Gerakan menanggulangi permasalahan perubahan iklim telah berkembang secara global. Pemerintah di berbagai negara juga mendukung. Situasi ini mendorong berkembangnya usaha rintisan bidang teknologi ramah lingkungan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
MEDIANA
(Kiri ke kanan) : Chief Financial Officer SUN Energy Evy Susanti dan CEO Delos Guntur Mallarangeng saat menghadiri acara Xponent, Jumat (17/3/2023), di Jakarta.
Para pelaku usaha rintisan bidang teknologi atau start up yang mengusung misi ekonomi hijau semakin berkembang. Fenomena ini sejalan dengan gerakan pemerintah secara global untuk memerangi masalah perubahan iklim.
Salah satunya adalah SUN Energy. Chief Financial Officer SUN Energy Evy Susanti menceritakan, tiga tahun lalu, perusahaannya hanya menyambungkan 3 megawatt solar panel. Kini, jumlah tersambung melejit menjadi 185 megawatt peak di Indonesia, Australia, Vietnam, dan Thailand.
”Warga semakin sadar betapa pentingnya lingkungan berkelanjutan. Ketika pandemi Covid-19 melanda, keinginan warga untuk bertahan hidup dan mencegah perubahan iklim semakin naik. Menggunakan energi terbarukan untuk kebutuhan listrik sehari-hari adalah salah satu solusinya,” ujanya, yang ditemui di sela-sela acara Xponent yang diselenggarakan oleh Mandiri Capital Indonesia, Jumat (17/3/2023) sore, di Jakarta.
SUN Energy menyediakan solusi terintegrasi untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), mulai dari konsep, konstruksi, penentuan lokasi, perizinan, penyewaan, hingga pembiayaan. Menurut Evy, pihaknya juga menawarkan pemasangan panel surya tidak perlu memakai biaya investasi. Konsumen cukup membayar sesuai konsumsi listrik setiap bulan. Solusi yang ditawarkan oleh SUN Energy bisa dipakai oleh konsumen berlatar belakang industri maupun residensial.
Indonesia sebenarnya telah memiliki proyek pengurangan emisi karbon sejak 2011. Akan tetapi, jumlahnya relatif sedikit.
Untuk pengembangan bisnis, SUN Energy telah menerima suntikan pendanaan 10 juta dollar AS dari salah satu bank korporat di Indonesia. Berbagai inovasi terus dilakukan oleh perusahaan, seperti ruang pemantauan PLTS berbasis benda terhubung dengan internet (internet of things/IoT).
Start up lainnya, seperti Jejak.in, fokus untuk mengembangkan teknologi perdagangan karbon. Chief Executive Officer Jejak.in Arfan Arlanda mengatakan, pihaknya memiliki teknologi CarbonIQ yang membantu pebisnis mulai dari sektor ritel sampai tambang untuk menghitung pengeluaran karbon. Solusi berikutnya adalah Carbon Space untuk mengakomodasi proyek pengurangan emisi karbon.
”Kami juga memiliki karbon atlas untuk menyediakan kredibilitas setiap program pengurangan emisi karbon. Jadi, setiap program pengurangan emisi karbon bisa lebih terukur dan tersertifikasi,” ujarnya.
Indonesia sebenarnya telah memiliki proyek pengurangan emisi karbon sejak 2011. Akan tetapi, jumlahnya relatif sedikit. Arfan menduga, itu karena upaya pengurangan emisi karbon awalnya cenderung bersifat program sukarela, bukan kewajiban.
”Kendati demikian, saat ini suasananya berubah. Berbagai regulasi pemerintah terbit untuk mendukung pengurangan emisi karbon, seperti ketentuan nilai ekonomi karbon dan taksonomi keuangan hijau. Semua itu jadi peluang bisnis bagi Jejakin,” kata Arfan.
