Guna memastikan pasokan batubara dalam negeri, salah satunya untuk keandalan ketenagalistrikan, perusahaan harus memenuhi DMO. Namun, ada disparitas dengan harga pasar internasional. Lembaga pungut salur pun diperlukan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (20/12/2022). Berdasarkan data BPS, volume dan nilai ekspor batubara masing-masing sebesar 29,69 juta ton dan 4,16 miliar dollar AS.
Setahun lebih sejak ancaman krisis ketenagalistrikan terjadi akibat rendahnya pasokan batubara untuk dalam negeri, Januari 2022, pembentukan lembaga pungut salur iuran batubara masih dinanti realisasinya. Lembaga itu kini sudah mengerucut pada Himpunan Bank Milik Negara sebagai mitra instansi pengelola. Bagaimanapun, realisasi perlu segera demi keandalan pasokan batubara nasional yang juga untuk ketenagalistrikan.
Kian meningkatnya harga komoditas batubara di pasar global pada akhir 2021 sempat membuat pasokan batubara untuk kelistrikan dalam negeri seret. Sebab, pengusaha lebih memilih ekspor, mengingat harga batubara saat itu lebih dari 150 dollar AS per ton, sedangkan harga pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestik market obligation/DMO) dipatok 70 dollar AS per ton.
Kebijkan tegas pun diambil pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melarang ekspor batubara pada 1-31 Januari 2022. Namun, kebijakan itu hanya bertahan selama 11 hari, tetapi disertai kesanggupan komitmen perusahaan dalam memenuhi ketentuan DMO sebesar 25 persen dari target produksi.
Salah satu solusi jangka panjang yang muncul saat itu ialah wacana pembentukan lembaga pengelola iuran batubara. Dengan demikian, selisih antara harga DMO dan harga internasional dapat ditutup lewat iuran itu. Dengan skema itu, beban bisa dikatakan ditanggung bersama antara perusahaan yang berkewajiban memenuhi DMO dan tak berkewajiban (karena batubara yang diproduksi tidak sesuai kebutuhan PT Perusahaan Listrik Negara).
Saat itu, mengemuka bahwa lembaga itu akan berbentuk badan layanan umum (BLU), sebagaimana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk komoditas sawit. Namun, dalam perkembangannya, penanganan sawit dinilai tak bisa disamakan dengan batubara. Dari BLU, pembentukan lembaga itu pun beralih menjadi mitra instansi pengelola (MIP).
Menteri ESDM Arifin Tasrif, di Jakarta, Jumat (10/2/2023), menjelaskan, MIP itu untuk iuran kompensasi guna mengisi ketimpangan dari perusahaan-perusahaan yang berkewajiban memenuhi DMO. ”Kan, (batubara) harus dijual dengan harga DMO, sedangkan harga pasar internasional sekian (lebih tinggi). Semua agar bisa ditanggung sama rata, sama rasa,” katanya.
Ia juga membenarkan bahwa yang akan bertugas memungut dan menyalurkan dana tersebut dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Pembicaraan dengan Menteri BUMN Erick Thohir pun sudah dilakukan dan saat ini masih dalam proses. ”(Nanti) tinggal jalan,” ucap Arifin. Namun, ia tidak memerinci waktu pasti realisasi pungut salur iuran batubara itu.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Lana Saria, Selasa (31/1/2023), menuturkan, proses penunjukan instansi untuk pungut salur itu melalui Peraturan Presiden. Proses harmoniasi masih berlanjut di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Diakuinya, ada kemunduran mengingat sebelumnya ditargetkan selesai pada akhir 2022. ”(Masih) berlanjut karena dicari bentuk mekanisme dan juga instansi atau unit yang akan melaksanakan pemungutan dan penyaluran itu. Baik nama dan tempat (pengelolaan) akan dibahas dan masuk ke dalam perpres. Tentu nanti akan kami sampaikan,” tuturnya.
