Utang Pengadaan Minyak Goreng Perburuk Iklim Usaha
Pengusaha ritel mengingatkan pemerintah bahwa kegagalan pemerintah membayar utang pengadaan minyak goreng kemasan akan memperburuk iklim usaha di Indonesia dan membuat mereka kapok melaksanakan tugas pemerintah.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegagalan pemerintah membayar utang pengadaan minyak goreng kemasan dinilai akan memperburuk iklim usaha di Indonesia. Hal itu juga berpotensi membuat pengusaha ritel ”kapok” melaksanakan penugasan dari pemerintah. Dalam jangka panjang, utang pemerintah kepada peritel itu juga akan memengaruhi para pengusaha kelapa sawit.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan belum ada titik terang terkait pembayaran utang pemerintah kepada peritel untuk pengadaan minyak goreng kemasan selama 2022 sebesar Rp 344 miliar. Ini berpotensi akan menyebabkan kerugian besar.
”Ini menjadi bad debt (piutang tak tertagih). Kami enggak tahu kapan akan dibayar. Kalau bad debt enggak terbayar, artinya pemerintah membuat rugi. Ini akan menjadi kerugian di neraca keuangan perusahaan kami,” kata Roy ketika dihubungi via telepon pada Minggu (23/4/2023).
Menurut data Aprindo, piutang tersebut kini dimiliki setidaknya 31 unit usaha ritel besar ataupun kecil yang dinaunginya. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022, pemerintah akan membayar biaya yang ditanggung pengusaha untuk mengadakan minyak goreng kemasan yang harganya saat itu Rp 17.000-Rp 24.000 per liter, kemudian dijual Rp 14.000 per liter.
Selisih biaya itu dibayarkan lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kendati demikian, belakangan permendag tersebut justru dicabut. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR menyatakan takut menyalahi hukum jika tetap membayarkan utang tersebut.
Roy pun menyebut sikap pemerintah yang demikian mengecewakan para investor domestik ataupun internasional yang menanamkan modalnya di perusahaan-perusahaan anggota Aprindo. Hal ini akan memicu tumbuhnya iklim berusaha di Indonesia akibat minimnya kepastian hukum.
”Kok pemerintah enggak berkomitmen? Peraturan kok dianggap kedaluwarsa, terus pemerintah enggak mau bayar? Utang is utang. Kan gampang, buat aja revisi permendagnya. Kasih tahu kepada presiden sebagai bosnya bahwa akan dikeluarkan revisi permendag untuk bayar utang kepada pelaku usaha. Kalau enggak, ini jadi preseden yang enggak baik bagi image kita ketika mau mendorong investasi,” kata Roy.
Di samping itu, ia khawatir Aprindo tak mampu menggerakkan anggotanya untuk melaksanakan penugasan dari pemerintah di masa-masa krisis bahan pokok, seperti beras, gula, dan minyak goreng, karena ”kapok” dengan utang yang tak dibayar. ”Memang HET (harga eceran tertinggi) ditentukan pemerintah, tapi kalau anggota enggak mau menyediakan bagaimana?” ujarnya.
Untuk sementara, Aprindo berencana berhenti menyediakan minyak goreng kemasan jika pemerintah tidak segera memberikan kepastian. Artinya, masyarakat mungkin harus beralih ke Minyakita, minyak goreng yang disediakan pemerintah dan kini kebanyakan hanya dijual di pasar tradisional.
Roy juga tak menutup kemungkinan Aprindo menyambut ”tantangan” Mendag Zulkifli untuk mengadukan Kemendag ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Namun, opsi ini ia sebut akan sangat merepotkan Aprindo. ”Kami ini pedagang. Kalau mau sibuk mengurus pengadilan, waktu kami yang seharusnya untuk berdagang akan habis untuk hal lain,” keluhnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengaku khawatir akan prospek penghentian penjualan minyak goreng oleh peritel. Kendati demikian, dampaknya tak akan dirasakan langsung oleh anggota-anggota Gapki karena mayoritas produk minyak kelapa sawit (CPO) diekspor.
Pada 2022, misalnya, hanya 44,87 persen atau 20,96 juta ton CPO yang digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Sebanyak 9,94 juta ton di antaranya diserap industri pangan, termasuk pabrik-pabrik minyak goreng.
Akan tetapi, kata Eddy, dipastikan akan terjadi kelebihan pasokan CPO. ”Kalau di hilir terganggu, pasti akan berdampak ke hulu. Tetapi karena itu ranahnya masih di hilir, Gapki berharap masalah ini dapat segera diselesaikan agar konsumen minyak goreng, utamanya, tidak dirugikan,” ujarnya.
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan, pihaknya kecewa terhadap pemerintah karena tak konsisten dan bertanggung jawab dalam menjalankan peraturan. Pabrik-pabrik minyak goreng pun mengalami kerugian akibat penundaan pengambilan pesanan oleh para peritel.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim menyatakan, Kemendag masih berkonsultasi dengan Kejaksaan Agung terkait masalah ini. Untuk sementara, ia mengatakan klaim selisih penagihan pembiayaan minyak goreng kemasan bisa dilakukan produsen minyak goreng kepada BPDPKS.
”Untuk nilai klaim selisih harga (milik) pihak ritel modern, dapat ditanyakan kepada produsen minyak goreng yang melakukan klaim selisih harga itu juga,” kata Isy.