Undang-Undang Bebas Deforestasi UE (EUDR) dan kebijakan substitusi minyak nabati India dinilai menekan harga CPO dunia. SPKS menilai EUDR justru akan memperbaiki manajemen tata kelola sawit berkelanjutan di Indonesia.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga minyak sawit mentah atau CPO dunia diperdagangkan di kisaran 3.600-3.700 ringgit Malaysia per ton dua pekan terakhir. Harga tersebut tertekan antara lain karena undang-undang bebas deforestasi Uni Eropa disetujui oleh parlemen serta kebijakan substitusi minyak nabati di India.
Per Selasa (25/4/2023), CPO di Bursa Derivatif Malaysia diperdagangkan pada harga 3.601 ringgit Malaysia (RM) per ton. Harga tersebut naik 0,7 persen secara bulanan dan turun 43,73 secara tahunan. Harga CPO itu merosot jauh dari harga tertingginya pada 4 April 2023 yang mencapai 3.945 RM.
TradingEconomics menyebutkan, hal itu dipengaruhi oleh penurunan produksi CPO serta penurunan harga minyak nabati dan minyak mentah dunia. Parlemen Uni Eropa (UE) yang menyetujui Undang-Undang Bebas Deforestasi UE (EUDR) juga turut menekan harga CPO.
Selain itu, India mengurangi impor CPO sekitar 400.000 ton dan menggantinya dengan minyak biji bunga matahari dan kedelai. India memberlakukan kebijakan itu untuk periode April-Juni 2023. Pada 19 April 2023, India telah membatalkan pembelian 75.000 ton CPO untuk pengiriman Mei 2023, termasuk dari Indonesia.
India merupakan negara pengimpor minyak sawit terbesar dunia pada 2022, yakni mencapai 9,03 juta ton. Kemudian disusul China dengan mengimpor sebanyak 7,2 juta ton. Pada tahun 2022, total impor minyak sawit global mencapai 42,69 juta ton.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, Selasa, mengatakan, harga CPO dunia pada pekan terakhir April 2023 memang cenderung turun. Penurunan produksi di Indonesia dan Malaysia akibat libur Lebaran 2023 memang berpengaruh, tetapi tidak terlalu terlihat besar dampaknya.
”Faktor utama penurunan harga CPO lebih karena pergerakan pasar global. Harganya cenderung naik dan turun, tidak bisa terus-menerus stabil,” ujarnya.
Faktor utama penurunan harga CPO lebih karena pergerakan pasar global. Harganya cenderung naik dan turun, tidak bisa terus-menerus stabil.
Menurut Darto, hal itu juga menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani mandiri masih relatif sama, yakni di kisaran Rp 1.700-2.000 per kilogram (kg). Harga tersebut di bawah harga TBS yang ditetapkan pemerintah provinsi (pemprov).
Pemprov Sumatera Selatan, misalnya, menetapkan harga TBS sawit usia 3 tahun dan 5 tahun masing-masing Rp 2.202 per kg dan Rp 2.393 per kg. Adapun untuk harga TBS sawit usia 8 tahun dan 10-20 tahun masing-masing ditetapkan Rp 2.400 per kg dan 2.524 per kg.
”Harga TBS di tingkat petani bisa lebih rendah dari harga yang ditetapkan lantaran penjualannya mayoritas masih melalui tengkulak. Kalaupun langsung ke perusahaan, harganya akan bergantung pada kondisi perusahaan. Semakin tinggi biaya operasional perusahaan, maka semakin tertekan pula harga TBS petani,” katanya.
Darto menjelaskan, dalam penentuan harga TBS, biaya operasional perusahaan masuk dalam penghitungan indeks K atau proporsi yang diterima pekebun dalam persentase. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Seharusnya komponen itu menjadi tanggungan perusahaan, bukan dibebankan juga ke petani. Oleh karena itu, ia berharap agar komponen tersebut dihapus.
Sementara terkait EUDR, parlemen UE menyepakati regulasi tersebut pada 19 April 2023. UU tersebut tinggal menunggu persetujuan resmi dari negera-negara UE sebelum diberlakukan.
Setelah UU itu berlaku, perusahaan besar dan kecil diberi waktu masing-masing selama 18 bulan dan 24 bulan untuk mematuhi berbagai macam persyaratan dalam regulasi tersebut. Perusahaan yang tidak mematuhi aturan itu dapat didenda hingga 4 persen dari omzet perusahaan.
Melalui UU itu, UE menjamin produk-produk yang dijual di negara-negara anggotanya tidak terkait dengan perusakan atau degradasi hutan. Komoditas yang wajib memenuhi persyaratan UU tersebut adalah minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, arang, dan karet, serta produk-produk turunan atau olahan seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat.
UE tidak mengizinkan komoditas dan sejumlah produk tersebut memasuki pasar UE jika diproduksi di lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020. UU itu mewajibkan pelaku usaha memiliki sertifikat verifikasi atau uji tuntas (due diligence) komoditas atau produk berbasis geolokasi atau berdasarkan citra satelit dan koordinat sistem pemosisi global (GPS). UE juga akan mengklasifikasikan negara-negara berdasarkan tingkat risiko deforestasi, yakni berisiko rendah (1 persen), standar (3 persen), dan tinggi (9 persen).
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menuturkan, Gapki bersama pemerintah telah melawan berbagai kampanye negatif kelapa sawit. Hal itu termasuk pengategorian kelapa sawit sebagai produk yang diatur dalam EUDR.
”Kami berharap pemerintah menjadi penengah dan membangun dialog dengan UE terkait dengan hal itu. Hal itu penting mengingat hampir semua komoditas yang wajib mengikuti persyaratan uji tuntas, termasuk sawit, merupakan produk ekspor Indonesia,” tuturnya.
Regulasi UE itu juga akan memaksa industri dan pemerintah untuk memetakan petani dan lahan sawit. Manajemen pengelolaan sawit juga akan lebih bagus.
Adapun SPKS melihat sisi positif dari penerapan EUDR lantaran mendorong terciptanya keadilan harga bagi petani. Regulasi itu mensyaratkan uji tuntas bagi sawit sehingga perusahaan atau eksportir harus membeli TBS dari petani yang kebunnya sudah terdata secara spasial atau poligon (citra satelit) untuk kebun seluas di atas 4 hektar (ha) dan berbasis titik koordinat (GPS) kalau kurang dari 4 hektar.
”Perusahaan akan ikut terlibat dalam pendataan petani jika membeli TBS dari petani. Hal itu juga akan mendorong kemitraan perusahaan dengan petani swadaya sehingga petani bisa mendapatkan harga TBS yang lebih bagus,” kata Darto.
Darto juga menegaskan, regulasi UE itu juga akan memaksa industri dan pemerintah untuk memetakan petani dan lahan sawit. Manajemen pengelolaan sawit juga akan lebih bagus. Misalnya, tengkulak mau tidak mau harus bertanggung jawab menyediakan TBS yang sudah terdata sesuai persyaratan dan memberikan harga yang adil bagi petani.