RI Lewatkan Momentum Raup DHE Besar
Meskipun telah melewatkan potensi meraup devisa hasil ekspor (DHE) besar pada 2022, RI masih berpeluang mendapatkan DHE pada tahun ini. Namun, DHE itu tidak akan sebesar tahun lalu karena ekspor diperkirakan melambat.
JAKARTA, KOMPAS —Indonesia sudah melewatkan momentum meraup devisa hasil ekspor atau DHE bernilai besar karena surplus neraca perdagangan mulai mengecil. Namun, peluang mendapatkan DHE masih tetap ada di tengah risiko pelambatan permintaan global.
Kebijakan DHE itu juga dapat bermanfaat kala siklus kenaikan atau booming komoditas kembali terulang di masa depan. Namun, agar optimal, kebijakan itu perlu dibarengi diversifikasi pasar dan produk ekspor berbasis hilirisasi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Gambir Trade Talks #10 bertema ”Memanfaatkan Devisa Hasil Ekspor Sebagai Instrumen Pertumbuhan Ekonomi Nasional yang digelar Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan secara hibrida di Jakarta, Rabu (21/6/2023). Kegiatan itu dihadiri sejumlah narasumber dari kalangan ekonom, pemerintah, dan eksportir.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro mengatakan, surplus perdagangan Indonesia pada 2022 sangat besar, yakni mencapai 54,46 miliar dollar AS. Hal itu ditopang kenaikan harga komoditas global, termasuk komoditas ekspor unggulan Indonesia, seperti batubara, minyak sawit mentah (CPO), dan besi baja.
Akan tetapi, surplus perdagangan itu tidak terefleksi pada peningkatan dana pihak ketiga (DPK) valuta asing (valas). DPK valas relatif stagnan, sedangkan kenaikan harga komoditas yang berpengaruh pada surplus neraca perdagangan pada tahun 2022 tidak menambah DPK secara signifikan.
Baca juga: Surplus Dagang Menipis, Permintaan Dinilai Kian Pulih
Dengan surplus sebesar itu, kata Andry, DHE yang bisa diraup Indonesia sebenarnya besar. Namun, penambahan term deposit (TD) valuta asing DHE di perbankan pada 2022 hanya sekitar 7 miliar dollar AS.
”RI telah melewatkan momentum besar itu untuk meraup DHE semaksimal mungkin. Meski terlambat, kebijakan DHE itu juga dapat bermanfaat di masa depan kala siklus booming komoditas kembali terulang,” ujarnya.
RI telah melewatkan momentum besar itu untuk meraup DHE semaksimal mungkin. Meski terlambat, kebijakan DHE itu juga dapat bermanfaat di masa depan kala siklus booming komoditas kembali terulang.
Tim ekonom Bank Mandiri mencatat, rasio DPK valas terhadap ekspor komoditas sumber daya alam (SDA) yang disasar sebagai sumber DHE dalam lima tahun terakhir, yakni kurun 2018-2022, berada di kisaran 0,3 persen hingga 5,9 persen. Rasionya pada 2018 sebesar 0,37 persen dan pada 2021 meningkat menjadi 5,9 persen. Namun, pada 2022, rasionya turun menjadi 3,32 persen.
Meski begitu, lanjut Andry, Indonesia masih bisa meraup DHE pada 2023. Surplus neraca perdagangan pada tahun ini masih cukup besar meskipun berpotensi turun dibandingkan tahun lalu.
Potensi ekspor komoditas SDA yang disasar sebagai sumber DHE juga masih cukup besar. Dari total ekspor pada triwulan I-2023 yang sebesar 67,1 miliar dollar AS, nilai ekspor komoditas SDA sekitar 43,8 miliar dollar AS. Rasio DPK valas terhadap ekspor SDA pada periode itu 12,77 persen.
Baca juga: Mudiknya Devisa Hasil Ekspor
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan menuturkan, tahun ini perekonomian global akan tumbuh lambat sehingga dapat memengaruhi permintaan global. Hal itu dibarengi tren penurunan harga komoditas global.
