Serapan Dana Peremajaan Sawit Rakyat Minim, Petani Menanti Kemudahan
Ketimpangan penggunaan dana BPDPKS perlu segera disikapi pemerintah. Jika produktivitas petani swadaya terus rendah, dalam jangka panjang itu akan menjadi bom waktu yang mempersulit pemenuhan kebutuhan sawit nasional.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serapan alokasi dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS untuk kegiatan peremajaan sawit rakyat masih sangat minim. Petani sawit berharap diberi kemudahan untuk menyerap dana tersebut guna mendorong produktivitas mereka. Saat ini, untuk mengakses dana, petani masih harus menghadapi persyaratan yang rumit.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, kendati program peremajaan sawit rakyat (PSR) sudah berlangsung selama enam tahun, petani sawit masih sangat sulit memenuhi persyaratan untuk mendapat pendanaan dari BPDPKS.
Pada tahun 2022, BPDPKS telah mengalokasikan Rp 5,6 triliun untuk kegiatan PSR. Jumlah tersebut naik cukup signifikan dari alokasi dana untuk PSR pada 2021 yang hanya sebesar Rp 1,34 triliun. Namun, realisasi dana yang terserap saat itu hanya sekitar Rp 1 triliun.
Gulat mengatakan, serapan itu rendah karena ada berlapis-lapis syarat yang harus dipenuhi oleh petani. ”Persyaratannya beranak cucu. Dulu, sekitar tahun 2018, syarat untuk mendapat dana PSR hanya dua, sekarang ini total ada 38 syarat. Sudah enam tahun PSR berjalan, tetapi sulit untuk petani memenuhi persyaratannya,” katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Ia berharap pemerintah menyederhanakan berbagai syarat itu untuk memudahkan petani mengakses dana yang tersedia. Setidaknya, menurut Gulat, ada tiga syarat utama yang perlu dipertahankan, yaitu lahan yang bersangkutan tidak tumpang tindih dengan izin lain yang ada, petani pengusul PSR harus berkelembagaan, dan tidak ada sengketa yang mengganggu legalitas lahan.
Gulat memperkirakan, melalui PSR, petani dapat meningkatkan produksi sampai tiga kali lipat. Saat ini, rata-rata produktivitas minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebanyak 2,7-3,2 ton per hektar per tahun. Dengan PSR, produktivitas CPO diperkirakan bisa meningkat jadi 6-8 ton per hektar per tahun.
Ia juga berharap dana BPDPKS dapat digunakan untuk membantu mengurus legalitas sertifikasi lahan petani sawit yang masih diklaim berada dalam kawasan hutan. ”Ini sangat penting karena terkait kepastian usaha. Seharusnya tidak susah, usul kami tidak memberatkan pemerintah dari segi pembiayaan karena menggunakan dana sawit BPDPKS yang juga berasal dari kami petani,” ujarnya.
Sebelumnya, tata kelola dana BPDPKS sempat dikritisi oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dalam laporan bertajuk ”Raksasa Penerima Subsidi”” Kajian SPKS mengutip Laporan Tahunan BPDPKS bahwa 97,09 persen dari total realisasi belanja BPDPKS pada tahun 2021 digunakan untuk membayar selisih harga biodiesel ke 12 kelompok perusahaan sawit dengan nilai Rp 51,95 triliun.
Sementara itu, dana untuk PSR hanya 2,51 persen dari total belanja (Rp 1,34 triliun), promosi kelapa sawit sebesar 0,16 persen (Rp 83,4 miliar), pengembangan sumber daya manusia 0,12 persen (Rp 64,5 miliar), dana riset 0,1 persen (Rp 55,7 miliar), beban sarana-prasarana 0,02 persen (Rp 8,9 miliar), serta penghimpunan dan pengelolaan dana 0,01 persen (Rp 2,73 miliar) (Kompas, 8/2/2023).
Sudah enam tahun PSR berjalan, tetapi sulit untuk petani memenuhi persyaratannya.
Kendati demikian, Gulat tidak terlalu mempersoalkan ketimpangan dana BPDPKS itu. Menurut dia, tanpa program biodiesel akan terjadi kelebihan pasokan CPO, yang ujung-ujungnya membuat harga CPO dunia jatuh dan turut merugikan petani.
