Pencarian Alternatif Pasar Produk Sawit Butuh Upaya Berkelanjutan
Untuk mengganti Uni Eropa sebagai tujuan ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya butuh waktu relatif lama. Peningkatan ekspor ke Mediterania, Timur Tengah, Asia Selatan dan Eurasia, bisa jadi pilihan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hambatan dagang memperberat beban penerimaan sawit Indonesia di Uni Eropa. Pencarian alternatif berupa pangsa pasar baru dan penguatan pasar domestik diperkirakan membutuhkan waktu relatif lama untuk menggeser posisi Uni Eropa.
Salah satu hambatan dagang itu adalah Undang-Undang Uni Eropa tentang Deforestasi (EUDR). Aturan itu menyasar minyak sawit dan produk turunannya, arang, kopi, kedelai, kakao, daging sapi, dan kayu. Setiap eksportir harus menyerahkan dokumen uji tuntas dan verifikasi yang menjamin produk-produknya tidak berasal dari kawasan hasil penggundulan hutan mulai 1 Januari 2021 dan seterusnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, volume ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya naik dari 34,5 juta ton pada 2021 menjadi 35,52 juta ton pada 2022. Hal itu juga berlaku untuk nilai ekspor CPO dan produk turunannya yang naik dari 37,22 miliar dollar AS atau Rp 554,69 triliun pada 2021 menjadi 41,32 miliar dollar AS atau Rp 615,79 triliun pada 2022.
Kendati begitu, Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyebutkan, volume ekspor CPO dan produk turunannya, secara spesifik ke Uni Eropa (UE), turun dari 5,5 juta ton pada 2021 menjadi 3,75 juta ton pada 2022. Penurunan volume ekspor menuju Uni Eropa tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga Malaysia.
”Hal ini dipengaruhi rangkaian hambatan dagang yang diterapkan oleh UE untuk komoditas CPO dan turunannya,” ujarnya dalam diskusi ”Promosi Sawit Sehat dan Pengumuman Lomba Kreasi Makanan UKMK serta Masyarakat” di Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Hambatan dagang itu memaksa Indonesia untuk mencari pangsa pasar baru. Di antaranya, negara-negara di kawasan Mediterania, Timur Tengah, Asia Selatan, hingga Uni Ekonomi Eurasia. Ekspor CPO dan produk turunannya ke negara-negara tersebut dapat ditingkatkan lebih signifikan.
Dibutuhkan upaya panjang dan berkelanjutan untuk diversifikasi pasar ekspor CPO dan produk turunannya. Hal ini mengingat rata-rata ekspor produk sawit Indonesia ke EU yang sebesar 3,75 ton per tahun tidak mudah untuk dialihkan dalam waktu singkat.
Untuk memasuki pasar Rusia yang tergabung dalam Uni Ekonomi Eurasia, juga terdapat cukup banyak hambatan. Hambatan tersebut berupa sistem transaksi, angkutan logistik, hingga kampanye hitam terkait CPO dan produk turunannya di Rusia.
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya panjang dan berkelanjutan untuk diversifikasi pasar ekspor CPO dan produk turunannya. Hal ini mengingat rata-rata ekspor produk sawit Indonesia ke EU yang sebesar 3,75 ton per tahun tidak mudah untuk dialihkan dalam waktu singkat.
Di sisi lain, pasar domestik juga bisa menjadi modal awal untuk menyerap produk sawit dalam negeri. Hal ini termasuk peningkatan campuran bahan bakar solar dengan minyak nabati sebesar 35 persen (B35) menjadi B40.
”Kalau bisa ditingkatkan jadi B40 bisa menyerap 1,5 juta ton CPO. Namun, hal itu masih butuh analisis lebih lanjut mengenai kemanfaatannya,” ucap Fadhil.
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Farid Amir menuturkan, hambatan dagang perlu diselesaikan melalui diplomasi antarpemerintah (G2G) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), antara pemerintah dan pengusaha (G2B), organisasi internasional, dan negara mitra. Selain itu, pelaku usaha memerlukan bimbingan untuk memenuhi persyaratan dalam EUDR.
”Pasar-pasar potensial di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika, juga perlu dibuka melalui hubungan diplomasi dan perundingan perjanjian dagang,” katanya.
Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Berly Martawardaya menyebutkan, kondisi perekonomian UE saat ini memaksa mereka untuk meningkatkan konsumsi internal. Seperti diketahui, minyak nabati dari bunga matahari dan kedelai cukup dominan ketersediaannya di UE.
Penerapan EUDR dinilai sejumlah kalangan sebagai hambatan dagang nontarif. Regulasi itu membuat pelaku usaha yang ingin ekspor ke UE perlu menambah panjang mekanisme, waktu, dan biaya.
Saat dilaksanakan, EUDR akan menerapkan sistem ketelusuran (traceability) bagi produk yang disasar. Hal ini mulai dari pelacakan rantai pasok, distribusi, hingga sumber produk. Bagi pengusaha besar, hal tersebut hanya menambah biaya produksi, sedangkan pengusaha kecil akan terbebani dengan biaya tambahan.
”Jadi ada banyak beban baru yang termuat dalam EUDR. Misalnya untuk memeriksa apakah lahan petani sawit terindikasi berasal dari deforestasi dapat dilakukan melalui pantauan citra satelit,” ungkap Berly.
EUDR cenderung menguntungkan perusahaan di UE yang mudah untuk beradaptasi. Namun, hal itu cenderung membebani masyarakat UE karena kehilangan pilihan dan harga menjadi mahal.