Bertumbuh dan Menjadi Lebih Hijau Bersama
Indonesia menekankan pada pentingnya pertumbuhan berkelanjutan dengan mendorong isu ekonomi biru sekaligus mulai beralih ke energi terbarukan sembari menjaga prinsip aksesibilitas, terjangkau, dan berkelanjutan.
Agenda keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun ini juga mencakup tiga prioritas pada bidang ekonomi. Ketiga prioritas itu ialah pemulihan dan pembangunan kembali ekonomi, ekonomi digital, serta ekonomi berkelanjutan. Khusus untuk prioritas ekonomi berkelanjutan, Indonesia menekankan pada pentingnya pertumbuhan berkelanjutan dengan mendorong isu ekonomi biru sekaligus mulai beralih ke energi terbarukan sembari menjaga prinsip aksesibilitas, terjangkau, dan berkelanjutan untuk warga ASEAN.
Baca juga: Publik Menunggu Formula Jitu ASEAN
Liu Y dan R Noor, dalam kajian Efisiensi Energi di ASEAN: Tren dan Skema Pembiayaan, Asian Development Bank Institute, menyebutkan bahwa secara kumulatif produk domestik bruto (PDB) di kawasan ASEAN bernilai sekitar 2,5 triliun dollar AS. PDB sebesar itu bertumbuh pesat, tentunya memerlukan energi yang tidak sedikit. Besarnya kebutuhan energi ini 70 persen lebih tinggi dibandingkan kebutuhan energi pada 2000. Kebutuhan energi di 10 negara ASEAN setara dengan 5 persen kebutuhan energi global.
Bauran energi di kawasan ASEAN didominasi energi yang berasal dari fosil (75 persen). Bahan bakar fosil yang paling banyak digunakan ialah minyak (34 persen), gas (22 persen), dan batubara (17 persen). Penggunaan energi terbarukan seperti tenaga air berkembang pesat.
Visi bersama negara ASEAN untuk beralih ke perekonomian yang rendah karbon juga menjadi tantangan. Dana yang diperlukan tentu tidak sedikit. Belum lagi adaptasi dan implementasinya di dalam perekonomian. Langkah untuk menjadi lebih bersih dan lebih hemat energi dilakukan dengan berbagai cara.
Menurut data Bank Pembangunan Asia (ADB), negara-negara di kawasan Asia memerlukan dana investasi 13,8 triliun dollar AS atau 1,7 triliun dollar AS per tahun untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, menurunkan kemiskinan, serta merespons isu perubahan iklim. Sementara negara anggota ASEAN memerlukan dana untuk infrastruktur sebesar 2,8 triliun dollar AS berdasarkan estimasi dasar, atau sekitar 184 miliar dollar AS per tahun.
Baca juga: Apindo: Indonesia Berpeluang Menjadikan ASEAN Lebih Kompetitif
Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk memenuhi target net zero sebagian besar anggota ASEAN pada 2050, Indonesia pada 2060. Di antaranya, transisi energi, efisiensi energi, mengembangkan teknologi rendah karbon, serta mencari sumber energi terbarukan. Tujuan ini dilakukan dengan berbagai prioritas karena prioritas tiap-tiap negara berbeda.
Dalam hal transisi energi, G20 telah meluncurkan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan mendukung pendanaan Indonesia untuk beralih dari pembangkit listrik batubara. Indonesia dengan ambisius menargetkan tidak ada lagi pembangkit listrik batubara yang beroperasi pada 2050. Hal serupa dilakukan Vietnam. Inggris, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang berkomitmen akan mendanai JETP Vietnam senilai 15,5 miliar dollar AS. Penghentian pembangkit listrik batubara ini memerlukan alternatif sumber energi terbarukan, juga biaya besar.
Selain transisi energi, efisiensi energi juga menjadi salah satu langkah yang akan dilakukan. Di ASEAN target yang perlu dicapai adalah penurunan intensitas energi sebesar 32 persen pada 2025 berdasarkan data intensitas pada 2005.
Intensitas energi merupakan perbandingan antara jumlah energi yang dibutuhkan per produk domestik bruto. Semakin rendah intensitasnya, berarti penggunaan energi menjadi semakin efisien.
