RI Perkuat Kemitraan Dagang dengan Iran dan Mesir
Meski Iran terkena embargo dari sejumlah negara barat, RI-Iran akan segera memiliki Perjanjian Tarif Preferensial. Di sisi lain, RI akan menyambangi Uni Eropa membahas Undang-undang Bebas Deforestasi pada 30-31 Mei 2023.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berupaya meningkatkan kinerja ekspor dengan menyasar sejumlah negara yang merupakan pasar ekspor nontradisional Indonesia, seperti Iran dan Mesir. RI-Iran akan segera memiliki Perjanjian Tarif Preferensial dan RI-Mesir sudah menandatangani Nota Kesepahaman Pembentukan Komite Perdagangan Bersama.
Di sisi lain, Indonesia bersama sejumlah negara produsen minyak sawit akan menyambangi Brussels, Belgia, untuk membahas mengenai Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa. RI menilai, EUDR tersebut bakal menghambat sejumlah produk ekspor andalan Indonesia.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono, Senin (22/5/2023), mengatakan, RI dan Iran akan menandatangani Perjanjian Tarif Preferensial (PTA) pada 23 Mei 2023. Penandatanganan itu bertepatan dengan kunjungan Presiden Iran Ebrahim Raisi ke Indonesia pada 23-24 Mei 2023.
”Dengan saling memberikan kemudahan akses tarif preferensial, perdagangan RI-Iran diharapkan dapat meningkat. Pada 2022, total nilai perdagangan kedua negara sebesar 257,2 juta dollar AS. RI masih membukukan surplus perdagangan dengan Iran sebesar 227,9 juta dollar AS,” katanya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Baca juga: Ekspor RI Turun akibat Pola Musiman dan Pelemahan Permintaan
PTA RI-Iran mencakup kesepakatan fasilitas tarif yang lebih rendah untuk sejumlah komoditas kedua negara. Iran akan memberikan akses yang lebih besar bagi produk-produk RI, seperti minyak nabati, makanan-minuman olahan, farmasi, karet dan produk karet, tekstil dan produk tekstil, kayu dan produk kayu, alas kaki, serta kendaraan bermotor.
Sebaliknya, RI juga akan menurunkan bea masuk sejumlah produk dari Iran. Beberapa di antaranya adalah bahan bakar mineral, minyak mentah, dan produk turunannya, bahan kimia, besi baja, farmasi, aluminium, mesin, peralatan mekanik, makanan olahan, buah-buahan, kacang-kacangan, gandum, dan produk perikanan.
Dalam perjanjian itu, RI-Iran juga menyepakati imbal dagang yang diusulkan Indonesia menjadi bagian dari PTA. Imbal dagang memungkinkan pelaku usaha kedua negara berdagang secara bilateral tanpa terkendala kelangkaan atau kesulitan mata uang karena ada kemudahan failitas pembiayaan ekspor dan impor.
Menurut Djatmiko, peningkatan kerja sama dagang dengan Iran itu akan membuka gerbang perdagangan Indonesia dengan negara-negara di kawasan sekitar Iran. Salah satunya adalah sejumlah negara di kawasan Asia Tengah, seperti Armenia, Azerbaijan, dan Afghanistan.
Ia juga menegaskan, kerja sama RI-Iran lebih berfokus untuk meningkatkan perdagangan kedua negara dan telah melalui berbagai pertimbangan matang. Hal itu penting mengingat Iran masih mendapatkan sanksi ekonomi dari sejumlah negara barat, terutama Amerika Serikat.
”Kami tetap memperhatikan perkembangan isu terkini terkait Iran. Negara tersebut bukan negara tertutup dan masih melakukan kerja sama ekonomi dengan berbagai negara,” katanya.
Kami tetap memperhatikan perkembangan isu terkini terkait Iran. Negara tersebut bukan negara tertutup dan masih melakukan kerja sama ekonomi dengan berbagai negara.
Baca juga: AS Tak Pedulikan PBB, Tetap Ngotot Berlakukan Lagi Sanksi pada Iran
Berdasarkan data Kemendag, pada 2022, nilai ekspor RI ke Iran mencapai 242,6 juta dollar AS, sedangkan impor RI dari negara tersebut 14,6 juta dollar AS. Komoditas ekspor utama Indonesia ke Iran antara lain kacang, sepeda motor, asam lemak, serta serat kayu. Adapun impor RI dari negara tersebut antara lain kurma, karbonat, alkaloid nabati, anggur, dan aparatus.
Selain dengan Iran, Indonesia juga menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) Pembentukan Komite Perdagangan Bersama atau Joint Trade Committee (JTC) dengan Mesir. JTC RI-Mesir itu ditandatangani Menteri Perdagangan RI Zulkifli Hasan dan Menteri Perdagangan dan Industri Mesir Ahmed Samir Saleh di Kario, Mesir, pada 15 Mei 2023.
