Penggunaan dana BPDPKS yang mayoritas terserap untuk membayarkan subsidi biodiesel menguatkan dugaan bahwa dana kelolaan sawit selama ini hanya dinikmati segelintir kelompok korporasi besar dan tidak dirasakan petani.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penggunaan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dinilai semakin melenceng dari tujuan awal. Dana kelolaan sawit lebih banyak mengalir ke korporasi besar untuk subsidi biodiesel ketimbang untuk produktivitas dan kesejahteraan petani. Tata kelola BPDPKS harus dikembalikan ke relnya serta dibebaskan dari bayang-bayang pengaruh konglomerat sawit.
Berdasarkan Laporan Tahunan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), 97,09 persen dari total realisasi belanja BPDPKS pada tahun 2021 digunakan untuk membayar selisih harga biodiesel ke 12 kelompok perusahaan sawit dengan nilai Rp 51,95 triliun.
Sementara itu, dana untuk peremajaan kebun kelapa sawit rakyat hanya 2,51 persen dari total belanja (Rp 1,34 triliun), promosi kelapa sawit sebesar 0,16 persen (Rp 83,4 miliar), pengembangan sumber daya manusia 0,12 persen (Rp 64,5 miliar), dana riset 0,1 persen (Rp 55,7 miliar), beban sarana dan prasana 0,02 persen (Rp 8,9 miliar), serta penghimpunan dan pengelolaan dana 0,01 persen (Rp 2,73 miliar). Adapun laporan tahunan terbaru untuk tahun 2022 belum dipublikasikan oleh BPDPKS.
Laporan berjudul “Raksasa Penerima Subsidi” yang dirilis Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Selasa (7/2/2023), mencatat, dengan membandingkan data pungutan ekspor sawit dari Kepabeanan dan data realisasi subsidi biodiesel dari BPDPKS selama periode 2019-2021, hampir seluruh 12 kelompok korporasi yang menerima subsidi biodiesel itu mendapat “keuntungan”.
Kelompok yang paling banyak mendapat selisih “keuntungan” adalah Grup Wilmar, yang mendapatkan subsidi hampir tiga kali lipat dari besaran pungutan ekspor yang dibayarkan selama 2019-2021. Wilmar tercatat membayar pungutan ekspor senilai Rp 7,71 triliun, tetapi menerima subsidi biodiesel hingga Rp 22,14 triliun. Selisih keuntungannya adalah Rp 14,42 triliun.
Laporan itu juga menyoroti dua kelompok korporasi yang “tidak untung”, alias mendapat subsidi biodiesel lebih kecil dari pungutan ekspor yang dibayarkan, yaitu Royal Golden Eagle yang membayar pungutan ekspor Rp 14,53 triliun dan menerima subsidi biodiesel Rp 6,28 triliun. Ada pula KPN Corp yang membayar pungutan ekspor Rp 2,41 triliun dan mendapat subsidi biodiesel Rp 1,60 triliun.
Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto, Selasa, mengatakan, penggunaan dana BPDPKS yang sebagian besar terserap untuk membayarkan subsidi biodiesel itu menguatkan dugaan bahwa dana kelolaan sawit selama ini hanya dinikmati oleh segelintir kelompok korporasi besar dan tidak dirasakan petani sawit.
Padahal, ujarnya, penggunaan dana BPDPKS untuk membayar subsidi biodiesel ke perusahaan sawit sebenarnya tidak tercantum di Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. UU hanya mengatur peruntukan dana BPDPKS untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani sawit, seperti melalui peremajaan kebun, pengembangan SDM, riset, dan lain sebagainya.
Dana kelolaan sawit selama ini hanya dinikmati oleh segelintir kelompok korporasi besar dan tidak dirasakan petani sawit.
Pemakaian dana BPDPKS untuk kebutuhan pembiayaan bahan bakar nabati baru dimunculkan dalam Peraturan Presiden No 66 Tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan dan Kelapa Sawit serta Peraturan Menteri ESDM No 45 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.
“Jadi pengeluaran untuk subsidi biodiesel yang persentasenya hampir 100 persen itu sebenarnya tidak diatur dalam UU,” kata Darto dalam konferensi pers di Jakarta.
Darto mengatakan, ada anggapan dan klaim yang beredar di publik bahwa dana kelolaan di BPDPKS adalah dana yang dimiliki oleh industri sawit, sehingga wajar jika diberikan kembali dalam bentuk subsidi biodiesel. Namun, ia menegaskan, dana BPDPKS sudah menjadi uang negara yang harus dikelola untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan petani sawit sebagaimana mandat UU Perkebunan.
