Ketimbang Kompetisi, Negara di Asia Tenggara Bisa Kembangkan Panel Surya Bersama
Indonesia beserta negara di Asia Tenggara lainnya bisa mengembangkan ekosistem energi terbarukannya secara bersama. Jaringan listrik dapat dibangun untuk menghubungkan seluruh negara di Asia Tenggara.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perkembangan energi surya yang pesat membuat harga komponen penyusunnya kian kompetitif dan mampu mengundang investor. Ketimbang berkompetisi, momentum ini bisa dimanfaatkan negara di Asia Tenggara untuk mengembangkan sektor energi terbarukan masing-masing.
Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) mencatat, kapasitas energi terbarukan akan bertumbuh 440 gigawatt (GW) pada 2023 dan 550 GW tahun 2024. Total investasinya—termasuk pembangkit, kendaraan, penyimpanan, hingga jaringan listrik—diproyeksi mencapai 1,7 triliun dollar AS atau Rp 25.281 triliun. Sebanyak 382 miliar dollar AS atau Rp 5.681 triliun di antaranya merupakan investasi energi surya.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Fabby Tumiwa mengatakan, transisi energi dari energi fosil menuju terbarukan, khususnya tenaga surya, terus berlanjut. Hal itu mendorong harga komponen penyusun panel surya semakin kompetitif dan murah.
”Karena itu, industri manufaktur komponen panel surya sampai menurunkan harga produknya. Misalnya, produsen solar wafer asal China, Longi memotong 30 persen harga dan TCL Tsonghuan memotong 16-24 persen harga,” ujarnya saat membuka diskusi bertajuk ”Promoting Solar Deployment in Indonesia” di Jakarta, Senin (5/6/2023).
Penyesuaian harga komponen tersebut diikuti penurunan harga silikon polikristalin (polisilikon) pada triwulan I-2023. Penurunan harga ini menunjukkan sektor energi terbarukan semakin kompetitif dengan energi fosil. Pada saat bersamaan, hal tersebut juga meningkatkan kans investasi.
Menurut Fabby, perkembangan energi surya perlu disikapi negara di Asia Tenggara secara kooperatif, terutama dalam rantai pasok, industri, dan sistem fotovoltaik (PV)—perangkat yang mengonversi energi radiasi matahari menjadi listrik. Sebab, peningkatan permintaan energi surya harus diiringi kesiapan teknologi untuk percepatan transisi energi.
Jaringan itu dapat dihubungkan dari Laos ke Kamboja, kemudian Thailand, dilanjutkan ke Malaysia, dan akhirnya Singapura. Di sisi lain, aliran listrik menuju Filipina dapat dihubungkan melalui jaringan bawah laut.
”Kami percaya pasar Asia Tenggara cukup besar. Ketimbang berkompetisi, negara di Asia Tenggara bisa saling berinvestasi dan bekerja sama untuk membangun rantai pasok industri,” ucapnya.
Dalam hal ini, Indonesia dapat memasok silikon kelas metalurgi untuk ingot, wafer, pembuatan sel surya dan modul PV. Selain itu, industri kaca nasional juga bisa memasok temperat besi rendah (low tempered iron) untuk modul surya di Asia Tenggara.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Sustainable Energy Association of Singapore (SEAS) Edwin Khew. Dia mengatakan, Indonesia dan Singapura akan bekerjasama untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Batam, Kepulauan Riau. Kelebihan listriknya dapat dialirkan ke Singapura melalui jaringan.
”Ketika Indonesia mengekspor kelebihan listriknya ke Singapura, pada saat bersamaan dapat dibangun jaringan untuk menghubungkan listrik se-Asia Tenggara,” katanya.
Jaringan itu dapat dihubungkan dari Laos ke Kamboja, kemudian Thailand, dilanjutkan ke Malaysia, dan akhirnya Singapura. Di sisi lain, aliran listrik menuju Filipina dapat dihubungkan melalui jaringan bawah laut.
Direktur Perencanaan Sumber Daya Alam Kementerian Investasi Ratih Purbasari Kania menuturkan, dunia investasi kini beralih ke energi terbarukan, sebagaimana dikutipnya dari hasil riset Mandiri Institute 2022. Sebanyak 5.000 investor berkomitmen untuk mendukung investasi dalam ekosistem berkelanjutan.
Peralihan tren investasi ini sejalan dengan komitmen nasional untuk mencapai nol emisi pada 2060. Indonesia perlu membangun pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas total 708 GW. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan dana 1,1 triliun dollar AS (Rp 16.351 triliun) setara dengan 28,5 miliar dollar AS (Rp 423,67 triliun) per tahun hingga 2060.
”Karena itu, investor, terutama yang mengikuti tren investasi, berperan besar dalam meningkatkan bauran energi hingga 25 persen pada 2025 untuk mencapai nol emisi pada 2060,” ungkap Ratih.
Mengenai industri energi terbarukan, Indonesia dan Singapura telah menandatangani kesepakatan berupa memorandum of understanding (MoU) pada 16 Maret 2023. Kedua negara akan kemampuan industri dan manufaktur energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, PLTS dan sistem baterai penyimpanan daya (battery energy storage systems/BESS) yang dibangun akan menyuplai kebutuhan energi Indonesia dan ekspor listrik ke Singapura.