Fleksibilitas pasar tenaga kerja berkembang secara global. Pola hubungan kerja bersifat kontrak bukan hanya dialami oleh pekerja yang kurang memiliki keterampilan, tetapi juga berketerampilan tinggi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena hubungan kerja bersifat kontrak tengah berkembang dan menyasar ke berbagai sektor industri. Fenomena ini berpotensi membuat posisi tawar pekerja menjadi lemah.
Dalam laporan survei 2022-2023 Outlook: Rekrutmen, Kompensasi, dan Benefit yang dirilis oleh JobStreet Indonesia (laman penyedia lowongan pekerjaan), muncul tren staf kontrak/pekerja sementara dalam rencana perekrutan. Sekitar 70 persen dari 1.162 perusahaan yang disurvei menyatakan ingin menambah ataupun mempertahankan jumlah pekerja kontrak. Hanya 5 persen dari total perusahaan yang disurvei berencana untuk mengurangi ketergantungan mereka akan staf pekerja kontrak dan sisanya belum punya rencana apapun.
Laporan yang sama menyebutkan, ada 10 fungsi pekerjaan terpopuler untuk staf pekerja paruh waktu/kontrak. Fungsi pekerjaan terpopuler pertama yaitu administrasi dan human resources, lalu diikuti pemasaran/pencitraan bisnis, penjualan/pengembangan bisnis, akutansi, dan teknik. Selanjutnya, fungsi pekerjaan teknologi informasi, manufaktur, transportasi dan logistik, pemasaran digital, dan desain.
Sekitar 70 persen dari 1.162 perusahaan yang disurvei menyatakan ingin menambah ataupun mempertahankan jumlah pekerja kontrak.
Dalam enam bulan terakhir, 51 persen perusahaan yang disurvei mempekerjakan pekerja penuh-waktu tetap dan 47 persen mempekerjakan pekerja penuh-waktu kontrak. Alasan merekrut pekerja berstatus kontrak, kata laporan itu, adalah menghemat biaya pegawai, ekspansi bisnis, dan keinginan untuk pengaturan kerja yang fleksibel.
Sebanyak 1.162 perusahaan yang disurvei oleh Jobstreet Indonesia berasal dari perusahaan yang memiliki karyawan lebih dari 100 orang (50 persen), punya karyawan 51-100 orang (16 persen), dan memiliki karyawan hingga 50 orang (34 persen). Dilihat dari sektor industri, perusahaan tersebut berasal dari sektor manufaktur hingga media dan periklanan.
Jobstreet Indonesia melakukan survei itu pada Juli - Agustus 2022. Tujuan utama survei adalah mengetahui proyeksi kondisi rekrutmen pada paruh pertama dan paruh kedua tahun 2023. Laporan dirilis akhir 2022.
Ita Purnamasari dari Divisi Advokasi Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia - Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (FSBPI-KPBI), Kamis (27/4/2023), di Jakarta, mengatakan, fenomena kontrak jangka pendek dialami oleh sejumlah pekerja di sektor industri garmen. Sejumlah pekerja di sektor itu dan tergabung dalam FSBPI-KPBI mengalami pemutusan hubungan kerja, lalu direkrut lagi dengan status pekerja kontrak oleh perusahaan yang sama.
”Buruh yang berstatus kontrak jangka pendek ini umumnya memiliki keterampilan. Di antara mereka sudah pernah bekerja belasan tahun dan ada pula baru masuk dunia kerja. Dari hasil berbincang dengan anggota yang mengalami hal itu, mereka umumnya menerima upah minimum kabupaten/kota, tetapi relatif kurang mendapat akses tunjangan ataupun jaminan sosial,” ujar Ita.
Ita menambahkan, fenomena itu telah berkembang sejak 2021. Hingga sekarang, dia masih menemukan fenomena yang sama tetap muncul.
Buruh yang berstatus kontrak jangka pendek ini umumnya memiliki keterampilan. Di antara mereka sudah pernah bekerja belasan tahun dan ada pula baru masuk dunia kerja.
