Ketidakjelasan Pembayaran Utang Minyak Goreng Picu Spekulasi Negatif
Spekulasi negatif seperti ketidakinginan pemerintah untuk membayar hingga terdapat motif politik muncul akibat ketakjelasan pembayaran utang selisih harga minyak goreng. Di sisi lain, uang untuk membayar sudah tersedia.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakjelasan pembayaran utang pengadaan minyak goreng kemasan yang berlarut-larut oleh pemerintah memicu berbagai spekulasi negatif dari para peritel. Dugaan tidak ada keinginan membayar hingga motif politik pun mencuat. Padahal, uang untuk membayar utang sudah tersedia, tetapi perlu menunggu keputusan Kementerian Perdagangan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan, belum ada titik terang terkait pembayaran utang pemerintah kepada peritel untuk pengadaan minyak goreng kemasan selama 2022 sebesar Rp 344 miliar. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa Menteri PerdaganganZulkifli Hasan tidak ingin membayar hingga akhir periodenya.
”Sudah berlarut-larut. Bisa jadi, ini asumsi saja ya, Menteri Perdagangan ingin beban utang diberikan kepada menteri selanjutnya. Hal ini mengingat aturan pengadaan minyak goreng juga tidak dibuat saat periodenya,” ujar Roy saat dihubungi di Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), pemerintah akan membayar biaya yang ditanggung pengusaha untuk menyediakan minyak goreng kemasan yang harganya saat itu Rp 17.000-Rp 24.000 per liter, kemudian dijual Rp 14.000 per liter.
Selisih harga itu ditanggung oleh 31 perusahaan ritel anggota Aprindo dan perlu dibayarkan. Sebelum pembayaran dilakukan, aturan sudah tergantikan oleh Permendag No 6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Namun, pada Pasal 10 Permendag No 6/2022 disebutkan bahwa pelaku usaha yang terdaftar dalam Permendag No 3/2022 masih dapat menyelesaikan tugasnya untuk mengadakan minyak goreng kemasan hingga 31 Januari 2022.
”Hal ini (Pasal 10 Permendag No 6/2022) yang jarang disinggung oleh Menteri Perdagangan. Kami menduga ada hal-hal lain yang menjadi penyebab mengapa pemerintah tidak ingin membayar utangnya,” kata Roy.
Kalau Kemendagnya oke, bayar, kami akan bayarkan. Dananya sudah ada, bahkan untuk dua versi klaim dan hasil verifikasi.
Oleh karena itu, Aprindo akan mengambil langkah yang signifikan, tegas, dan terukur untuk kasus rafaksi–selisih harga–minyak goreng yang belum selesai dan berlarut-larut ini. Sebab, kasus ini akan menjadi preseden buruk yang juga berdampak berdampak pada iklim bisnis dan investasi.
Sebelum membayar, Kementerian Perdagangan menyatakan perlu meminta legal opinion (LO) dari Kejaksaan Agung. Dalam LO tersebut, Kementerian Perdagangan diminta untuk membayar rafaksi minyak goreng kepada pelaku usaha, yakni produsen dan peritel modern yang juga anggota Aprindo.
Dalam rapat dengan Komisi VI DPR, Selasa (6/6/2023), Zulkifli Hasan mengungkapkan keinginan untuk membayar. Kendati begitu, perlu dilakukan audit terhadap BPDPKS terlebih dahulu. Hal ini mengingat terdapat selisih harga untuk total pembayaran rafaksi minyak goreng yang harus dibayar kepada peritel.
Nilai rafaksi minyak goreng yang diklaim oleh 54 pelaku usaha kepada BPDPKS mencapai Rp 812 miliar. Sementara itu, nilai rafaksi yang sudah diverifikasi Sucofindo hanya Rp 478 miliar atau 58,43 persen dari total nilai.
Perbedaan antara klaim dan hasil verifikasi, kata Zulkifli, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, klaim penyaluran rafaksi yang tidak dilengkapi bukti penjualan sampai dengan ke pengecer, biaya distribusi dan ongkos angkut yang tidak dapat diyakini. Selain itu, penyaluran rafaksi minyak goreng yang melebihi 31 Januari 2022.
Sementara itu, Kepala Divisi Usaha Kecil Menengah Koperasi (UKMK) BPDPKS Helmi Muhansah menuturkan, pihaknya telah siap untuk membayarkan selisih rafaksi minyak goreng kepada produsen dan peritel. Kendati begitu, BPDPKS terkendala dalam aturan dan rekomendasi Kemendag.
”Kalau Kementerian Perdagangan oke, bayar, kami akan bayarkan. Dananya sudah ada, bahkan untuk dua versi klaim dan hasil verifikasi,” ujar Helmi.