Lana menjelaskan, sejak awal, mekanisme pungut salur pada batubara memang berbeda dengan sawit. Pada sawit, hasil pungutan akan disalurkan kembali untuk sarana dan prasarana dalam pengelolaan industri sawit, sementara pada batubara, pungutan dari perusahaan akan kembali ke perusahaan untuk keadilan bagi perusahaan yang memasok batubara bagi kebutuhan dalam negeri dengan harga khusus.
”Sehingga tidak terjadi ketimpangan dengan perusahaan yang sama sekali tidak memasok batubara di dalam negeri karena tidak ada pasar atau (tingkat) kalorinya tidak masuk kriteria PLN. Jadi, mereka akan ekspor saja sehingga akan ada perbedaan. Oleh karena itu, perlu ada keadilan kepada seluruh perusahaan dalam rangka menjamin pasokan batubara nasional,” paparnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Truk berat mengangkut batubara di Blok Tutupan yang ditambang PT Adaro Indonesia di perbatasan Kabupaten Tabalong dan Balangan, Kalimantan Selatan, Rabu (19/5/2010).
Diperlukannya lembaga pungut salur tidak terlepas dari tingginya harga komoditas batubara sejak pertengahan 2021. Catatan Trading Economics, puncak kenaikan harga batubara terjadi pada 5 September 2022 yang mencapai sekitar 457 dollar AS per ton. Setelah itu, hingga akhir 2022, harga berfluktuasi, tetapi masih tergolong tinggi, yakni 300-400 dollar AS per ton.
Namun, akhir Januari 2023, harga batubara terus melorot. Dua pekan terakhir, harga jatuh sekitar 39 persen dari 357 dollar AS per ton pada 27 Januari 2023 menjadi 218 dollar AS per ton pada 10 Februari 2023. Harga batubara acuan yang ditetapkan Menteri ESDM per Januari 2023 tercatat 305,21 dollar AS per ton dan turun menjadi 277,05 dollar AS per ton pada Februari 2023. Namun, harga tersebut masih di atas harga DMO untuk kelistrikan yang 70 dollar AS per ton.
Mendesak
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menuturkan, prinsipnya, pelaku usaha sepakat perlunya lembaga pungut salur itu. Hal itu juga sesuai dengan apa yang disepakati bersama dengan pemerintah pada awal 2022. Memang perlu ada solusi permanen guna menyelesaikan masalah DMO saat harga batubara tinggi.
Apa pun bentuknya, imbuh Hendra, pihaknya akan mendukung meskipun ada kecenderungan lebih memilih BLU. Pasalnya, jika berbentuk BLU yang berarti langsung di bawah kementerian (bukan swasta atau BUMN), pemerintah bisa langsung turun tangan, salah satunya terkait sanksi. ”Sebab, keadilan bagi pelaku usaha hanya terjadi jika pemerintah turun tangan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan, pembentukan lembaga dengan konsep gotong royong melalui iuran perusahaan atas volume batubara yang diproduksi dan akan kembali perusahaan adalah pilihan tepat. Keandalan pasokan di dalam negeri harus terjaga dan tidak boleh terganggu.
Menurut dia, awalnya memang diusulkan dalam bentuk BLU. Namun, dalam perjalanannya ada usulan MIP. Alasannya, dengan BLU, secara undang-undang (UU) harus mengeluarkan alokasi untuk dana kesehatan dan pendidikan atau ada mandatory spending sesuai UU. Sementara dana yang dikelola semestinya sebatas kepentingan industri batubara dalam mengelola kepentingan keandalan pasokan batubara di dalam negeri.
Namun, apa pun bentuknya, yang terpenting dapat direalisasikan segera dan keandalan pasokan batubara di dalam negeri, khususnya PLN, dapat terjaga. ”Untuk badan pengelola, sebaiknya dipilih lembaga yang telah ada, sekaligus bukan lembaga yang terlibat dalam mata rantai pasokan batubara,” kata Singgih.
Di sisi lain, lanjut Singgih, mengingat pentingnya menjaga keandalan pasokan batubara untuk kualitas kelistrikan, keputusan menteri terkait denda atau dana kompensasi harus tetap diberlakukan. Apalagi, pada 2023 diperkirakan indeks harga ekspor masih tinggi sehingga disparitas harga berpotensi masih terjadi.