Infrastruktur kereta ringan Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi atau LRT Jabodebek siap tuntas pada Juli 2023. Momentum kebangkitan hunian vertikal berkonsep kawasan berorientasi transit atau TOD.
Oleh
MEDIANA, BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
LRT Jabodebek memiliki 27 rangkaian kereta (trainset). Infrastruktur LRT Jabodebek digarap oleh PT Adhi Karya (Persero) Tbk, sementara PT Kereta Api Indonesia (Persero) akan mengoperasikan 27 kereta LRT Jabodebek dengan 560 perjalanan yang bisa melayani 114.000 penumpang tiap hari.
Menurut Direktur Utama Adhi Karya Entus Asnawi Mukhson, pekan lalu, LRT Jabodebek tahap I bakal melayani rute Cibubur-Dukuh Atas serta Bekasi Timur-Dukuh Atas. Kereta tanpa masinis itu memiliki kecepatan rata-rata 60 kilometer per jam dan kecepatan maksimum 80 kilometer per jam. ”Estimasi waktu tempuh untuk rute Cibubur-Dukuh Atas sekitar 30 menit, sedangkan Bekasi Timur-Dukuh Atas sekitar 45 menit,” ujarnya.
Pengoperasian LRT diproyeksikan akan mengungkit pengembangan hunian di sekitarnya, khususnya hunian vertikal di kawasan berorientasi transit. Apalagi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka kesempatan hunian vertikal yang dekat daerah transit memiliki ketinggian bangunan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain.
”Semakin tinggi hunian vertikal, harga setiap unitnya akan lebih terjangkau. Ini akan mendorong warga untuk tinggal dekat area transit angkutan umum. Apartemen berbasis TOD (transit oriented development) perlu menggarap momentum itu,” kata Head of Research Colliers Indonesia Ferry Salanto, saat dihubungi, Jumat (17/3/2023).
Survei Colliers pada triwulan I-2023 menunjukkan pasar apartemen secara umum masih tertekan. Apalagi, telah terjadi pergeseran pasar, yakni investor apartemen yang mendominasi pasar cenderung wait and see ataupun lebih memilih unit-unit yang sudah selesai dibangun guna memberi jaminan keamanan berinvestasi. Sementara itu, sebagian proyek apartemen TOD saat ini masih dalam tahap pembangunan.
Di lain pihak, apartemen menawarkan gaya hidup lebih praktis dan menunjang mobilitas tinggi dengan biaya transportasi lebih hemat. Tren kembalinya pola kerja dari kantor (WFO) serta beroperasinya LRT Jabodebek membuka peluang pasar apartemen untuk dihuni (end user). Apartemen berbasis TOD di wilayah pinggiran Jakarta bakal lebih diminati karena harga jual yang relatif terjangkau dibandingkan dengan apartemen non-TOD di tengah kota Jakarta. Harga jual unit apartemen berbasis TOD saat ini berkisar Rp 500 juta-Rp 1,5 miliar per unit.
Di DKI Jakarta, tingkat penyerapan hunian apartemen berbasis TOD saat ini sekitar 74 persen, sedangkan apartemen non-TOD serapannya 81 persen. Meski demikian, tingkat penyerapan apartemen TOD selama tahun 2019-2022 tumbuh rata-rata 10 persen, sedangkan apartemen non-TOD hanya 4 persen.
”Pengungkitnya adalah harga. Apartemen TOD di pinggiran Jakarta harganya masih relatif lebih terjangkau. Dengan akses transportasi yang semakin mudah ke pusat kota, hunian TOD di pinggiran akan lebih menarik pasar, khususnya end user,” lanjut Ferry.
Perlu agresif
Persoalan yang muncul, sebagian proyek apartemen TOD tidak diimbangi dengan cara pemasaran yang optimal dan pembangunan yang agresif sehingga investor ataupun end user cenderung berpikir ulang untuk membeli unit apartemen tersebut. Konsumen semakin jeli dan berhati-hati untuk membeli apartemen guna jaminan kepastian hunian. Pengembang apartemen TOD dinilai perlu lebih agresif menggarap pasar.
”Tugas pemerintah sebagai regulator mendorong daya beli masyarakat yang belum punya rumah untuk memiliki apartemen. Jika menginginkan rumah tapak dengan harga terjangkau di tengah kota sudah tidak mungkin karena komponen harga tanah mahal, maka yang memungkinkan adalah apartemen,” tutur Ferry.
Direktur Utama Perum Perumnas Budi Saddewa Soediro, Kamis (23/3), di Jakarta, menyebutkan, Perumnas memiliki tiga lokasi hunian vertikal TOD, yaitu Samesta Mahata Serpong di Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Banten; Samesta Mahata Margonda di Stasiun Pondok Cina, Depok, Jabar; dan Samesta Mahata Tanjung Barat di Stasiun Tanjung Barat, Jakarta. Saat ini, hunian vertikal TOD Perumnas itu terserap lebih dari 60 persen.
”Kami tengah berkomitmen untuk berkontribusi menyelesaikan permasalahan backlog, dengan menyasar milenial sebagai konsumen Perumnas. Sesuai data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2019, sebanyak 81 juta orang, termasuk milenial, belum memiliki hunian,” ucap Budi.
Menurut dia, tantangan konsep TOD adalah meyakinkan konsumen bahwa konsep ini memberikan kemudahan. Konsep TOD relatif masih dianggap hal baru. Namun, lambat laun masyarakat mengetahui beragam manfaat yang dirasakan. Salah satunya adalah lokasi hunian yang berada di tengah kota.
Budi mengatakan, Perumnas optimistis bisnis properti di Indonesia semakin menggeliat. Dalam konteks konsep hunian TOD, pemerintah melalui Kementerian BUMN mendorong Perumnas bersinergi dengan institusi lain.
Direktur Utama PT Adhi Commuter Properti Tbk Rizkan Firman memaparkan, perusahaan konsisten menggarap hunian berbasis TOD melalui proyek LRT City dan ADHI City. Hingga kini, terdapat delapan proyek LRT City yang terkoneksi dengan stasiun LRT Jabodebek tahap I dan dua proyek yang terkoneksi dengan LRT Jabodebek tahap II (Cibubur-Bogor).
”Pengoperasian LRT tahun ini menjadi katalis positif. Dengan momentum ini, kami konsisten meyakinkan konsumen untuk merasakan manfaat tinggal di hunian berkonsep TOD, dengan keuntungan kemudahan aksesibilitas dan mobilitas yang efisien dalam waktu, biaya, dan dapat lebih produktif,” ujarnya, saat dihubungi, Jumat (24/3).
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (Arebi) Lukas Bong, hunian TOD sebenarnya adalah kebutuhan, terutama bagi ibu kota Jakarta yang padat. Hanya saja, mayoritas proyek hunian TOD memiliki harga yang mahal. Masyarakat akhirnya membandingkan harga hunian yang lebih murah, terutama dengan rumah tapak.
”Apalagi, selama pandemi dan sesudahnya, pola bekerja dari rumah masih terus berlangsung. Kebanyakan warga akhirnya semakin menikmati tinggal di rumah tapak,” kata Lukas.
Dari sisi generasi muda, lanjut Lukas, mereka sebenarnya lebih menyukai hunian tempat tinggal yang terhubung langsung dengan akses transportasi. Dengan demikian, hunian TOD sebenarnya masih memiliki peluang pasar.