Media Sosial Jadi Biang Krisis di Silicon Valley Bank
Peristiwa SVB memberi gambaran sekilas kepada sektor perbankan tentang bagaimana media sosial dan perbankan digital dapat mengubah lembaga keuangan dari operasi normal menjadi runtuh.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
AFP/GETTY IMAGES/GETTY IMAGES NORTH AMERICA/JUSTIN SULLIVAN
Sebuah truk lapis baja Brinks diparkir di depan kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) yang ditutup pada Jumat (10/3/2023) di Santa Clara, California, Amerika Serikat. Silicon Valley Bank ditutup pada Jumat pagi oleh regulator California dan dikendalikan oleh Federal Deposit Insurance Corporation AS.
Saat sesuatu terjadi di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi, orang kemudian terpanggil bergerak ketika muncul tagar #SaveKPK beberapa tahun lalu. Mereka kemudian berkumpul untuk menyatakan pendapat dan kemudian juga melakukan demonstrasi. Transmisi perasaan mudah terjadi di era media sosial. Dalam waktu singkat kecemasan atau ketakutan terhadap sesuatu bisa membangkitkan orang untuk bergerak.
Kita beruntung memiliki pengalaman positif dalam pergerakan massa dengan menggunakan media sosial. Akan tetapi, berkaca dari kasus Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat, maka kita perlu bersiap-siap ketika obrolan di grup percakapan dan kemudian diunggah di media sosial lainnya memunculkan kepanikan serta berlanjut pada krisis perbankan.
Laporan awal menyebutkan, pemilik rekening menarik 42 miliar dollar AS dalam satu hari di Silicon Valley Bank. Mereka hanya meninggalkan 1 miliar dollar AS dalam saldo kas negatif. Penarikan yang mengejutkan ini terjadi dengan kecepatan yang dimungkinkan oleh perbankan digital dan kemungkinan besar sebagian didorong oleh kepanikan viral yang menyebar di platform media sosial yang sebelumnya muncul di grup obrolan pribadi.
The Wall Street Journal melaporkan, pada hari menjelang keruntuhan bank, beberapa pemodal ventura terkemuka turun ke Twitter secara khusus dan menggunakan platform mereka untuk memperingatkan tentang situasi tersebut. Bahkan, terkadang mengetik dengan huruf besar semua. Beberapa investor mendesak para usaha rintisan untuk memikirkan kembali di mana mereka menyimpan uang. Pendiri dan CEO kemudian membagikan cuitan tentang situasi yang mengkhawatirkan di bank di kanal pribadi platform Slack.
Kasus ini sangat boleh jadi merupakan kasus pertama krisis perbankan yang diduga muncul karena penyebaran kepanikan melalui media sosial. ”Ini adalah krisis bank pertama yang didorong oleh Twitter,” kata Ketua Komite Jasa Keuangan DPR AS Patrick McHenry di laman Bankingdive dalam sebuah pernyataan menyusul langkah-langkah luar biasa regulator untuk mengamankan semua simpanan di SVB. Upaya itu merupakan cara untuk membendung penularan kepanikan di kalangan nasabah.
Sementara klien usaha rintisan dan sektor teknologi bank yang ambruk menarik napas lega pada hari Minggu atau dua hari seusai kejadian itu setelah bank sentral mengumumkan langkah talangan. Peristiwa yang mempercepat kematian SVB memberi gambaran sekilas kepada sektor perbankan tentang bagaimana media sosial dan perbankan digital dapat mengubah lembaga keuangan dari operasi normal menjadi runtuh dalam hitungan jam.
”Kita sedang memasuki era baru yang digerakkan oleh media sosial di bank,” kata Solomon Lax, seorang mantan bankir investasi dan pemodal ventura yang sekarang menjadi CEO dari pemberi pinjaman secara daring Revenued. Prosesnya secara ringkas seperti ini. Sejumlah petinggi perusahaan modal ventura menginstruksikan perusahaan portofolio mereka untuk menarik uang tunai dari SVB. Pendiri dan investor kemungkinan besar berbagi keprihatinan mereka atas bank tersebut dalam grup obrolan pribadi sebelum berita menyebar ke media sosial.
Apa yang terjadi kemudian adalah muncul sejumlah unggahan di media sosial yang membuat kepanikan. ”Lari ke bank!” unggah pengusaha dan tokoh internet Kim Dotcom di salah satu akunnya. ”Anda harus benar-benar terkejut sekarang—itulah reaksi yang tepat terhadap bank run & contagion,” tulis investor usaha rintisan Jason Calacanis dalam akun media sosialnya dengan huruf besar. Setelah unggahan itu, tagar #BankCrash menjadi trending di Twitter sepanjang akhir pekan. Dari laporan Google Analytc, terjadi lonjakan obrolan soal SVB.
Belajar dari kasus ini, apa yang bisa dilakukan oleh ekosistem perbankan ketika orang-orang ”bermain-main” di media sosial untuk menyebarkan kepanikan dan menyebabkan krisis perbankan? Pada masa lalu, rumor dan potensi krisis perbankan membutuhkan beberapa hari hingga kemudian meledak. Kini, dengan adanya media sosial, maka dalam hitungan menit institusi keuangan yang dibangun beberapa tahun bisa kolaps.
Sistem perbankan, regulator, dan pemerintah perlu bersiap menghadapi realitas baru ini dan mengalibrasi ulang alat-alat yang digunakan untuk memantau pemicu berikut dengan metriknya. Otoritas bisa saja bekerja sama dengan perusahaan media sosial agar platform memberi tahu fenomena yang tengah terjadi di media sosial, semisal kenaikan pembicaraan yang tidak wajar tentang sebuah bank atau krisis sebuah bank. Dengan cara ini, otoritas bisa segera melakukan langkah pencegahan.
Ada yang mengusulkan agar otoritas melarang unggahan tentang krisis perbankan. Akan tetapi, pendiri dan CEO Tusk Ventures Bradley Tusk di laman Fortune mengatakan, memantau volatilitas di platform media sosial tidaklah rumit atau mahal. Langkah seperti ini tidak memerlukan proses pembuatan peraturan yang ekstensif dan masuk akal. Lebih penting lagi, regulator harus menyadari bahwa dunia telah berubah dan perubahan terjadi pula di dalam industri keuangan. Era ketika unggahan viral bisa menjadi kutukan.