Kondisi itu dapat berpangruh terhadap kinerja ekspor dan cadangan devisa Indonesia. Namun, pemerintah optimistis tetap dapat mengumpulkan DHE komoditas SDA tahun ini. ”Indonesia masih memiliki modal besar surplus neraca perdagangan tahun ini meskipun nilainya tak sebesar tahun lalu,” ujarnya.
Berdasarkan kajian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dalam skenario dasar, ekspor pada tahun ini hanya akan tumbuh 12,8 persen. Pertumbuhan ekspor itu turun separuhnya dibandingkan ekspor tahun lalu yang tumbuh 26,07 persen. Sementara dalam skenario terburuk, ekspor diperkirakan terkontraksi atau tumbuh minus 14,97 persen.
Dalam skenario dasar, ekspor pada tahun ini hanya akan tumbuh 12,8 persen. Pertumbuhan ekspor itu turun separuhnya dibandingkan ekspor tahun lalu yang tumbuh 26,07 persen.
Ferry menambahkan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah mitigasi, antara lain, penajaman strategi ekspor dan percepatan hilirisasi. Strategi ekspor tersebut mencakup diversifikasi pasar dan produk ekspor bernilai tambah tinggi.
”Agar cadangan devisa dalam bentuk dollar AS tidak cepat tergerus, pemerintah dan Bank Indonesia terus mendorong penggunaan mata uang lokal atau masing-masing negara untuk transaksi perdagangan,” katanya.
Baca juga: ”Dedolarisasi” dalam Perdagangan Bilateral Tuai Sejumlah Tantangan
Perjelas insentif
Dalam diskusi itu juga terungkap, pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang DHE yang baru pada 1 Juli 2023. Regulasi itu akan menggantikan Peraturan Pemerintah PP Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan atau Pengolahan SDA.
Regulasi itu akan menyasar DHE komoditas SDA, baik mentah maupun olahan, sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Nilai DHE komoditas SDA dengan Pemberitahuan Pabean Ekspor (PPE) lebih dari atau sama dengan 250.000 dollar AS wajib ditempatkan di perbankan, Bank Indonesia (BI), atau di instrumen keuangan lain selama tiga bulan. DHE yang disimpan tersebut sebesar 30 persen dari total ekspor.
DHE yang disimpan itu bisa memperkuat cadangan devisa negara, menstabilkan nilai tukar rupiah, dan menggerakkan perekonomian nasional. DHE yang disimpan di bank dapat digulirkan ke sektor riil, baik untuk modal kerja maupun pembiayaan ekspor.
Pemerintah juga berencana memberikan insentif atas penempatan DHE di dalam negeri. Insentif itu antara lain berupa tarif pajak khusus, percepatan layanan ekspor, dan penetapan eksportir sebagai eksportir bereputasi baik.
Baca juga: Pemerintah Kaji Insentif Khusus Eksportir Manufaktur
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno berharap agar penerapan regulasi baru DHE tidak kontra produktif. Jangan sampai regulasi tersebut membebani kas perusahaan.
Pemerintah juga telah menjanjikan insentif. Namun, kejelasan insentif itu belum disampaikan ke eksportir. Saat ini, para pelaku usaha tengah menunggu bentuk konkret insentifnya.
”Kami berharap insentif itu bisa berupa bunga valas yang lebih menguntungkan dibandingkan bank-bank di luar negeri, khususnya, bank di Singapura. Kalau bunganya masih di kisaran 1 persen, masih kalah jauh dari bank di Singapura yang saat ini menawarkan bunga 4-5 persen,” katanya.
Selain itu, lanjut Benny, pemerintah juga perlu mencermati perusahaan-perusahaan yang mendapatkan pembiayaan dari bank-bank asing di luar Indonesia. Secara otomatis, sebagian besar uang hasil ekspor akan balik ke bank-bank tersebut. Banyak juga perusahaan di Indonesia yang menginduk ke perusahaan asing di luar negeri sehingga uang hasil ekspor juga akan balik ke perusahaan itu.