Budaya yang mendukung keseimbangan bekerja dan kehidupan personal tidak kalah penting bagi pencari kerja, di samping tawaran gaji yang tinggi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski berada dalam kondisi pertumbuhan ekonomi melambat dan pandemi Covid-19 belum usai, angkatan kerja tetap berusaha aktif mencari pekerjaan baru. Prioritas utama pencari kerja adalah tempat bekerja yang menawarkan keseimbangan bekerja dengan kehidupan personal, diikuti pengembangan jenjang karier, serta kebutuhan mempelajari keterampilan baru.
”Cara pandang orang terhadap pekerjaan berubah secara radikal beberapa tahun terakhir. Kebanyakan pekerja tidak ingin hidup untuk bekerja, tetapi bekerja dan kehidupan personal yang harus imbang,” ujar Partner dan Associate Director di Boston Consulting Group, Sagar Goel, saat acara rilis laporan riset ”Apa yang Diharapkan Pekerja Diketahui oleh Perusahaan: Membuka Pintu Masa Depan Rekrutmen”, Rabu (1/3/2023), di Jakarta.
Menurut Sagar, para pemberi kerja semestinya memahami bahwa gaji yang tinggi mungkin menarik perhatian para pencari kerja. Akan tetapi, hal itu tidak cukup untuk mempertahankan mereka dalam jangka panjang. Kultur yang mendukung keseimbangan bekerja dan kehidupan personal (work-life balance), memungkinkan fleksibilitas cara bekerja, dan menekankan hubungan kerja yang baik juga tak kalah penting.
Laporan riset ini dikerjakan oleh Boston Consulting Group, The Network, dan SEEK pada tahun 2022. Riset dilakukan dengan metode survei daring. Secara global, riset ini menyasar 90.547 responden di 160 negara. Kelompok usianya meliputi usia 21-30 tahun (33 persen), 31-40 tahun (30 persen), 41-50 tahun (20 persen), 51-60 tahun (12 persen), usia kurang dari 20 tahun (2 persen), dan sisanya berasal dari kelompok umur di atas 60 tahun.
Sebanyak 66 persen dari total responden global itu bekerja penuh atau paruh waktu. Dilihat dari lama bekerja, 67 persen responden telah bekerja 2-20 tahun. Mereka berasal dari beragam sektor industri dan organisasi nirlaba.
Secara khusus, untuk Indonesia, Boston Consulting Group, The Network, dan SEEK menggunakan 68.591 responden. Dari sisi usia, 64 persen berusia 21-30 tahun, 23 persen berusia 31-40 tahun, 5 persen berusia 41-50 tahun, serta sisanya berusia 51-60 tahun dan kurang dari 20 tahun.
Dilihat dari pengalaman bekerja, 56 persen bekerja 2-10 tahun, 26 persen bekerja kurang dari 2 tahun, 14 persen bekerja 11-20 tahun, dan 4 persen bekerja lebih dari 20 tahun. Lebih dari separuh responden berstatus sedang bekerja penuh atau paruh waktu.
Ekspektasi responden Indonesia terhadap karier yang ideal relatif berbeda dibanding rata- rata responden secara global ataupun di Asia Tenggara. Sebanyak 63 persen responden Indonesia memandang pentingnya keseimbangan bekerja dan kehidupan pribadi, sedangkan di Asia Tenggara sebanyak 71 persen yang menganggap penting dan di tingkat global sebanyak 69 persen.
Untuk ekspektasi pengembangan jenjang karier, hanya 36 persen responden Indonesia yang menganggap penting. Porsi ini lebih rendah dibanding di Asia Tenggara yang 45 persen dan di tingkat global 41 persen. Mengenai ekspektasi kebutuhan pelatihan keterampilan baru, 32 persen responden Indonesia menganggap penting. Porsi ini lebih tinggi dibanding rata-rata Asia Tenggara yang sebanyak 26 persen dan global 23 persen.
”Kami menilai, angkatan kerja Indonesia termasuk optimistis. Di tengah kondisi yang serba tidak pasti, sejumlah pekerja masih memikirkan cara agar mereka memiliki keterampilan yang relevan,” kata Chief Operating Officer JobStreet Indonesia Varun Mehta.
Dia menambahkan, sebagian besar pekerja Indonesia menyukai sistem kerja hibrida meskipun 38 persen terbuka untuk kembali bekerja di kantor secara penuh. Situasi ini relatif hampir sama di tingkat global. Dalam hal jadwal kerja, temuan survei menunjukkan preferensi pencari kerja di Indonesia juga hampir sama dengan rata-rata responden global, yaitu lima hari dalam sepekan.
Sejalan dengan temuan itu, laporan ”Year in Search 2022” yang dirilis oleh Google Indonesia baru-baru ini menyatakan, penelusuran untuk remote work atau pekerjaan dari jarak jauh di mesin pencari Google naik 60 persen dibanding tahun 2021. Lalu, penelusuran work-life balance naik 100 persen, kebebasan finansial naik 50 persen, dan penelusuran side hustle (pekerjaan sampingan) naik 50 persen.
Relasi kerja
Head of Ads Marketing Google Indonesia Yolanda Sastra berpendapat, ada kecenderungan warga sekarang lebih reflektif dan memikirkan masa depan. Ditambah lagi, terdapat banyak hal tidak terduga dalam beberapa tahun terakhir, seperti pandemi Covid-19. Hal ini mendorong warga mencoba mengontrol kembali hidupnya dan mencari cara-cara baru menuju kemandirian finansial.
Secara terpisah, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti menyatakan, relasi kerja (antara pekerja dan pemberi kerja) yang fleksibel pun tengah berkembang. Relasi seperti ini dikhawatirkan membuat tidak ada kejelasan hak-hak pekerja.
”Di era digitalisasi semakin bermunculan pekerja-pekerja lepas. Mereka bekerja seperti tidak ada batasan jam kerja sehingga hak yang seharusnya mereka dapat juga tidak jelas,” kata Dian.