“Korporasi tidak bisa mengklaim bahwa ini adalah dana mereka, ini sudah termasuk dalam uang negara. Bisa dilihat contoh selisih antara pungutan ekspor dan subsidi hingga Rp 14 triliun yang didapat Grup Wilmar. Itu hitungannya sudah bukan subsidi lagi, tetapi keuntungan yang didapat Wilmar dari proyek biodiesel yang mereka kembangkan,” ujarnya.
Laporan SPKS juga menyoroti keterlibatan sejumlah konglomerat sawit dalam susunan Komite Pengarah di BPDPKS, seperti salah satu pendiri Wilmar Group, Martua Sitorus. Darto menilai, kehadiran mereka memainkan peran penting karena Komite Pengarah bertugas menyusun arah kebijakan penghimpunan dan penggunaan dana BPDPKS. “Meski peran mereka di sana disebut sebagai narasumber, tetapi tetap bisa memberi pengaruh,” tuturnya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menambahkan, perbaikan tata kelola BPDPKS kian penting, apalagi di tengah keputusan pemerintah untuk menaikkan persentase campuran bahan bakar nabati ke dalam bahan bakar minyak (BBM) jenis minyak solar dari 30 persen menjadi 35 persen. Program Biodiesel B35 itu akan diterapkan Februari 2023 ini.
Seiring dengan kebijakan B35 itu, ada kekhawatiran bahwa problem kelangkaan minyak goreng yang terjadi tahun lalu bisa terulang menjelang naiknya permintaan di bulan Ramadhan. “Monopoli di industri ini sudah sangat besar, bahkan korupsi minyak goreng tahun lalu juga terhubung dengan kelompok-kelompok itu. Sudah saatnya monopoli terhadap industri sawit ini diubah,” kata Arie.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron, yang pada 2014 menjadi Ketua Panitia Kerja RUU Perkebunan, mengatakan, dana pengelolaan perkebunan kelapa sawit memang sudah jauh dari tujuan awal saat RUU tersebut disusun.
Saat itu, BPDPKS dibentuk dengan tujuan bahwa pungutan ekspor hasil perkebunan kelapa sawit adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. “Semakin aneh memang kalau sekarang ini dananya malah lebih banyak dipakai untuk subsidi biodiesel, bahkan komposisinya sangat jauh. Bisa dikatakan ada pelanggaran pengelolaan dari apa yang sudah dimandatkan di UU,” katanya.
Ia pun mengakui bahwa pengawasan terhadap tata kelola BPDPKS oleh DPR selama ini tidak maksimal. Pasalnya, pembiayaan subsidi biodiesel lewat dana BPDPKS yang ada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tidak jelas menjadi ranah pengawasan Komisi IV atau Komisi VI.
Semakin aneh memang kalau sekarang ini dananya malah lebih banyak dipakai untuk subsidi biodiesel, bahkan komposisinya sangat jauh.
“Memang tidak jelas BPDPKS masuk pengawasan komisi mana, sehingga untuk biodiesel ini nyaris tidak ada pengawasan khusus, yang menurut saya membuat pelanggarannya semakin lari,” kata Herman.
Kompas telah menghubungi perwakilan Wilmar Grup untuk memberi tanggapan terkait isi laporan SPKS tersebut, tetapi yang berkaitan belum bersedia memberi pernyataan. Kompas juga menghubungi Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman, tetapi yang bersangkutan tidak merespons.
Sebelumnya, dalam acara Energy Corner Special B35 Implementation yang bisa dipantau secara daring, Eddy mengatakan, pembiayaan subsidi biodiesel sudah menjadi fungsi dari BPDPKS. Pemerintah pun sudah mengalokasikan Rp 31 triliun untuk mengimplementasikan penerapan Biodiesel B35 bulan ini. “Itu telah diputuskan oleh Komite Pengarah dan BPDPKS untuk memenuhi kewajiban pembayaran selisih harga indeks pasar solar dan biodiesel,” katanya.
Sementara itu, saat dihubungi, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan, kewenangan koordinasi terkait BPDPKS ada di bawah Deputi II Kemenko Perekonomian Bidang Pangan dan Agribisnis Musdhalifah Machmud, tetapi yang bersangkutan tidak bisa memberi tanggapan karena sedang menjalankan ibadah umroh. Kompas juga telah mengontak Musdhalifah, tetapi yang bersangkutan belum merespons hingga berita ini ditulis.