Meski perdagangan barang secara umum masih tumbuh lambat, perdagangan barang ramah lingkungan justru tumbuh cukup signifikan. Ini menunjukkan transisi industri ke arah ramah lingkungan berjalan dengan baik.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Kapal kontainer meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, setelah melakukan bongkar muat peti kemas, Kamis (2/2/2023).
Perdagangan dan industri di dunia dan Indonesia tengah ”menghijau”. Produk-produk manufaktur ramah lingkungan marak diperdagangkan. Kluster-kluster industri hijau dirintis dan dikembangkan.
Lembaga Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) menyebutkan, total nilai perdagangan barang global pada 2022 mencapai 25 triliun dollar AS. Dari nilai tersebut, 10,7 persen atau Rp 1,9 triliun merupakan buah dari perdagangan produk-produk ramah lingkungan.
Dibandingkan pada 2021, nilai perdagangan produk hijau itu bertambah 100 miliar dollar AS. Beberapa produk ramah lingkungan yang menunjukkan kinerja sangat baik sepanjang 2022 itu adalah kendaraan listrik dan hibrida dengan laju pertumbuhan sebesar 25 persen secara tahunan, kemasan nonplastik 20 persen, dan turbin angin 10 persen.
”Meskipun perdagangan barang secara umum masih tumbuh lambat, perdagangan barang ramah lingkungan justru tumbuh cukup signifikan,” sebut UNCTAD dalam ”Global Trade Update” yang dirilis pada 23 Maret 2023 di Geneva, Swiss.
Meskipun perdagangan barang secara umum masih tumbuh lambat, perdagangan barang ramah lingkungan justru tumbuh cukup signifikan.
Perdagangan barang manufaktur ramah lingkungan tumbuh signifikan dibandingkan dengan barang manufaktur lain sepanjang tahun 2022.
Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan menyatakan, hal itu menunjukkan komitmen dunia mengatasi perubahan iklim dan mengurangi emisi karbon cukup tinggi. Ekonomi hijau perlahan-lahan terus terbangun berbasis teknologi dan industri ramah lingkungan.
Adapun dalam ”Laporan Teknologi dan Inovasi 2023: Membuka Jendela Hijau” yang dirilis pada 16 Maret 2023, UNCTAD memperkirakan industri hijau akan berkembang pesat saat negara-negara meningkatkan upaya melawan perubahan iklim dan mengurangi emisi. Pola perdagangan internasional juga diantisipasi dan bertransisi menuju ekonomi global yang lebih ramah lingkungan.
UNCTAD memproyeksikan, pasar global untuk mobil listrik, energi matahari dan angin, hidrogen hijau, serta sejumlah teknologi hijau lainnya akan mencapai 2,1 triliun pada 2030. Nilai pasar tersebut akan tumbuh empat kali lipat dari nilai pasar saat ini.
Di tengah kabar positif itu, UNCTAD juga menyampaikan risiko perdagangan dunia pada 2023. Ketidakpastian akibat konflik geopolitik masih terjadi sehingga masih berpotensi menghambat laju pertumbuhan perdagangan global.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Berbagai mata uang asing ditempel di dinding tempat penukaran valuta asing PT Valuta Artha Mas, ITC Kuningan, Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Pelemahan nilai tukar mata uang setiap negara terhadap dollar AS juga masih terjadi. Hal itu akan berpengaruh terhadap harga barang dan biaya logistik sehingga bisa memicu inflasi di dalam negeri. Selain itu, UNCTAD juga menyebutkan penurunan volume dan nilai ekspor-impor pada triwulan IV-2022 perlu diwaspadai karena bisa berlanjut hingga semester pertama 2023.
Di Indonesia, penurunan kinerja ekspor sudah terjadi selama enam bulan berturut-turut terhitung sejak September 2022. Nilai ekspor RI yang mencapai 24,8 miliar dollar AS pada September 2022 turun terus per bulan hingga menjadi 21,4 miliar dollar AS pada Februari 2023.
