Aturan Baru Dana Bagi Hasil Mulai Diterapkan Tahun Ini
Beberapa ketentuan baru DBH mencakup penerimaan negara yang dibagihasilkan, cakupan daerah penerima, serta formula alokasi DBH. Mulai tahun ini, pemerintah pusat juga akan mengucurkan DBH ke daerah penghasil sawit.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai tahun ini, pemerintah akan menerapkan ketentuan baru terkait pemberian dana bagi hasil atau DBH pasca-implementasi Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selain memperluas distribusi DBH agar lebih merata, tahun ini pemerintah pusat juga akan mulai menerapkan DBH untuk daerah penghasil minyak kelapa sawit mentah.
Saat ini, pemerintah sedang memfinalisasi sejumlah peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).
Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman, Rabu (8/2/2023), ada beberapa perubahan mendasar terkait pemberian dana bagi hasil yang akan diterapkan mulai tahun ini. ”Ini jadi tantangan kita bersama, karena memang tahun ini akan jadi tahun pertama penerapan UU HKPD,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR.
Perubahan itu mencakup ketentuan penerimaan negara yang dibagihasilkan, cakupan daerah penerima DBH, serta formula penetapan alokasi DBH. Mulai tahun ini, pemerintah pusat juga akan mengucurkan DBH ke daerah penghasil minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Terkait ketentuan penerimaan negara yang dibagihasilkan, sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, DBH diberikan berdasarkan rencana penerimaan tahun berikutnya. Tahun ini, DBH akan diberikan berdasarkan realisasi kinerja pada tahun sebelumnya.
Daerah penerima DBH juga akan ditambah. Sebelumnya, dalam UU No 33/2004, DBH hanya diberikan ke daerah penghasil dan daerah lainnya dalam satu provinsi. Setelah UU HKPD, tahun ini DBH akan diperluas bagi daerah penghasil, daerah pengolah, daerah yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil (di provinsi yang sama ataupun provinsi berbeda), serta daerah lainnya dalam satu provinsi. ”Ini tujuannya untuk mengatasi masalah ketimpangan penerimaan antardaerah,” kata Luky.
Data Kemenkeu, kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah berdasarkan perhitungan Indeks Theil menunjukkan tren ketimpangan antardaerah semakin berkurang dari tahun ke tahun, dari 0,332 pada tahun 2016 menjadi 0,195 pada tahun 2022. Kesenjangan sempat naik akibat pandemi Covid-19, tetapi kembali menurun. Sebagai informasi, semakin mendekati angka 1, kesenjangan semakin tinggi.
Tidak hanya memperluas daerah penerima DBH, mulai tahun ini ketentuan formula alokasi DBH juga tidak lagi diterapkan berdasarkan proporsi tertentu antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi diatur lebih detail dengan pembobotan 90 persen alokasi DBH berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan daerah penghasil, serta 10 persen berdasarkan kinerja pemerintah daerah.
Mulai tahun ini, pemerintah pusat juga akan mengucurkan DBH ke daerah penghasil minyak kelapa sawit mentah atau CPO.
Kinerja itu akan diukur berdasarkan sejumlah faktor, seperti kinerja pemda dalam mendukung optimalisasi penerimaan negara, memelihara lingkungan, serta kinerja daerah dalam mengembangkan energi ramah lingkungan. Ketentuan lebih lanjut soal formula alokasi yang baru ini juga sedang dirumuskan dan akan dituangkan dalam peraturan pemerintah.
”Untuk alokasi 90 persen itu nanti harus dibagi, bukan hanya untuk daerah penghasil (komoditas), melainkan juga daerah pengolah komoditas dan daerah lain yang berbatasan langsung. Ini salah satu bentuk konkret untuk mendorong pemerataan dan keseimbangan, sambil tetap memberi penghargaan terhadap kinerja pemda,” papar Luky.
Lebih lanjut, mulai tahun ini, pemerintah juga akan memperluas DBH bagi jenis komoditas lain, seperti perkebunan sawit. Hal itu diatur dalam Pasal 123 UU HKPD yang mengatur bahwa pemerintah dapat menetapkan jenis DBH lain yang bersumber dari penerimaan negara yang daerah penghasilnya dapat diidentifikasi.
Luky mengatakan, dalam proses penetapan formula pemberian DBH baru bagi sektor sawit, pemerintah akan terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR yang menurut rencana akan dibahas pada Maret 2023. Saat ini, kebijakan tersebut masih dibahas di internal pemerintah. ”Namun, sebagai gambaran, karena ini kelapa sawit, mungkin basisnya nanti akan mengacu pada luas lahan dan produktivitas,” kata Luky.
Lebih lanjut, ujarnya, penggunaan DBH sektor sawit itu juga akan diatur, khususnya untuk menangani eksternalitas (efek samping) dari aktivitas di sektor sawit, khususnya untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance di Institute for Development of Economics and Finance, Riza Annisa, mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperjelas dalam peraturan pelaksana DBH. Sebagai contoh, aturan pembagian persentase dari total penerimaan kelapa sawit yang akan dibagikan, apalagi dengan ketentuan baru dalam UU HKPD yang memperluas daerah penerima DBH.
”Berapa persen yang akan diterima masing-masing daerah, baik penghasil, pengolah, maupun daerah yang berbatasan langsung. Ini semua tentu akan bergantung pada sumber penerimaan kelapa sawit yang akan jadi DBH sehingga perlu ada formula perhitungan yang sesuai dengan prinsip keadilan,” ujarnya.
Peruntukan penggunaan DBH juga harus dibuat jelas, seperti yang diterapkan di DBH cukai. Menurut dia, selain untuk membantu mendorong produktivitas sawit dan peningkatan SDM di daerah, penggunaan DBH juga harus diarahkan untuk mengatasi eksternalitas negatif dari aktivitas produksi dan pengolahan sawit.
Penggunaan DBH juga harus diarahkan untuk mengatasi eksternalitas negatif dari aktivitas produksi dan pengolahan sawit.
”Signifikan atau tidaknya dampak dari aturan baru DBH dalam UU HKPD ini bergantung pada aturan sumber DBH dan formulasi dari pembagian DBH yang adil ke daerah. Namun, secara umum, ini dapat menjadi sumber pemasukan baru bagi pemda yang selama ini memproduksi dan mengolah sawit,” kata Riza.