Ada pula start up yang berkontribusi mengatasi masalah perubahan iklim melalui budidaya perairan yang berkelanjutan. Sebagai contoh, Delos. Delos menyediakan jasa manajemen tambak, aplikasi AquaHero untuk melacak kinerja, desain tambak, dan integrasi rantai pasok.
Delos telah mengantongi sertifikasi Best Aquaculture Practices. Dua tahun terakhir, produktivitas per hektar tambak mencapai 40 ton.
”Semakin banyak warga membutuhkan protein dari makanan hasil laut. Kenaikan permintaan ini perlu diiringi dengan manajemen budidaya tambak yang tidak boros karbon. Makanya, kami mengembangkan solusi teknologi yang membuat tata kelola berkelanjutan dan lebih cepat terhubung dengan rantai pasok penjual-pembeli,” kata Chief Executive Officer Delos, Guntur Mallarangeng.
Karbon netral
Mengutip temuan riset di laporan ”Startup Report 2022: Towards More Sustainable Startup Ecosystem in Indonesia”, CEO DailySocial Rama Mamuaya mengatakan, imbauan pemerintah untuk karbon netral pada 2060 mendorong popularitas start up di bidang ekonomi hijau. Misalnya, start up yang mengembangkan kendaraan listrik, manajemen sampah, dan energi terbarukan.
Berdasarkan laporan yang sama, terdapat sekitar 39 start up di bidang ekonomi hijau di Indonesia yang terbagi dalam empat kategori besar, yakni energi terbarukan, pengelolaan makanan/sampah/limbah, kredit karbon, dan kendaraan listrik. Di antara keempat kategori itu, kategori pengelolaan sampah mendominasi. Beberapa pemainnya mencakup Waste4Change, Kibumi, dan Rekosistem. Kemunculan mereka untuk menangkap peluang karena berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tingkat daur ulang masih sangat rendah di Indonesia, yaitu 11–12 persen dan volume sampah mencapai 68,5 juta ton pada 2022.
Tercatat ada sekitar 15 transaksi pendanaan kepada start up bidang ekonomi hijau sepanjang 2022. Rama mengatakan, jumlah itu naik dibanding 2021 dan 2020, yaitu masing-masing lima transaksi dan dua transaksi. Sebagian transaksi berbentuk suntikan investasi tahap awal.
”Akses modal dalam investasi hijau didorong oleh sektor swasta dan badan usaha milik negara. Kami menduga, hal ini dipengaruhi oleh tren penerapakan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (ESG) yang harus dimiliki korporat. Beberapa investasi hijau dituangkan oleh perusahaan modal ventura, yaitu New Energy Nexus, Gayo Capital, Intudo Ventures, dan Jawara Ventures,” ujar Rama, saat menghadiri diskusi ”Navigating Startups: Opportunities & Challenges 2023”, Rabu (15/3/2023), di Jakarta.
Selain itu, di Indonesia juga sedang berkembang aneka kompetisi bagi start up di bidang ekonomi hijau. Sebagai contoh, Climate Impact Innovations Challenge 2023 yang diumumkan awal Maret 2023. Kompetisi ini diselenggarakan oleh perusahaan modal ventura East Ventures dan Temasek Foundation.
Akses modal dalam investasi hijau didorong oleh sektor swasta dan badan usaha milik negara.
Climate Impact Innovations Challenge 2023 akan melalui agenda pendaftaran, pembinaan, dan pengumuman pemenang final pada September 2023. Co-Founder dan Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca, mengatakan, pihaknya percaya bahwa kewirausahaan di bidang ekonomi hijau memiliki peran penting untuk mengatasi permasalahan lingkungan.
Secara global, laporan PwC bertajuk The State of Climate Tech 2020 menyebutkan, terdapat sekitar 3.000 start up di bidang ekonomi hijau. Dalam laporan berjudul sama tahun 2022, PwC mengatakan, start up yang menyediakan solusi teknologi untuk energi terbarukan menerima suntikan terbesar kedua di dunia, setelah start up yang menawarkan solusi mobilitas.