Kontraksi Harga CPO Pengaruhi Penurunan NTP Perkebunan Rakyat
Penurunan harga CPO dunia mulai berpengaruh terhadap nilai tukar petani perkebunan rakyat. Tidak hanya penurunan harga dan pelemahan pasar, industri sawit juga berpotensi mengalami gangguan produksi akibat El Nino.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dalam sebulan terakhir, harga minyak sawit mentah atau CPO global turun secara bertahap dari 3.900 ringgit Malaysia per ton menjadi di kisaran 3.300-3.400 ringgit Malaysia per ton. Kontraksi harga itu berpengaruh terhadap nilai tukar petani perkebunan rakyat.
Per Selasa (2/5/2023), CPO di Bursa Derivatif Malaysia diperdagangkan seharga 3.387 ringgit Malaysia (RM). Harga tersebut turun 12,8 persen secara bulanan dan 49,84 persen secara tahunan.
Penurunan harga CPO itu menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani mandiri turun bertahap. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mencatat, rata-rata harga TBS sawit di tingkat petani mandiri pada April 2023 sekitar Rp 2.000 per kilogram (kg).
Kondisi itu berpengaruh pada nilai tukar petani perkebunan rakyat (NTPPR). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, NTPPR pada April 2023 sebesar 129,06. NTPPR tersebut turun 0,32 persen dari NTPPR pada Maret 2023 yang sebesar 129,47.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, NTPPR turun lantaran indeks harga yang diterima petani (pendapatan) lebih rendah dari indeks harga yang dibayar petani (pengeluaran). Indeks harga yang diterima petani turun sebesar 0,21 persen, sedangkan indeks harga yang dibayar petani naik 0,11 persen.
“Penurunan itu disebabkan oleh penurunan indeks kelompok tanaman perkebunan rakyat khususnya komoditas kelapa sawit sebesar 0,21 persen,” katanya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta, Selasa.
Penurunan itu disebabkan oleh penurunan indeks kelompok tanaman perkebunan rakyat khususnya komoditas kelapa sawit sebesar 0,21 persen.
Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto mengemukakan, per 2 Mei 2023, harga TBS di sejumlah daerah penghasil sawit di kisaran Rp 1.900-Rp 2.300 per kg seturut usia tanam. Harga di tingkat petani plasma tersebut turun sekitar Rp 70-Rp100 per kg dari sebelumnya.
“Di tingkat petani mandiri, harga TBS sudah di bawah Rp 2.000 per kg, yakni di kisaran Rp 1.700-Rp 1.800 per kg,” ujarnya.
Menurut Darto, hal itu tidak hanya disebabkan permintaan CPO dunia yang lemah dan libur Lebaran 2023, tetapi juga oleh kebijakan ekspor CPO dan tiga produk turunannya yang diperbarui pemerintah. Kebijakan tersebut berpotensi menekan harga TBS di tingkat petani.
Pengusaha atau eksportir CPO mendapatkan insentif ekspor baik dari pemenuhan kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (DMO) maupun pengali ekspor menyediakan minyak goreng dalam kemasan bantal dan nonbantal. Namun, petani sawit tidak mendapatkan insentif apapun untuk penguatan produksi, terutama bantuan pupuk.
“Sampai sekarang, petani sawit mandiri masih kesulitan mendapatkan pupuk. Kalaupun dapat, harganya masih lumayan tinggi,” katanya.
Pengusaha atau eksportir CPO mendapatkan insentif ekspor. Namun, petani sawit tidak mendapatkan insentif apapun untuk penguatan produksi, terutama bantuan pupuk.
Pada 27 April 2023, pemerintah memperbarui kebijakan lama tentang minyak goreng dan ekspor CPO besarta tiga produk turunanannya. Dua di antaranya adalah menurunkan rasio pengali ekspor atas pemenuhan DMO dari 1:6 menjadi 1:4, serta menaikkan rasio insentif pengali ekspor bagi perusahaan yang memasok minyak goreng kemasan bantal dan nonbantal masing-masing menjadi 1:2 dan 1:2,5. Rasio tersebut naik dari rasio sebelumnya yang sebesar 1:1,5 untuk minyak goreng kemasan bantal dan 1:1,75 untuk kemasan nonbantal.
Darto berharap, petani juga bisa memperoleh insentif, setidaknya berupa bantuan pupuk. Selain itu, para petani mandiri berharap agar perusahaan sawit juga membeli TBS sawit petani yang sudah terwadahi dalam kelembagaan petani dengan mendorong kemitraan perusahaan dengan petani mandiri. Selama ini, sebagian besar TBS petani mandiri masih dibeli oleh tengkulak.
Sejumlah upaya tersebut perlu dilakukan mengingat pada tahun ini harga CPO global diperkirakan terkoreksi cukup dalam dan harga pupuk masih cukup tinggi. Di samping itu, bakal ada ancaman El Nino yang berpotensi mengurangi produktivitas kelapa sawit.
Dalam laporan Prospek Pasar Komoditas Edisi April 2023, Bank Dunia memperkirakan, harga rata-rata CPO global pada 2023 mencapai 980 per dollar AS, turun 23,2 persen dari 2022 yang sebesar 1.276 dollar AS per ton. Meski tidak akan setinggi tahun 2022, harga rata-rata CPO diperkirakan kembali membaik pada 2024, yakni 1.020 dollar AS per ton.
Bank Dunia juga memperkirakan harga pupuk pada 2023 turun. Pupuk urea, misalnya, harganya diperkirakan turun 53,6 persen menjadi 325 dollar AS per ton. Harga pupuk urea tersebut masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 229 dollar AS per ton.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia juga mengingatkan, produktivitas sejumlah komoditas pada tahun ini bakal dipengaruhi oleh El Nino. Pada Mei-Juli 2023, peluang terjadinya El Nino sebesar 62 persen. Kemudian pada September-November 2023, peluang terjadinya El Nino tersebut sebesar 80 persen.
Suhu panas bisa semakin meningkat dan pola curah hujan bakal semakin berkurang, sehingga dapat memengaruhi hasil panen. Komoditas yang sensitif terhadap El Nino antara lain adalah kopi, beras, kelapa sawit, dan karet.