Penjualan Sawit Petani Mandiri Bersertifikat RSPO Masih Bergantung kepada Tengkulak
Banyak tandan buah segar sawit petani mandiri yang bersertifikat RSPO. Banyak pula petani yang memiliki lahan kelapa sawit yang terdata citra satelit. Ini bisa menjadi modal menghadapi undang-undang bebas deforestasi UE.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penjualan tandan buah segar atau TBS kelapa sawit petani mandiri yang sudah mengantongi sertifikat produksi sawit berkelanjutan dan teridentifikasi citra satelit masih bergantung pada tengkulak. Hal itu membuat harga TBS petani mandiri menjadi lebih rendah bahkan berpotensi mengurangi kesejahteraan petani di era penerapan Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, Minggu (7/5/2023), mengatakan, 20.000 petani sawit mandiri anggota SPKS dan pemilik 150.000 hektar lahan sawit telah mengantongi sertifikat sawit berkelanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Mereka tersebar di 20 kabupaten di 7 provinsi, yakni Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Barat.
Lahan sawit mereka juga telah terdata secara poligon atau teridentifikasi citra satelit. Pendataan berbasis geolokasi berdasarkan citra satelit itu menjadi syarat uji tuntas dari Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Hal ini, lanjut Darto, seharusnya dilihat sebagai peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani sawit mandiri sekaligus mempertahankan, bahkan meningkatkan, pasar CPO dan produk turunannya di Uni Eropa (UE).
”Sayangnya, belum ada perusahaan CPO nasional yang membeli TBS mereka secara langsung. Selama ini, mereka menjual TBS bersertifikasi RSPO dan terdata secara poligon itu ke tengkulak,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Selama ini, mereka menjual TBS bersertifikasi RSPO dan terdata secara poligon itu kepada tengkulak.
Menurut Darto, TBS yang sudah bersertifikat RSPO bisa menghasilkan produk minyak sawit berkelanjutan bersertifikat (CSPO) dan minyak inti sawit berkelanjutan bersertifikat (CSPKO). Harga TBS tersebut juga seharusnya bisa lebih tinggi atau setidaknya sama dengan yang dijual langsung ke perusahaan.
Namun, dengan dijual melalui tengkulak, harga TBS itu menjadi rendah. Untuk saat ini, harga rata-rata TBS sawit petani mandiri sekitar Rp 1.800 per kg. Jika langsung dijual ke perusahaan, petani bisa memperoleh harga di atas Rp 2.000 per kg.
”Oleh karena itu, kami berharap perusahaan-perusahaan minyak sawit bisa bermitra langsung dengan kelompok-kelompok tani mandiri yang telah mengantongi sertifikat RSPO dan terdata secara poligon,” katanya.
Selain itu, Darto juga meminta pemerintah mencari jalan keluar bagi para petani sawit yang lahannya berada di kawasan hutan. Terlebih bagi para petani yang membuka lahan di kawasan hutan setelah 31 Desember 2020.
Hasil olahan CPO dan produk turunannya dari TBS sawit mereka jelas tidak akan diterima pasar UE. Melalui EUDR yang disahkan Parlemen Eropa pada 19 April 2023, UE tidak akan mengizinkan komoditas dan sejumlah produk tersebut memasuki pasar UE jika diproduksi di lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020.
”Selain mengurus sertifikat tanah, pemerintah dapat mengalihkan CPO dan produk turunan yang bersumber dari TBS mereka ke pasar ekspor lain atau pasar minyak goreng domestik,” kata Darto.
Di tengah tuntunan pengembangan pangan berkelanjutan dan keamanan global, Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan mutu produk ekspor dari berbagai sektor. Salah satu upayanya dengan mengikuti Pertemuan Komite Codex untuk Sistem Inspeksi dan Sertifikasi Ekspor Impor Produk Pangan (CCFICS) ke-26 pada 1-5 Mei 2023 di Ciawi, Jawa Barat.
Kegiatan yang dilaksanakan secara hibrida tersebut dihadiri seluruh negara anggota CCFICS, organisasi anggota UE, pengamat organisasi pemerintahan internasional (IGOs), lembaga swadaya masyarakat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Delegasi Indonesia dipimpin Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib niaga Kementerian Perdagangan Matheus Hendro Purnomo.
Tujuan dari pertemuan itu adalah untuk menyusun standar dan pedoman pangan internasional dalam perlindungan konsumen sekaligus memastikan praktik adil dalam perdagangan pangan. Standar dan pedoman Codex itu bersifat sukarela, tetapi menjadi semakin penting sejak ditetapkan dalam Perjanjian Sanitasi dan Fitosanitasi (SPS) dan Perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan (TBT) Organisasi Perdagangan Internasional (WTO).
Dalam pertemuan itu, Indonesia melakukan beberapa intervensi terkait penyusunan pedoman proses penyetaraan Sistem Keamanan Pangan Nasional antarnegara, serta pedoman penyelenggaraan audit dan inspeksi jarak jauh. Selain itu, Indonesia juga mengintervensi penyusunan pedoman terkait otoritas yang kompeten mendeteksi jenis tindakan ilegal keamanan pangan.
Hendro menuturkan, operator bisnis pangan (FBO) merupakan salah satu poin yang dibahas dalam penyusunan pedoman tersebut. Pelaku usaha kecil menengah (UKM) merupakan salah satu bentuk dari FBO yang masih belum optimal dalam penerapan teknologi pangan.
”Oleh karena itu, kami mengintervensi agar pedoman yang dibahas tidak terlalu ketat dan bisa bermanfaat bagi UKM yang berorientasi ekspor,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Hendro, Indonesia juga mendukung penyusunan kerangka kerja baru terkait mekanisme ketelusuran produk pangan. Saat ini, isu ketertelusuran merupakan salah satu titik kritis dalam sistem keamanan pangan nasional.
Untuk itu, kemampuan suatu negara dalam mendeteksi ketidaksesuaian keamanan pangan menjadi tantangan tersendiri. Indonesia harus dapat bersaing di pasar global seiring dengan pengembangan teknologi dan peningkatan sumber daya manusia.