Tren Investasi Hijau Menguat, Pengusaha “Bersih-Bersih” Portofolio
Seiring dengan tren investasi berkelanjutan yang menguat, kesadaran pelaku usaha untuk memutus rantai pasoknya dari deforestasi dan risiko perusakan lingkungan kini semakin tinggi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dorongan untuk beralih dari investasi bersifat ekstraktif menuju investasi berkelanjutan semakin kuat, terutama setelah berlakunya Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi oleh Uni Eropa. Agar tidak tersingkir dari rantai pasok global, pengusaha sektor komoditas mulai membersihkan portofolionya dari investasi yang berkaitan dengan deforestasi dan perusakan lingkungan.
Kajian Trase Insights pada September 2022 menunjukkan, deforestasi yang didorong oleh investasi dan ekspansi usaha di sektor komoditas, seperti kelapa sawit, sudah menurun selama hampir satu dekade terakhir. Perusahaan yang berkomitmen pada Komitmen Antideforestasi (KAD) dan membuka informasi ke publik terkait rantai pasok mereka juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Laporan itu mencatat, pada periode 2018-2020, sebanyak 87 persen ekspor minyak kelapa sawit murni dari Indonesia dipasok dari kilang yang secara terbuka melaporkan pabrik pengolahan tempat mereka membeli minyak kelapa sawit mentah.
Sebanyak 97 persen dari minyak kelapa sawit yang diekspor ke Amerika Serikat, Uni Eropa (UE), dan Inggris diekspor oleh pengusaha dengan komitmen antideforestasi. Namun, pasar tersebut sebenarnya hanya membeli 9 persen dari total produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada 2020.
Sementara pasokan ke pasar terbesar minyak kelapa sawit Indonesia, seperti China, India, dan pasar domestik, masih memiliki risiko deforestasi yang tinggi. Ketiga pasar utama itu diperkirakan bergantung pada minyak kelapa sawit dengan 2,4 kali risiko deforestasi per ton lebih banyak ketimbang ekspor ke UE dan negara barat lainnya.
Menurut Direktur Regional The Forest Alliance (TFA) untuk Asia Tenggara Rizal Algamar, Rabu (25/1/2023), seiring dengan tren investasi berkelanjutan yang menguat di komunitas global, kesadaran pelaku usaha untuk memutus rantai pasoknya dari deforestasi dan risiko perusakan lingkungan kini semakin tinggi.
Dorongan itu semakin menguat setelah UE mengeluarkan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi pada 6 Desember 2022 lalu. Melalui UU tersebut, UE menjamin produk yang dijual di negara anggotanya tidak boleh terkait dengan perusakan atau degradasi hutan, terutama untuk komoditas minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, karet, dan produk turunan dari komoditas itu.
Rizal mengatakan, ada 75 investor dari 18 negara dengan total komitmen investasi senilai 10 triliun dollar AS dalam grup Investor Policy Dialogue on Deforestation (IPDD) yang sejak tahun lalu telah berdialog dengan perwakilan pemerintah untuk mengingatkan tentang urgensi tren investasi hijau serta pentingnya pengembangan ekosistem berkelanjutan itu di dalam negeri.
Pasokan ke pasar terbesar minyak kelapa sawit Indonesia, seperti China, India, dan pasar domestik, masih memiliki risiko deforestasi yang tinggi.
“Deforestasi kini menjadi risiko rantai pasok yang sangat besar bagi investor, jadi mereka sudah mulai bersih-bersih portofolio dari investasi yang berkaitan dengan deforestasi. Regulator dan para pemain pasar harus sadar dan menyiapkan diri menangkap kesempatan baru,” kata Rizal dalam talkshow “Masa Depan Investasi Lestari: Rantai Pasok Gotong Royong untuk Transformasi Komoditas Berkelanjutan”.
Menurut katalis dari Koalisi Ekonomi Membumi Rama Manusama, ada aliran modal besar investasi berkelanjutan yang sebenarnya berpotensi masuk ke Indonesia. Namun, perlu ada kepastian mengenai model dan proyek investasi apa yang tersedia dan bisa menyerap kucuran dana itu, serta kesiapan ekosistem pembangunan berkelanjutan yang disediakan pemerintah daerah dan mitra swasta di daerah.
Tidak ”top-down”
Apalagi, investasi lestari bukan hanya berkaitan dengan aspek keberlanjutan lingkungan saja, tetapi juga sosial. Ia menyontohkan, regulasi UE terbaru yang tidak hanya menyoroti aspek prinsip antideforestasi pemasok, tetapi juga komitmennya terhadap kolaborasi dan kemitraan yang substantif dengan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di daerah.
”Untuk membangun rantai pasok, sudah tidak jaman lagi konsep top-down, di mana satu perusahaan besar menguasai dari hulu ke hilir. Selain tidak ada efek trickle down-nya, itu juga tidak efisien dari segi investasi,” kata Rama.
Ia menuturkan, model yang saat ini sedang dikembangkan adalah menghubungkan koperasi tani atau UMKM di daerah yang memiliki potensi komoditas tertentu dengan investor besar yang bisa mendukung permberdayaan dan scale-up pelaku usaha lokal itu dengan fasilitas teknologi.
Untuk membangun rantai pasok, sudah tidak jaman lagi konsep top-down di mana satu perusahaan besar menguasai dari hulu ke hilir.
”Selain itu, dihubungkan juga dengan offtaker yang bisa menyerap. Ekonomi gotong royong seperti ini lebih efisien dan berdampak langsung ke masyarakat ketimbang mengharapkan efek dari investasi satu perusahaan besar saja,” ujarnya.
Manajer Program dan Kemitraan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Tirza Pandelaki menambahkan, untuk memastikan investasi lestari berjalan di daerah, pertama-tama dibutuhkan dukungan terkait hal-hal mendasar, seperti legalitas lahan, peningkatan produktivitas lahan petani, serta kolaborasi inklusif untuk membantu petani swadaya meningkatkan kapasitas mereka.
Terkait praktik budidaya berkelanjutan, sejak 2021, menurut dia, petani sawit swadaya telah memulai uji coba pendekatan perlindungan hutan dan konservasi yang diadaptasi dari praktik-praktik kearifan lokal di masyarakat. ”Keterlacakan (traceability) itu tidak hanya berhenti pada pabrik (mill) dan perusahaan, tetapi juga dari petani sendiri. Makanya, aspek dasar dari legalitas lahan dan kolaborasi ini penting,” katanya.
Direktur Perencanaan Sumber Daya Alam Kementerian Investasi Ratih Purbasari Kania mengatakan, pemerintah berupaya mendorong investasi berkelanjutan, salah satunya melalui penyusunan Peta Peluang Investasi (PPI).
Penyusunan proyek investasi di dalamnya turut memperhatikan aspek berkelanjutan. ”Karena itu, tidak hanya pemerintah pusat yang memegang peranan penting mewujudkan target ekonomi hijau, keterlibatan pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan untuk mendorong kolaborasi,” ujarnya.