Regulasi Hambat Cita-cita Swasembada Daging Sapi Nasional
Impor sapi tidak boleh hanya bersumber dari satu negara karena sangat berisiko bagi Indonesia. Sementara itu, impor sapi indukan dari negara lain masih terkendala perizinan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak dicanangkan pada tahun 2000 atau sejak hampir seperempat abad lalu, cita-cita swasembada daging sapi nasional belum kunjung terwujud. Upaya untuk menambah populasi sapi kini terhambat oleh regulasi berupa Undang-Undang Cipta Kerja. Oleh karena itu, pemerintah diminta merumuskan kembali strategi untuk mencapai swasembada.
Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang merevisi Pasal 36C UU No 41/2014 tentang Perubahan atas UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU Cipta Kerja menyatakan bahwa impor ternak indukan mesti berasal dari negara yang bebas dari penyakit hewan menular.
Terkait hal itu, Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Ali Agus berpendapat, regulasi yang ada memungkinkan Indonesia untuk mengimpor sapi indukan hanya dari Australia dan Amerika Serikat. Saat ini, sebesar 100 persen impor sapi indukan Indonesia masih berasal dari Australia.
”Swasembada daging sapi nasional butuh populasi sapi yang banyak pula. Sapi indukan dibutuhkan untuk melahirkan sapi-sapi bakalan, yang nantinya akan dipotong dan diolah menjadi daging,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (20/6/2023).
Populasi sapi indukan Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi nasional. Oleh karena itu, impor sapi masih harus dilakukan, terutama indukannya untuk pemanfaatan jangka panjang. Impor sapi yang berasal dari satu negara dominan akan membuat Indonesia rentan terjebak pada kebergantungan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, sekitar 45 persen daging sapi impor Indonesia didatangkan dari Australia. Dari total impor daging sapi RI yang mencapai 273.532 ton, sebanyak 122.863 ton berasal dari Australia. Tingginya kebergantungan Indonesia pada Australia juga tergambar dari banyaknya impor sapi hidup. Merujuk data Departemen Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Australia, setiap tahun lebih dari separuh dari total ekspor sapi hidup Australia dikirim ke Indonesia.
Negara asal impor tidak boleh hanya bersumber dari satu negara, yaitu Australia, karena sangat berisiko bagi Indonesia. Sebab, ketika Australia dilanda bencana yang berdampak pada peternakan sapi, stok sapi Indonesia akan menurun dan berimbas pada kenaikan harga.
”Dominasi satu atau dua negara sebagai asal impor RI tidak baik dari segi bisnis dan kerja sama antarnegara. Hal tersebut juga membuat produksi dan harga menjadi tidak kompetitif,” kata Ali.
Oleh karena itu, regulasi yang ada jangan sampai menghambat pemenuhan kebutuhan nasional. Regulasi bisa dirumuskan atau dibuat aturan turunan agar dapat mengakomodasi banyak negara sebagai asal impor. Hal ini mengingat masih banyak negara selain Australia yang memiliki stok sapi dalam jumlah besar, misalnya Brasil dan Meksiko.
Merujuk data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) per April 2023, stok sapi India mencapai 307,5 juta ekor sapi, Brasil (194,36 juta ekor sapi), dan China (101,5 juta) menempati posisi tiga teratas negara dengan jumlah sapi terbesar. Kemudian disusul Uni Eropa (74,85 juta ekor sapi), Argentina (53,12 juta ekor sapi), Australia (25,8 juta ekor sapi), Meksiko (17,8 juta ekor sapi), dan Rusia (17,43 juta ekor sapi).
Menurut Ali, swasembada daging sapi nasional seolah mimpi yang tak akan terwujud sejak dicanangkan tahun 2000. Program tersebut butuh strategi hingga arah baru yang relevan dengan kondisi saat ini.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Robi Agustiar. Menurut dia, program swasembada daging nasional butuh evaluasi dan pembaruan data agar kebijakan yang diambil lebih tepat. ”Perbaruan data mencakup tingkat konsumsi daging sapi beserta pasokan nasional. Data tersebut perlu digunakan sebagai acuan untuk penentuan jumlah impor baik daging sapi maupun sapi hidup,” katanya.
Selain Australia, opsi impor sapi hidup juga perlu dibuka untuk negara lainnya. Untuk pembatasan negara impor, lanjut Robi, lebih baik diarahkan pada komoditas daging yang diduga sebagai sumber penyakit mulut dan kuku (PMK). Kendati begitu, penyebab merebaknya PMK di Indonesia belum diketahui secara pasti hingga kini.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menyebutkan, sebaiknya pemerintah impor sapi hidup ketimbang dalam bentuk daging beku. Hal ini untuk mendorong aspek keberlanjutan dan memastikan sektor peternakan daging sapi terus berjalan.
”Sebaliknya, banyaknya daging impor yang masuk ke pasar domestik berimbas pada lesunya ternak sapi dalam negeri. Ini juga menyurutkan pendapatan sejumlah sektor ekonomi yang berhubungan dengan peternakan sapi,” ujarnya.
Selain itu, negara asal impor tidak boleh hanya bersumber dari satu negara, yakni Australia, karena sangat berisiko bagi Indonesia. Sebab, ketika Australia dilanda bencana yang berdampak pada peternakan sapi, stok sapi Indonesia akan menurun dan berimbas pada kenaikan harga. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mempertimbangkan sejumlah aspek saat mengimpor dari negara lain, khususnya jaminan bebas PMK.
Kompas telah menghubungi Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Nasrullah, tetapi ia mengarahkan untuk berkoordinasi dengan bagian Humas Ditjen PKH Kementan. Sementara itu, hingga Selasa (20/6/2023) pukul 20.00, pihak Humas Ditjen PKH belum menjawab pertanyaan yang telah dikirimkan Kompas.