”Kami tidak kontra dengan pemberian subsidi biodiesel karena itu menjaga harga TBS kami juga. Yang kami pertanyakan adalah bagaimana dana BPDPKS itu juga bisa kami pakai untuk PSR dengan cara menyederhanakan persyaratannya,” katanya.
Bom waktu
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, menilai, ketimpangan penggunaan dana BPDPKS yang lebih besar untuk kebutuhan biodiesel ketimbang untuk PSR merupakan problem ketidakadilan yang perlu segera disikapi pemerintah.
Ia menilai, jika produktivitas petani swadaya terus dibiarkan rendah, dalam jangka panjang itu akan menjadi bom waktu yang mempersulit pemenuhan kebutuhan sawit nasional. Terutama, mengingat porsi luas lahan perkebunan rakyat yang cukup besar, yakni 40 persen.
”Ini bisa jadi bom waktu yang membuat kita sulit memenuhi kebutuhan domestik dan ujung-ujungnya mengandalkan sawit impor. Jangan anggap remeh seolah masalahnya petani rakyat tidak mampu menyerap. Pemerintah harus sadar bahwa ada hambatan regulasi yang membuat dana itu sulit diakses petani,” ujar Abra.
Jika produktivitas petani swadaya terus dibiarkan rendah, dalam jangka panjang itu akan menjadi bom waktu yang mempersulit pemenuhan kebutuhan sawit nasional.
Ia mengusulkan, untuk mempercepat penyaluran dana, pemerintah perlu mengoptimalkan skema PSR melalui jalur kemitraan antara lembaga pekebun dengan perusahaan inti yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022. ”Perlu akselerasi lebih masif dibandingkan skema biasa yang sebelumnya. Sepengetahuan saya, skema ini belum cukup agresif dilaksanakan,” katanya.
Memberi kemudahan
Secara terpisah, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan, pemerintah sedang menyiapkan sejumlah kemudahan persyaratan bagi petani untuk menyerap dana PSR. Sebagai contoh, saat ini, penanaman kembali sudah bisa dilakukan di lahan yang berada di kawasan gambut.
Untuk mempermudah penyelesaian problem legalitas lahan yang berada di kawasan hutan, pemerintah juga akan mempercepat pengurusannya melalui pendelegasian tugas ke kantor Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional di daerah.
”Jadi, petani yang mau mengurus lahan tidak perlu lagi mengurus sampai ke Jakarta. Cukup melalui kantor KLHK atau Kementerian ATR/BPN di kabupaten/kota. Mereka sudah diberi wewenang,” tutur Eddy.
Ia pun meminta agar dana untuk subsidi selisih harga keekonomisan biodiesel tidak dipertentangkan dengan dana untuk PSR. ”Berapa pun yang dibutuhkan sebenarnya kita sediakan, tetapi apakah bisa terserap? Tahun lalu, sudah ditambah alokasi untuk PSR, tetapi tidak terserap. Ini berbeda dari dana untuk biodiesel, yang sudah tertata lebih rapi dan pasti terserap,” katanya.
Berapa pun yang dibutuhkan sebenarnya kita sediakan, tetapi apakah bisa terserap?
Eddy menambahkan, program biodiesel dibutuhkan untuk menjaga pasokan dan stabilitas harga CPO. Tanpa kebijakan mandatori biodiesel, diperkirakan ada 10 juta metrik ton CPO yang tidak terserap dan dapat menurunkan harga CPO serta merugikan petani.
Sementara, menurut dia, jika korporasi tidak diberi insentif selisih harga keekonomisan melalui dana kelolaan BPDPKS, akan sulit mencari perusahaan yang mau memproduksi biodiesel. ”Jadi jangan didikotomikan antara insentif biodiesel dan PSR. Semuanya sama-sama penting,” ujarnya.
Eddy menambahkan, pada tahun 2022, alokasi dana untuk subsidi biodiesel sebenarnya sempat menurun menjadi Rp 34 triliun dari Rp 51 triliun pada 2021. Hal itu karena selama empat bulan, harga solar di pasaran lebih tinggi daripada biodiesel sehingga selisih harga keekonomisan itu tidak perlu dibayarkan ke perusahaan yang memproduksi biodiesel.