”Berdasarkan data terakhir kami, ASEAN sudah mencapai intensitas 23,8 persen. Masih ada sekitar 8 persen gap yang perlu dicapai dalam dua tahun ke depan. Berdasarkan model yang kami siapkan di ASEAN Energy Outlook 7 (AEO 7), ASEAN tidak akan dapat mencapai target penurunan intensitas energi tanpa adanya dorongan melalui peraturan untuk aplikasi energi efisiensi terutama di sektor industri dan transportasi,” kata Septia Buntara Supendi, Manajer Departemen Efisiensi dan Konservasi Energi ASEAN Centre for Energy, Jumat (5/5/2023).
Baca juga: Semua Mata Tertuju ke Labuan Bajo
Untuk menjadikan sektor transportasi lebih hijau, negara-negara di ASEAN juga memberikan berbagai insentif untuk produksi dan penjualan kendaraan listrik seperti penghapusan atau penurunan pajak pembelian. Thailand memberikan berbagai insentif untuk mendorong konversi separuh produksi mobil menjadi mobil listrik pada 2023. Singapura menjadi negara dengan infrastruktur lebih lengkap dengan 1.800 charging point publik dan akan menjadi 60.000 titik pada 2030.
Selaras
Tujuan bersama di ASEAN memerlukan keselarasan antara program regional dan prioritas nasional pada tiap-tiap negara. Dengan adanya keselarasan, pencapaian regional akan dapat memberikan efek positif pada target nasional, begitu juga sebaliknya.
”Selain itu, perlu adanya peningkatan kesadaran di semua elemen baik pemerintah, swasta, akademik, maupun masyarakat tentang pentingnya efisiensi energi. Dengan demikian, peraturan-peraturan yang diterbitkan dapat diimplementasikan dan didukung banyak pihak. Perlu ada adaptasi dari rencana-rencana yang ada saat ini mengikuti situasi dan kondisi global. Pandemi, potensi krisis keuangan, perang, dan konflik politik akan memengaruhi prioritas kebijakan negara. Maka, perlu adanya fleksibilitas yang tinggi dari rencana-rencana regional,” ucap Septia.
Senada dengan Septia, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menegaskan, perlu ada kampanye masif untuk membuka kesadaran publik. Ada banyak potensi besar yang dapat dimanfaatkan di balik pengembangan ekonomi hijau.
”Pengusaha kalau sudah paham pasti akan bergerak cepat. Merekalah yang dapat membuat proyek-proyek hijau. Sementara proyek hijau merupakan hal baru, memerlukan teknologi baru pula. Indonesia selama ini sangat terlena dengan ekonomi yang ditunjang komoditas sehingga agak ketinggalan soal lingkungan dan ekonomi hijau. Tetapi, dengan kampanye masif akan menimbulkan kesadaran dan pemahaman yang sama,” kata Piter.
Ia mengatakan, dari sisi penyediaan dana, perbankan sudah sangat siap. Ada berbagai aturan yang sudah ditetapkan regulator untuk mendukung ekonomi hijau. ”Banks follow the trade, mengikuti kebutuhan. Jadi, kebutuhan harus diciptakan. Kita punya banyak sumber daya energi terbarukan surya, geotermal, arus laut. Ini yang harus digarap,” kata Piter.
Kawasan ASEAN kaya akan bahan mentah yang mendukung energi bersih. Bauksit, nikel, dan logam tanah jarang dapat ditemui di Indonesia, Myanmar, Filipina, juga Thailand. Vietnam dan Malaysia merupakan produsen modul surya terbesar di dunia.
Sayangnya, pendanaan proyek hijau, termasuk proyek efisiensi energi, terkadang terkendala karena sering tergolong proyek dengan risiko tinggi dan kurang mendapatkan prioritas. Salah satu upaya untuk mengatasi hal itu ialah program untuk mengurangi risiko dan mengatalisasi investasi swasta dari swasta yang enggan berinvestasi pada efisiensi energi.
ASEAN Centre for Energy dan Korea Development Bank melalui dana dari Green Climate Fund memberikan jaminan kredit senilai 100 juta dollar AS untuk mengurangi risiko perbankan lokal. ”Dengan program ini, diharapkan akan ada peningkatan aktif dari industri dan perbankan dalam proyek efisiensi energi agar meningkatkan geliat penurunan intensitas energi,” kata Septia.
Mimpi-mimpi indah untuk menciptakan kawasan ASEAN yang bertumbuh dengan tidak mengabaikan lingkungan memerlukan upaya besar. Bukan hanya pada tataran pemerintahan, melainkan juga swasta serta warga ASEAN.