”Perundingan kerja sama dagang dalam JTC RI-Mesir itu paling lambat akan dimulai pada awal 2024. Salah satu pokok pembahasannya adalah membahas bentuk kerja sama perdagangan, baik itu PTA maupun Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA),” kata Djatmiko.
Perundingan kerja sama dagang dalam JTC RI-Mesir itu paling lambat akan dimulai pada awal 2024. Salah satu pokok pembahasannya adalah membahas bentuk kerja sama perdagangan, baik itu PTA maupun FTA.
Saat ini, RI-Mesir juga sudah mengembangkan kerja sama perdagangan bilateral berskema imbal dagang antarpebisnis (B-to-B). Imbal dagang itu dilakukan oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dengan tiga perusahaan Mesir.
Kemendag mencatat, dalam lima tahun terakhir (2018–2022), Indonesia konsisten mencatatkan surplus perdagangan terhadap Mesir dengan tren pertumbuhan surplus dagang sebesar 9,82 persen. Pada 2022, total perdagangan RI-Mesir mencapai 1,56 miliar dollar AS. Dari total nilai itu, RI membukukan surplus sebesar 1,11 miliar dollar AS.
Produk ekspor utama Indonesia ke Mesir, di antaranya, adalah minyak kelapa sawit, kopi, kelapa, benang, dan suku cadang kendaraan bermotor. Adapun komoditas impor utama Indonesia dari Mesir adalah pupuk mineral fosfat, kurma, buah ara, pinus, alpukat, jambu biji, pupuk mineral, pemanis, kalsium fosfat.
Baca juga: Pelaku Usaha Kalsel Jajaki Peluang Bisnis ke Mesir
Misi ke UE
Selain memperkuat kerja sama dengan Iran dan Mesir, RI juga berupaya mencari jalan keluar terkait dengan Undang-undang Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mendialogkan isu tersebut dengan Uni Eropa (UE).
Jokowi menyampaikan keberatan terhadap EUDR dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Komisi UE Ursula von der Leyen di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Hiroshima, Jepang, Minggu, (21/5). Jokowi juga meminta Perjanjiaan Kemitraan Ekonomi Komprehensif RI-UE (IEU CEPA) selesai paling lambat tahun depan.
Sementara pada Rabu pekan lalu, RI dan Malaysia sepakat memperkuat kerja sama di sektor kelapa sawit dalam Pertemuan Tingkat Menteri Dewan Negara-negara Produsen-produsen Minyak Sawit (CPOPC) ke-11 di Kuala Lumpur, Malaysia. RI-Malaysia juga akan menggelar misi bersama di UE dalam rangka mengurai hambatan perdagangan minyak sawit di kawasan tersebut.
Airlangga menuturkan, industri minyak sawit masih menghadapi banyak tantangan, baik di kawasan Eropa, India, maupun sejumlah negara lain. Namun, tetap ada upaya dari CPOPC untuk menyelesaikan tantangan itu, terutama dengan menggelar misi bersama ke UE.
Misi bersama para negara produsen minyak sawit itu akan dilakukan di Brussels, Belgia, pada 30-31 Mei 2023. Dalam misi itu, para perwakilan CPOPC juga akan menemui para pemain utama industri kelapa sawit dan organisasi masyarakat sipil di UE.
”Hal itu dalam rangka mencermati perkembangan terkini pasar minyak sawit dan produk turunannya di EU. Termasuk di dalam terkait isu khusus EUDR yang berpotensi memberi dampak negatif pada industri kelapa sawit dan mengecualikan petani kecil dari rantai pasok,” katanya melalui siaran pers.
Per 16 Mei 2023, UE memberlakukan EUDR. Melalui UU itu, UE tidak mengizinkan sejumlah produk tersebut memasuki pasar UE jika diproduksi di lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020. Komoditas yang wajib memenuhi persyaratan UU tersebut adalah minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, arang, dan karet, serta produk-produk turunan atau olahan, seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat.
EUDR mewajibkan pelaku usaha memiliki sertifikat verifikasi atau uji tuntas (due diligence) komoditas atau produk berbasis geolokasi atau berdasarkan citra satelit dan koordinat sistem pemosisi global (GPS). UE memberi waktu perusahaan besar dan kecil masing-masing selama 18 bulan dan 24 bulan untuk mematuhi berbagai macam persyaratan dalam EUDR. Perusahaan yang tidak mematuhi aturan akan didenda minimal 4 persen dari omzet tahunan perusahaan tersebut di negara anggota UE.
Baca juga: