Kelembagaan Jadi Poin Krusial dalam Revisi UU Migas
Dengan penyusunan RUU Migas, peran SKK Migas nantinya akan digantikan oleh badan usaha khusus minyak dan gas bumi. Namun, yang masih menjadi perdebatan ialah apakah BUK tersebut Pertamina atau dibentuk badan baru.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
ADITYA PUTRA PERDANA
Pekerja berinteraksi di rig Pertamina di Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, yang merupakan bagian dari Wilayah Kerja Rokan (Blok Rokan), Senin (8/8/2022). Pengeboran itu menjadi salah satu rig Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang mengelola Blok Rokan sejak Agustus 2021 setelah dialih kelola dari Chevron.
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi semakin mendesak untuk segera diselesaikan di tengah tren penurunan produksi, ketergantungan impor minyak, dan transisi energi. Sebab, kepastian regulasi penting untuk daya tarik investasi, termasuk terkait kejelasan badan yang mengelola kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Pengamat perminyakan yang juga dosen Teknik Perminyakan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Topan Herianto, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (15/2/2023), mengatakan, saat ini tren produksi migas Indonesia tengah menurun, sementara cadangan terbukti migas juga akan terus menipis. Peningkatan eksplorasi pada cekungan-cekungan yang ada menjadi penting.
Sayangnya, proses revisi UU Migas terlalu lama berlarut-larut. ”Padahal, itu yang dinantikan oleh investor. Sebab, hukum internasional terhadap kontrak migas, mereka (investor) harus merasa terlindungi. Dengan belum adanya hasil revisi UU Migas, saat ini pemerintah hanya jalan dengan peraturan menteri yang ada. Perlu ada kepastian,” kata Topan.
Salah satu hal krusial dalam perbaikan UU Migas adalah terkait lembaga yang mengelola atau berkontrak dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Pada 2002, dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), tetapi dibubarkan pada 2012 seiring Mahkamah Konstitusional (MK) yang menyatakan keberadaan badan tersebut inkonstitusional.
Pada Januari 2013, dibentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013. Dalam rangka pengendalian, pengawasan, dan evaluasi terhadap pengelolaan kegiatan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas oleh SKK Migas, juga dibentuk Komisi Pengawas yang diketuai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Apabila UU Migas yang baru disahkan, kelembagaan akan lebih jelas siapa yang mengelola, mengatur, mengawasi kegiatan hulu migas, ketimbang SKK Migas yang sebatas satuan kerja khusus. ”Apakah kembali ke Pertamina (seperti sebelum berlaku UU No 22/2001) atau seperti apa. Itu akan lebih baik. Apa pun itu, posisinya jelas, siapa mengawasi siapa,” ucap Topan.
Sebelumnya, pada Senin (13/2/2023), dalam dua sesi berbeda, Komisi VII DPR menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Indonesian Petroleum Association (IPA) dan Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas). Dalam pertemuan itu, Komisi VII menerima sejumlah masukan terkait dengan Rancangan UU tentang Perubahan atas UU No 22/2001 tentang Migas.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Ramson Siagian, mengatakan, salah satu masukan yang diterima Komisi VII terkait kelembagaan. Ada harapan pengelolaan kegiatan hulu migas, oleh badan usaha khusus minyak dan gas bumi (BUK), diserahkan kepada BUMN yang sudah berpengalaman dalam hal ini Pertamina. Itu berarti kembali seperti sebelum UU No 22/2001 berlaku.
Kala itu, imbuh Ramson, investasi migas masih berkembang dengan produksi siap jual (lifting) minyak yang sekitar 1,2 juta barel per hari. Namun, kemudian terjadi tren penurunan. Saat ini lifting minyak hanya sekitar 650.000 barel per hari. Dengan adanya BUK dalam RUU Migas, diharapkan bisa lebih memberi ruang kepada investor sehingga cadangan dan produksi bisa meningkat.
Ramson mengatakan, dengan penyusunan RUU Migas, peran SKK Migas nantinya akan diganti oleh BUK. ”Namun, hingga kini masih jadi perdebatan. BUK-nya BUMN (Pertamina) atau dibentuk lagi yang baru. Jadi, belum clear yang mana,” kata Ramson.
Terkait tahapan penyusunan draf RUU Migas, Ramson mengatakan, saat ini Komisi VII masih menerima masukan-masukan dari organisasi, mitra, dan akademisi untuk kemudian diperdebatkan di tahap panitia kerja (panja). ”Sesudah itu, baru kami akan ajukan menjadi RUU usulan inisiatif DPR. Mudah-mudahan nantinya juga pemerintah cepat merespons untuk daftar inventarisasi masalah (DIM). Yang jelas, kami targetkan periode ini (hingga 2024) rampung,” katanya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pekerja servis sumur di anjungan pengeboran minyak NKL 966 PT Pertamina EP Lapangan Sanga-sangan, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (25/1/2012).
Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Mohammad Kemal, Selasa (14/2/2023), mengatakan, seiring dinamika industri migas, berkembang Norwegian Model yang memisahkan perusahaan minyak nasional dengan badan yang mengelola seluruh kegiatan usaha hulu migas. Artinya, entitas perusahaan migas fokus melakukan eksplorasi dan produksi.
Ia mencontohkan, Pemex (BUMN Meksiko) yang sangat lama memegang kuasa terhadap industri Migas di Meksiko hingga sekitar dekade lalu dibentuk badan terpisah, Comision Nacional de Hidrocarburos (CNH). Akhirnya 2015-2016, bidding round (lelang) di Meksiko itu dinilai sebagai yang paling berhasil.
”Apabila ingin meniru negara-negara yang belakangan ini (berhasil), kami percaya dengan model terpisah seperti itu (yang diterapkan). Jadi, NOC (national oil company/perusahaan minyak BUMN) fokus pada eksplorasi dan produksi. Apalagi, kita lihat, (kegiatan usaha hulu migas) Pertamina sekarang juga sudah semakin masif,” ujar Kemal.
Kemal juga menilai, revisi UU Migas penting untuk diselesaikan. ”Kepastian hukum ini menjadi salah satu yang paling dinanti para investor. Ini, kan, bisnis jangka panjang dengan investasi sangat besar sehingga mereka butuh kepastian berusaha. Dalam persaingan investasi, kita juga harus sadar tak hanya bersaing dengan negara lain, tetapi energi lain seperti energi terbarukan," ucapnya.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Selasa (14/2/2023), mengatakan, dalam meningkatkan lifting migas, ada dua hal yang menjadi perhatian utama. Keduanya adalah eksplorasi yang masif dan perlu adanya teknologi baru mengingat sebagian besar lapangan minyak di Indonesia sudah tua.