Meski kelak lobi-lobi dengan Uni Eropa menghadapi jalan buntu, Indonesia tetap tidak akan menghentikan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO ke Uni Eropa.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan tidak menghentikan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ke Uni Eropa. Alih-alih melakukan ”boikot” ekspor, Indonesia dan Malaysia sepakat menyambangi dan melobi UE dalam waktu dekat untuk membicarakan titik tengah dalam mengatasi dampak dari kebijakan antideforestasi yang dikeluarkan UE.
Pada 6 Desember 2022, UE menerapkan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi. Melalui UU tersebut, UE menjamin penjualan produk di negara anggotanya tidak boleh terkait dengan perusakan atau degradasi hutan, terutama komoditas minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, karet, dan produk turunannya. Dampaknya, negara pengekspor harus terlebih dahulu lolos uji tuntas bebas deforestasi.
Sebelumnya, Pemerintah Malaysia mengajak Indonesia sebagai sesama produsen sawit terbesar dunia untuk bersama-sama menghentikan ekspor minyak sawit ke UE. Usul itu disampaikan Malaysia untuk menyikapi regulasi antideforestasi yang mempersulit ekspor minyak kelapa sawit mentah ke negara-negara UE.
Meski demikian, usai pertemuan bilateral dengan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia YAB Dato’ Sri Haji Fadillah bin Haji Yusof, Kamis (9/2/2023), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menghentikan ekspor CPO ke UE.
”Menghentikan ekspor bukan hal yang dibahas (dalam pertemuan bilateral). Indonesia sebagai negara yang melakukan ekspor-impor, melihat itu tentu bukan pilihan,” katanya dalam konferensi pers bersama Dato’ Sri Haji Fadillah bin Haji Yusof di Jakarta. Meski kelak lobi-lobi menghadapi jalan buntu, ia kembali menegaskan bahwa menghentikan ekspor bukan pilihan yang akan ditempuh Indonesia.
Ketimbang melakukan boikot, Indonesia dan Malaysia dalam waktu dekat akan menyambangi UE untuk melobi jalan tengah atas dampak kebijakan antideforestasi tersebut. Berhubung masih dijadwalkan, sampai sekarang belum ada kepastian seputar waktu pelaksanaannya.
Seiring dengan upaya melobi UE itu, Airlangga mengatakan, penguatan aspek berkelanjutan kelapa sawit tetap didorong melalui skema sertifikasi nasional Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO). Saat ini, Sekretariat CPOPC juga telah mengeluarkan Global Framework Principles for Sustainable Palm Oil (GFP-SPO).
Indonesia dan Malaysia dalam waktu dekat akan menyambangi UE untuk melobi jalan tengah atas dampak kebijakan antideforestasi tersebut.
”Tidak ada boikot-boikotan. Kita akan melakukan misi bersama ke UE untuk mengomunikasikan serta mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan dari peraturan tersebut ke sektor kelapa sawit,” kata Airlangga.
Menambah anggota
Bukan hanya Indonesia, ia mengatakan, negara-negara lain yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) juga tidak akan memutuskan hubungan dengan UE. Selain Indonesia dan Malaysia, telah disepakati pula bahwa Honduras juga akan menjadi negara anggota ketiga CPOPC dalam waktu dekat. Perluasan keanggotaan CPOPC ini dilakukan sebagai bagian dari strategi lobi.
”Kita akan terus terlibat dengan UE dan mencari solusi yang bisa menguntungkan baik bagi negara produsen maupun konsumen. Kita sepakat mengedepankan dialog dengan negara-negara pengimpor utama, selain UE, kita juga akan kunjungan ke India, apalagi India telah mengakui sertifikasi ISPO dan MSPO,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dato’ mengatakan, lepas dari fluktuasi harga CPO dunia, hal terpenting saat ini adalah merapatkan barisan untuk menyikapi dampak dari regulasi antideforestasi UE tersebut. Selain melobi UE, Indonesia dan Malaysia juga akan membicarakan peluang riset dan pengembangan untuk mendorong lebih banyak produk turunan sawit yang berkelanjutan.
”Kita tidak hanya perlu fokus pada CPO, tetapi bagaimana mengembangkan riset dan pengembangan untuk menghasilkan produk-produk turunan pilihan dari CPO yang bernilai tambah. Jadi kita tidak hanya bergantung pada CPO dan minyak goreng,” kata Dato’.
Kebijakan antideforestasi yang dikeluarkan UE membuat harga CPO dunia bergerak fluktuatif dan volatil. Pada 9 Desember 2022, setelah UU Produk Bebas Deforestasi UE keluar, harga CPO turun dari 4.094 ringgit Malaysia per ton (6 Desember 2022) menjadi 3.995 ringgit Malaysia per ton. Sementara per 9 Februari 2023, harga CPO tercatat menurun ke 3.973 ringgit Malaysia per ton.
Meski demikian, menurut Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman, sejak pemerintah menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) 50 persen dan menjalankan Program Biodiesel B35, harga sawit perlahan mulai naik. ”Memang fluktuatif, tetapi belakangan mulai naik, jadi 930 dollar AS per ton (4.013 ringgit Malaysia),” kata Eddy.