Secara terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dalam konferensi pers May Day 2023, menilai, praktik kerja alih daya yang hubungan kerjanya pasti bersifat kontrak/waktu tertentu semakin berkembang di Indonesia. Hal ini didukung oleh regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang tidak secara eksplisit menyebut jenis-jenis pekerjaan yang dilarang untuk dialihdayakan.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, saat dihubungi terpisah, mengatakan, porsi sektor industri jasa semakin dominan sejalan dengan tren deindustrialisasi prematur di banyak negara berkembang. Seiring dengan itu, digitalisasi berkembang pesat. Pengusaha pun semakin mempertimbangkan efisiensi ekstrem dan upah menjadi sasaran mereka. Ketiga faktor tersebut yang melahirkan fenomena pasar kerja yang fleksibel dan di antaranya ditandai dengan pekerja kontrak.
Fenomena pekerja kontrak dialami oleh kelompok pekerja profesional dan pekerja yang kurang memiliki keterampilan. Bagi kelompok pekerja profesional, mereka menikmati sistem hubungan kerja kontrak karena itu membuat mereka memegang proyek dari beberapa perusahaan sekaligus dan memperoleh gaji besar.
”Sesuai latar belakang pendidikan, masih ada sekitar 60 persen angkatan kerja Indonesia merupakan lulusan sekolah menengah ke bawah. Mereka inilah yang perlu dikhawatirkan dengan semakin berkembangnya fenomena pekerja kontrak. Juga, mereka yang sempat menikmati hubungan kerja tetap, tetapi kurang memiliki keterampilan karena berpotensi masuk ke sistem kerja kontrak ataupun alih daya,” kata Bhima.
Tren global
Organisasi Buruh Internasional (ILO) melalui laporan ”World Employment and Social Outlook:Trends 2022” menyampaikan, sebelum pandemi Covid-19, pekerjaan sementara atau temporary employment telah meningkat dari waktu ke waktu meskipun tidak seragam di seluruh sektor industri dan negara. Di negara berpenghasilan rendah dan menengah, tingkat temporary employment lebih tinggi, yakni sepertiga dari total pekerjaan.
ILO mendefinisikan temporary employment sebagai kondisi di mana pekerja dipekerjakan hanya untuk jangka waktu tertentu, berbasis proyek atau tugas, pekerjaan musiman/kasual, dan pekerja harian.
Sesuai data BPS, tingkat pekerja paruh waktu (penduduk bekerja kurang dari 35 jam seminggu) mencapai 22,15 persen pada Agustus 2018, lalu naik menjadi 22,54 persen pada Agustus 2019, dan naik menjadi 25,96 persen pada Agustus 2020. Kemudian, tingkat pekerja paruh waktu pada Agustus 2021 naik menjadi 26,99 persen. Adapun pada Agustus 2022 turun tipis menjadi 25,22 persen.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, Indrasari Tjandraningsih, berpendapat, pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel tidak bisa dihilangkan karena itu tren global. Untuk sektor-sektor industri yang butuh teknologi tingkat tinggi, kebijakan hubungan kerja yang fleksibel justru dicari oleh investor.
”Hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan pelayanan dan fasilitas publik sebagai kompensasi atas konsekuensi fenomena pasar tenaga kerja yang fleksibel. Hubungan kerja yang fleksibel, seperti kontrak, tetapi tetap harus ada jaminan kesejahteraan,” ujar Indrasari.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Hernawan berpendapat, di negara yang memiliki ketidakseimbangan suplai dan permintaan tenaga kerja, seperti Indonesia, model pasar tenaga kerja yang fleksibel berpotensi melemahkan posisi tawar buruh. Angkatan kerja berpotensi mau bekerja apa adanya, walaupun tidak sesuai standar kerja layak. Keamanan kerja diabaikan, seperti jaminan sosial, kesehatan, dan keselamatan kerja.
”Saya rasa, fenomena hubungan kerja kontrak akan tetap berkembang, pemerintah perlu segera mengaturnya. Hak dan kewajiban pengusaha-pekerja masing-masing, misalnya,” kata Ari.