Power wheeling memiliki potensi untuk dimanfaatkan demi peningkatan pertumbuhan energi terbarukan. Akan tetapi, penerapan skema power wheeling memiliki tantangan, baik dari aspek regulasi maupun ekonomi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Priyatno (47) memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya untuk menyedot air dari sumur bor di tengah sawah di Desa Kalijaran, Kecamatan Maos, Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (11/10/2022). Inovasi itu hadir atas sinergi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit IV, Pertamina Foundation, serta Politeknik Negeri Cilacap.
Skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik memiliki potensi besar untuk memacu pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia yang saat ini berjalan sangat lambat. Namun, untuk diterapkan, masih ada sejumlah tantangan, baik aspek regulasi maupun ekonomi. Pendalaman skema tersebut dinilai perlu dilakukan.
Pembicaraan mengenai power wheeling mengemuka dalam webinar "Energi Baru dan Energi Terbarukan untuk Kemakmuran Semua: Dilema Power Wheeling, Insentif, dan Harga" yang digelar Center of Economic and Law Studies (Celios) Selasa (28/2/2023). Power wheeling dinilai sebagai salah satu instrumen penting agar target bauran energi terbarukan di Indonesia dapat tercapai.
Power wheeling ialah penggunaan bersama jaringan transmisi. Dengan skema itu, transfer energi listrik bisa langsung dari sumber energi terbarukan yang dikembangkan produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) ke perusahaan (pelanggan) yang menggunakannya. Namun, tetap memakai jaringan transmisi milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Lewat skema tersebut, akan ada pembayaran biaya sewa pemanfaatan jaringan kepada PLN sebagai pemilik jaringan transmisi. Penyewaan jaringan itu lebih memungkinkan daripada membangun infrastruktur jaringan transmisi baru yang biayanya sangat tinggi.
Skema power wheeling tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Penyediaan Tenaga Listrik dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik. Peraturan Menteri ESDM itu kemudian dicabut dan digantikan Peraturan Menteri ESDM No 11/2021 tentang Pelaksanaan Usaha Ketenagalistrikan.
Peneliti Bidang Hukum Celios Mhd Zakiul Fikri, mengatakan, secara konseptual, power wheeling diharapkan bisa mengurangi biaya bagi pembeli listrik, meningkatkan investasi di sektor energi swasta, dan meningkatkan daya beli konsumen. Juga memungkinkan perusahaan swasta meningkatkan efisiensi operasional mereka dengan mengurangi biaya pembelian listrik.
"Beberapa tahun terakhir permintaan energi bersih meningkat, termasuk dari sektor industri dan komersial. Untuk memenuhi itu, salah satunya bisa dengan skema membeli listrik dari luar tapak. Lantaran berinvestasi jaringan transmisi pada oleh industri mahal, skema penyewaan transmisi utilitas atau power wheeling ini bisa menjadi solusi," ujar Fikri.
Akan tetapi, penerapan skema power wheeling memiliki sejumlah tantangan. Pada aspek regulasi, yakni belum ada dokumen teknis dan finansial yang detail tentang pelaksanaannya. Kalaupun skema tersebut akhirnya dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), maka wajib menghindari praktik unbundling karena menurut putusan Mahkamah Konstitusi hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun tantangan pada aspek ekonomi ialah akan meningkatkan biaya operasional dan meningkatkan risiko keuangan bagi PLN. Juga, akan meningkatkan biaya bagi konsumen.
"Rekomendasi kami, pemerintah perlu memperdalam studi tentang sistem power wheeling yang tepat. Itu dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk ketersediaan sumber daya, teknologi, infrastruktur, dan biaya," kata Fikri.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan 6 kawasan Tompaso, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). PLTP yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy ini mampu memproduksi listrik sebesar 40 Megawatt untuk memasok kebutuhan listrik di Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Ciptakan pasar
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, dalam webinar itu, menuturkan, power wheeling bisa menciptakan pasar energi terbarukan, mengingat banyak perusahaan di Indonesia yang membutuhkan listrik hijau. Hal itu merujuk pada kenyataan bahwa saat ini sistem kelistrikan nasional masih didominasi fosil.
Power wheeling dirasa perlu mengingat Indonesia memasang target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025. Sementara hingga 2022 capainnya baru 12,3 persen. Di samping itu, juga sudah ditetapkan target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060 atau lebih cepat, dalam rangka melakukan dekarbonisasi di sektor energi.
"Target (2060) masih panjang, tetapi yang lebih dekat ialah 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer. Namun, saat ini pertumbuhan energi terbarukan sangat lambat. Dari 2018-2022, hanya tumbuh sekitar 400 megawatt per tahun atau jauh dari seharusnya, 3.000-4.000 megawatt per tahun, jika 23 persen (bauran) ingin tercapai," kata Fabby.
Selama ini, power wheeling menjadi pro-kontra. Skema itu awalnya hendak dimasukkan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBET, oleh pemerintah untuk kemudian diserahkan kepada DPR, untuk dibahas bersama. Namun, setelah adanya koordinasi lintas kementerian, pemerintah sepakat tidak memasukkan aspek power wheeling dalam DIM RUU EBET. Pembahasan DIM RUU itu masih dilakukan.
Sebelumnya, peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Akmaluddin Rachim berpendapat, keputusan pemerintah sudah tepat. Menurutnya, secara prinsip, power wheeling memang memiliki tujuan baik dalam memberi ruang pemanfaatan listrik berbasis energi tebarukan. Artinya, kebutuhan listrik berbasis energi bersih bisa terakomodasi.
"Namun, karena pola itu menyerupai unbundling yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagalistrikan sebelumnya, yang telah dinyatakan inskonstitusional oleh MK, maka pola itu harus diturunkan. Kami berharap ketentuan ini diperbaiki agar dikemudian hari tidak terjadi gugatan terhadap pasal yang mengatur skema power wheeling," katanya.
Anggota Komisi VII DPR RI Zulfikar Hamonangan, dalam webinar Selasa (28/2), mengemukakan, Komisi VII mendorong penerapan skema power wheeling tersebut. Namun, pemerintah menolaknya. "Dalam (perumusan) UU, tidak bisa hanya kami, tetapi harus persetujuan eksekutif juga. Namun, kami di Komisi VII DPR terus mendorong optimalisasi pemanfaatan energi terbarukan," ucapnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Sahid Junaidi, pekan lalu mengatakan, pemerintah sebagai satu kesatuan, telah memutuskan tak memasukkan power wheeling dalam DIM RUU EBET.
"Ada berbagai pertimbangan, termasuk terkait dengan keuangan negara," kata Sahid.