Pasar Masih Lesu, Hak Ekspor CPO Menumpuk
GAPKI menilai kebijakan mengurangi rasio pengali ekspor atas pemenuhan DMO tidak akan mengganggu ekspor karena pasar CPO global masih lesu. Jika pasar sudah pulih, kebijakan itu perlu dievaluasi lagi.
JAKARTA, KOMPAS - Hak ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan tiga produk turunannya menumpuk hingga 9,927 juta ton per April 2023. Hal itu terjadi lantaran pasar CPO global masih lesu.
Jika pasar kembali normal, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap pemerintah tetap mengevaluasi kebijakan baru ekspor CPO dan tiga produk turunannya. Untuk saat ini, GAPKI menilai langkah yang diambil pemerintah sudah benar.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, hak ekspor CPO dan tiga produk turunannya atas pemenuhan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO) per April 2023 mencapai 9,927 juta ton. Jumlah itu terdiri dari 3,027 juta ton yang dibekukan pemerintah pada Februari-April 2023 dan 6,9 juta ton yang tidak dibekukan.
Per 1 Mei 2023 hingga Januari 2024, pemerintah akan mencairkan deposit atau pembekuan hak ekspor secara bertahap. Rata-rata per bulan pencairan hak ekspor tersebut sekitar 336.000 ton.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono, Jumat (28/4/2023), mengatakan, tidak banyak eksportir yang merealisasikan hak eskpor lantaran pasar CPO global masih sepi. Pada Januari-Maret 2023, rata-rata ekspor CPO Indonesia sekitar 1,8 juta ton per bulan.
Jumlah ekspor tersebut masih di bawah kisaran volume ekspor CPO normal 2,5 juta ton hingga 3 juta ton per bulan. Lemahnya permintaan itu terjadi lantaran beberapa negara importir CPO, terutama India, menyubtitusi sebagian impor CPO dengan minyak nabati lain.
"Saat ini, stok minyak nabati dunia, di luar CPO, berlimpah. Hal itu membuat selisih harga berbagai jenis minyak itu juga menyempit. Faktor inilah yang membuat sejumlah negara importir CPO beralih ke minyak biji bunga matahari dan kedelai," ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Eksportir tidak banyak yang merealisasikan hak eskpor lantaran pasar CPO global masih sepi.
Badan Pusat Stastistik mencatat, nilai ekspor sawit pada Januari-Maret 2023 mencapai 5,92 miliar dollar AS. Nilai ekspor itu turun 11,34 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar 6,67 miliar dollar AS.
Eddy menjelaskan, stok minyak nabati dunia berlimpah lantaran produksi minyak nabati Brasil dan Argentina meningkat. Perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung kelar juga membuat sejumlah negara mulai menanam bunga matahari.
Selain itu, hampir dua bulan terakhir, China mengurangi impor kedelai yang merupakan bahan baku pakan babi dan minyak kedelai. Ini terjadi lantaran penyakit demam babi Afrika mewabah kembali.
Kendati begitu, Eddy optimistis pasar CPO global akan kembali pulih tahun ini. Jika pasar tersebut pulih, GAPKI berharap agar pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan ekspor CPO.
"Pemerintah bisa tetap mempertahankan DMO untuk menunjang kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Namun, saat pasar CPO global pulih, rasio pengali ekspor atas pemenuhan DMO perlu dinaikkan lagi untuk meningkatkan ekspor," kata Eddy.
Pemerintah bisa tetap mempertahankan DMO untuk menunjang kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Namun, saat pasar CPO global pulih, rasio pengali ekspor atas pemenuhan DMO perlu dinaikkan lagi untuk meningkatkan ekspor.
Baca juga: Harga CPO Tertekan Uni Eropa dan India
Pada 27 April 2023, pemerintah memperbarui empat kebijakan minyak goreng dan ekspor CPO beserta tiga produk turunannya. Pertama, mengurangi kuota DMO minyak goreng dari semula 450.000 ton per bulan menjadi 300.000 ton per bulan. Kedua, menurunkan rasio pengali ekspor atas pemenuhan DMO dari 1:6 menjadi 1:4.
Ketiga, mencairkan deposit atau pembekuan 66 persen hak ekspor CPO dan tiga produk turunannya secara bertahap selama sembilan bulan ke depan. Keempat, rasio insentif pengali ekspor bagi perusahaan yang memasok minyak goreng kemasan bantal dan nonbantal dinaikkan masing-masing menjadi 1:2 kali dan 1:2,5 kali lipat dari semula 1:1,5 dan 1:1,75.
"Kami menilai empat kebijakan yang diambil pemerintah sudah tepat di tengah lesunya pasar ekspor CPO dan meningkatnya kebutuhan minyak goreng di dalam negeri, khususnya kemasan. Kami berharap pemerintah tetap terbuka untuk mengubah kebijakan tersebut seturut kondisi pasar ke depan," kata Eddy.
Baca juga: Empat Kebijakan Baru Minyak Goreng dan Ekspor CPO Digulirkan
Distribusi dan pengawasan
Selain memperbarui empat kebijakan tersebut, pemerintah juga akan membenahi dan meningkatkan pengawasan distribusi minyak goreng. Pemerintah juga berkomitmen merampungkan masalah dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
Anggota Satuan Tugas (Satgas) Pangan Komisaris Besar Eka Mulyana menuturkan, pendistribusian minyak goreng pada umumnya berjalan baik, khususnya di tingkat distributor 1 (D1) dan D2. Namun masih ada persoalan di D3, sehingga monitoring pendistribusian di tingkat tersebut harus diperketat.
"Hal itu terutama terkait pengisian data di tingkat D3, lantaran penyalur langsung minyak goreng adalah D3," tuturnya.
Selain itu, pemerintah dan Satgas Pangan juga menemukan penyaluran minyak goreng dari pedagang ke pedagang. Hal itu membuat harga minyak goreng yang dibeli konsumen menjadi lebih mahal.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim mengatakan, harga minyak goreng yang dibeli pedagang dari pedagang lain rata-rata sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah Rp 14.000 per liter. Lantaran membeli seharga itu, mereka mau tidak mau harus menjualnya ke konsumen dengan harga di atas HET.
"Kami akan berupaya mengatasi persoalan itu dengan menyambungkan para pedagang yang membeli minyak goreng dari pedagang lain ke agen atau distributor yang terdaftar," katanya.
Sementara terkait dengan utang pemerintah terhadap Aprindo sebesar Rp 344 miliar, Isy menyatakan, Kemendag akan mengundang Aprindo untuk berdialog pada pekan depan. Kemendag akan meminta Apriondo untuk tidak memboikot pernjualan minyak goreng di 48.000 toko ritel modern.
Saat ini, Kemendag tengah meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Masih ada beberapa data dan dokumen beserta verifikasi yang diminta Kejagung untuk menganalisis persoalan tersebut.
"Kami telah berupaya melengkapi dan masih menunggu hasil analisis dan pendapat hukum Kejagung. Kami berharap pengusaha ritel sabar menunggu," katanya.
Baca juga: Benah-benah Sawit Indonesia