Di tengah tren pertumbuhan perdagangan dan industri hijau, badan usaha milik negara (BUMN) membentuk kluster industri hijau. Produk dari kluster tersebut adalah hidrogen hijau dan amonia hijau.
Ada tiga BUMN yang terlibat dalam pembangunan kluster itu, yakni PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Pertamina (Persero), dan PT Pupuk Indonesia (Persero). Ketiga BUMN tersebut telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) pada 23 Maret 2023.
PLN akan berperan dalam penyediaan energi hijau berbasis energi baru terbarukan (EBT), seperti panas bumi, angin, dan air di pabrik-pabrik pupuk Indonesia. PLN bahkan memberikan sertifikat EBT (REC) bagi pabrik-pabrik, termasuk pabrik pupuk, yang mengakses listrik bersumber EBT.
Di Sumatera, misalnya, PLN telah menyediakan dan akan menambah listrik hijau untuk Pupuk Iskandar Muda dan Pupuk Sriwijaya dengan total kapasitas 2.213 MW. Di Kalimantan Timur (Kaltim), PLN telah memberikan akses listrik hijau ke Pupuk Kaltim berkapasitas 1.205 MW. Di Jawa, akses listrik hijau berkapasitas 5.375 MW telah digunakan Petrokimia Gresik dan Pupuk Kujang.
PLN akan berperan dalam penyediaan energi hijau berbasis EBT, seperti panas bumi, angin, dan air di pabrik-pabrik pupuk Indonesia. PLN bahkan memberikan sertifikat EBT (REC) bagi pabrik-pabrik, termasuk pabrik pupuk, yang mengakses listrik bersumber EBT.
Sementara Pertamina telah menggulirkan program dekarbonisasi mulai dari tingkat operasional hingga memproduksi produk-produk ramah lingkungan. Salah satunya adalah dengan membangun unit penangkapan dan pemanfaatan karbon (CCS/CCUS).
Pertamina juga mengembangkan energi hidrogen hijau di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu di Lampung. Selain itu, Pertamina juga mengembangkan hidrogen biru untuk Kilang Plaju di Palembang Kilang Dumai di Riau.
Adapun Pupuk Indonesia akan memproduksi pupuk amonia hijau dan amonia biru. Pupuk Indonesia juga berencana memanfaatkan karbon dioksida (CO2), limbah amonia, dan natrium klorida sebagai bahan baku abu soda (soda ash) dengan mengembangkan pabrik abu soda. Pembangunan pabrik berkapasitas 300.000 ton per tahun itu akan dilakukan Pupuk Kaltim pada 2022-2025.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan 6 kawasan Tompaso, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). PLTP yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy ini mampu memproduksi listrik sebesar 40 megawatt untuk memasok kebutuhan listrik di Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Wakil Menteri BUMN Pahala Nugraha Mansury menuturkan, upaya itu merupakan salah satu bentuk komitmen Pemerintah Indonesia untuk memenuhi Perjanjian Paris dan COP26. Indonesia menargetkan bisa mencapai emisi nol bersih pada 2060 dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen pada 2030 berdasarkan dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC).
”MoU kluster industri hijau tersebut bakal menjadi dasar sinergi BUMN menciptakan kerangka kerja sama pengembangan program dekarbonisasi di sektor industri, baik melalui utilisasi sumber-sumber EBT maupun mitigasi emisi pemanfaatan energi fosil melalui teknologi CCS/CCUS,” tuturnya melalui siaran pers di Jakarta.
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Bakir Pasaman mengatakan, dalam jangka pendek, perseroan akan memanfaatkan REC PLN bagi anak-anak perusahaan. Dalam jangka panjang, kolaborasi itu akan mendorong produksi pupuk amonia hijau dan amonia biru.
”Saat ini, kami tengah mengkaji pengembangan pupuk amonia biru bersama perusahaan lokal dan asing, seperti Mitsubishi, Mitsui, dan Toyo Engineering,” katanya.