjun ke pertanian menemukan keasyikan dan kebanggaan menjadi petani.