Indonesia akan menjadi negara pertama yang mengembangkan produk turunan sawit rendah karbon, ”palm mesocarp olein”. RI juga mulai merintis memproduksi ”premium palm oil” atau minyak makan sehat.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia membidik peluang investasi industri oleokimia Uni Eropa yang memiliki nilai tambah tinggi. Untuk menarik minat Uni Eropa, Indonesia akan merintis pengembangan produk turunan sawit rendah karbon, yakni palm mesocarp olein atau PMO.
Pelaksana Tugas Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga, Selasa (7/2/2023) sore, mengatakan, DMSI akan mendorong pengembangan industri oleokimia berbasis investasi dari Uni Eropa (UE). Potensi industri oleokimia UE, seperti gliserin, surfaktan, sabun, kosmetik, parfum, dan cat, sangat besar.
Produk-produk itu bernilai tambah tinggi. Untuk industri senyawa kimia seperti gliserin dan surfaktan, harganya bisa mencapai 1.400-2.000 dollar AS per ton dengan nilai tambah sebesar 200 persen. Begitu juga dengan produk komestik, parfum, dan cat, harganya bisa mencapai 3.000-4.000 dollar AS per ton dengan nilai tambah 600 persen.
”Namun, syaratnya, RI harus memiliki produk turunan minyak sawit yang rendah karbon. Untuk itu, DMSI akan merintis produksi PMO dengan menggunakan teknologi proses kering agar rendah karbon. Indonesia akan menjadi negara produsen sawit pertama di dunia yang melahirkan PMO,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.
DMSI akan merintis produksi PMO dengan menggunakan teknologi proses kering agar rendah karbon. Indonesia akan menjadi negara produsen sawit pertama di dunia yang melahirkan PMO.
Menurut Sahat, selama ini pengolahan tandan buah segar (TBS) sawit menjadi minyak sawit masih menggunakan teknologi proses basah. Dengan menggunakan teknologi proses kering, emisi karbon selama pemrosesan TBS menjadi minyak sawit jenis PMO dapat diturunkan sekitar 79 persen.
Hal itu akan dibarengi dengan sejumlah upaya menjaga industri sawit berkelanjutan yang tidak merusak hutan. Rintisan program itu akan melibatkan petani sawit mandiri sebagai pemasok TBS sehingga mereka turut mendapatkan nilai tambah dari investasi industri oleokimia.
”Nilai awal investasinya diperkirakan sebesar 1 miliar-3 miliar dollar AS. Untuk pendanaan, DMSI telah menjajaki kerja sama dengan Organisasi Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO). Mereka siap membiayainya tanpa syarat selama 10 tahun,” katanya.
Sahat juga menyebutkan langkah lain yang bakal menarik investor UE berinvestasi atau bahkan merelokasi pabrik oleokimia ke Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu mempermudah persyaratan memasukkan barang modal tidak baru (BMTB), seperti mesin dan peralatan khusus untuk pengembangan industri hilir sawit.
Di sektor pangan, RI juga mulai merintis pengembangan premium palm oil (PPO) atau minyak makan sehat. PT Nusantara Green Energy (NGE) telah membangun pabrik minyak sawit tanpa uap di Batanghari, Jambi, untuk memproduksi PPO.
”PPO memiliki kualitas lebih baik dari CPO. Produk tersebut tahan terhadap oksidasi dan memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi seperti karotenoid, skualena, dan vitamin E,” ujar Sahat yang juga Direktur Utama PT NGE.
Pabrik yang diperkirakan beroperasi mulai September 2023 ini mengandalkan pasokan TBS dari koperasi petani sawit. Pabrik dengan nilai investasi Rp 20 miliar ini dapat mengurangi emisi karbon minyak sawit minimal 95 persen, dari 1,3 ton C02-Eq (setara karbon dioksida) menjadi 0,06 ton CO2-Eq.
Jika upaya-upaya membuahkan hasil, lanjut Sahat, tidak ada lagi alasan bagi UE untuk mempersoalkan minyak sawit dan produk turunannya dari Indonesia. Selama ini, UE telah menghambat ekspor produk sawit RI dengan kebijakan Arah Energi Terbarukan (RED) II dan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi (EUDR).
Sementara itu, pada 6-10 Februari 2023, Indonesia dan UE tengah merundingkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-UE (IEU CEPA). Perjanjian itu diharapkan tidak sekadar melahirkan kerja sama perdagangan dan investasi atau di sektor-sektor ekonomi lain.
Perjanjian itu diharapkan bisa menjadi jembatan penyelesaian sejumlah persoalan RI dengan UE. Dua di antaranya menyangkut ”perseteruan” tentang nikel serta sawit dan produk turunan sawit.
Meneruskan perundingan IEU CEPA tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan lingkungan dan HAM, serta kebijakan-kebijakan UE yang menghambat RI, justru akan menggerus posisi Indonesia.
Peneliti Kaome Telapak, Anang F Sidik, Rabu (8/2/2023), berpendapat, jika tidak ada komitmen dari kedua negara dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, IEU CEPA akan sulit mendorong perubahan kebijakan tata kelola lingkungan. Dalam bab Perdagangan dan Pembangunan Berkelanjutan (TSD), draf perjanjian itu yang mengarah pada perjanjian perdagangan bebas hijau atau green FTA, tidak ditunjukkan keseriusan komitmen kedua negara dalam perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia.
Padahal, UE telah mengeluarkan EUDR pada akhir tahun 2022. Regulasi itu mencegah komoditas seperti kelapa sawit, kayu, kopi, dan kakao masuk ke pasar UE jika terbukti menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan.
Aturan tersebut, kata Anang, memaksa semua negara produsen menaati segala prinsip dan kriteria yang diatur UE. Banyak negara, termasuk Indonesia, menganggap kebijakan UE itu sebagai bentuk hambatan dagang.
”Oleh karena itu, meneruskan perundingan IEU CEPA tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan lingkungan dan HAM, serta kebijakan-kebijakan UE yang menghambat RI, justru akan menggerus posisi Indonesia,” katanya dalam telekonferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi di Jakarta.