Percepatan Peremajaan Sawit Rakyat Jadi Program Khusus Gapki
Percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat menjadi program khusus Gapki. Hal itu mengingat produksi CPO dan PKO dalam empat tahun terakhir stagnan di tengah peningkatan konsumsi sawit untuk pangan dan energi.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat menjadi program khusus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki periode 2023-2028. Selain itu, pengurus baru Gapki juga berkomitmen memperkuat kemitraan dan siap menjadi offtaker tandan buah segar kelapa sawit rakyat.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono, Kamis (13/4/2023), mengatakan, percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) merupakan program khusus kepengurusan baru Gapki. Program khusus itu akan melengkapi program peremajaan kelapa sawit perusahaan-perusahaan swasta anggota Gapki.
Setiap tahun, mereka meremajakan sekitar 5 persen tanaman kelapa sawit dari total luas perkebunan. Adapun perkebunan sawit rakyat yang luasnya mencapai 40,34 persen dari total luas kebun sawit di Indonesia jarang diremajakan secara berkala.
”Padahal, PSR itu sangat penting untuk menyeimbangkan kembali produksi dengan konsumsi dan ekspor. Tanpa ada percepatan peningkatan produktivitas melalui PSR, kami khawatir ujung-ujungnya ekspor akan kembali dikorbankan jika kebutuhan sawit di dalam negeri kurang,” ujarnya di Jakarta.
Percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat merupakan program khusus kepengurusan Gapki baru. PSR itu sangat penting untuk menyeimbangkan kembali produksi dengan konsumsi dan ekspor.
Menurut Eddy, dalam kurun empat tahun terakhir, produksi minyak sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) stagnan. Di sisi lain, konsumsi CPO beserta produk turunannya terus meningkat.
Gapki mencatat, pada 2019-2022 produksi CPO dan PKO turun dari 51,83 juta ton pada 2019 menjadi 51,25 juta ton pada 2022. Total konsumsi sawit untuk pangan, oleokimia, dan biodiesel terus meningkat dari 16,747 juta ton pada 2019 menjadi 20,968 juta ton pada 2022.
Adapun ekspor, kendati turun, volumenya masih di kisaran 30 juta ton. Volume ekspor CPO yang pernah mencapai 37,43 juta ton pada 2019 turun menjadi 30,8 juta ton pada 2022.
”Meskipun ekspor CPO dan produk turunannya turun belakangan ini, Gapki optimistis ekspor akan kembali meningkat seiring dengan peningkatan permintaan minyak nabati dan biodiesel dunia,” katanya.
Untuk merealisasikan program khusus itu, lanjut Eddy, Gapki telah membentuk bidang yang menangani percepatan program PSR dalam organisasi kepengurusan baru. Pengurus bidang tersebut akan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan sawit anggota Gapki untuk memetakan perkebunan sawit petani nonplasma di setiap daerah.
Sebagai langkah awal, sasarannya adalah areal perkebunan rakyat yang berdekatan dengan perkebunan swasta anggota Gapki. Para petani juga akan dijadikan mitra usaha. Mereka akan didampingi meremajakan sawit dan Gapki siap menjadi offtaker atau penjamin serapan tandan buah segar (TBS) petani.
Pada tahun ini, pemerintah menargetkan dapat meremajakan sawit rakyat seluas 180.000 hektar (ha). Dari target itu, seluas 100.000 ha akan dilaksanakan secara mandiri di 115 kabupaten di 21 provinsi, sedangkan sisanya, 80.000 ha, dilakukan menggunakan pola kemitraan dengan beberapa perusahaan.
Dana peremajaan sawit yang dihibahkan Rp 30 juta per hektar per satu kepala keluarga petani sawit. Setiap keluarga petani sawit bisa mendapatkan alokasi dana peremajaan sawit maksimal untuk 4 hektar lahan.
”Kami akan menggarap sebagian dari 80.000 ha dari target program PSR dengan menyasar perkebunan-perkebunan sawit petani mandiri di sekitar perkebunan anggota-anggota Gapki. Jika ada kekurangan dana peremajaan, kami akan berupaya memfasilitasi agar petani bisa mendapat kredit usaha rakyat,” tutur Eddy.
Pemerintah akan membagikan dana bagi hasil (DBH) sawit yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai Rp 3,4 triliun. DBH yang didapat dari pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) itu akan diberikan kepada 350 daerah penghasil, daerah yang berbatasan dengan daerah penghasil, dan pemerintah provinsi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, jumlah DBH bagi provinsi penghasil sawit di kisaran Rp 1 miliar-Rp 82,1 miliar, sedangkan kabupaten/kota penghasil sawit Rp 2,46 miliar-Rp 49,5 miliar. Adapun kabupaten/kota yang berbatasan dengan daerah penghasil sawit akan menerima Rp 1 miliar-Rp 14,8 miliar.
”Pada tahun ini, kami memutuskan masing-masing daerah minimal menerima alokasi DBH sawit Rp 1 miliar,” ujarnya dalam rapat kerja di Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat yang digelar secara hibrida, Selasa (11/4/2023).
Pada tahun ini, kami memutuskan masing-masing daerah minimal menerima alokasi DBH sawit Rp 1 miliar. Dana itu diharapkan bisa untuk membangun infrastuktur, terutama jalan, dan mengembangkan industri sawit daerah.
Menurut Sri Mulyani, hal itu mempertimbangkan banyak daerah yang berhak menerima DBH sawit pada tahun 2022 mendapatkan alokasi yang kecil bahkan sangat kecil. Hal ini terjadi lantaran beberapa kali pemerintah menerapkan PE dan BK sebesar nol persen karena harga CPO rendah sehingga sumber dana dan penerimaan yang dibagi menjadi nol rupiah.
DBH sawit tersebut akan digulirkan pada Juni dan Oktober 2023 masing-masing sebesar 50 persen. Saat ini, pemerintah tengah merampungkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait dengan skema atau formula penyaluran DBH sawit tahun 2023.
Formula pembagian DBH tersebut adalah pemerintah provinsi akan mendapatkan 20 persen, kabupaten/kota penghasil 60 persen, dan kabupaten/kota berbatasan 20 persen. Dengan DBH yang ditetapkan minimal 4 persen dari sumber dana, proporsi pemerintah provinsi sebesar 0,8 persen, kabupaten/kota penghasil 2,4 persen, dan kabupaten/kota berbatasan 0,8 persen.
”Kami berharap daerah-daerah penerima memanfaatkan DBH sawit itu untuk membangun infrastruktur, terutama jalan, dan mengembangkan industri sawit daerah,” kata Sri Mulyani.
Luas perkebunan sawit di Indonesia meningkat 2,49 persen dari 14,62 juta hektar pada 2021 menjadi 14,99 juta hektar pada 2022. Terdapat sembilan provinsi produsen sawit di Indonesia, yakni Riau, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Barat. Produksi sawit di sembilan provinsi itu berkontribusi sebesar 87,46 persen terhadap total produksi sawit di Indonesia.