Program pemerintah dalam transisi energi sudah berada di jalur yang benar. Namun, pemanfaatan energi hijau di Indonesia berkorelasi dengan penambahan biaya atau investasi.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ancaman krisis energi akibat perang Ukraina-Rusia, Indonesia tetap berkomitmen memenuhi target emisi karbon nol bersih atau NZE pada 2060 atau lebih dini. Di tengah ancaman tersebut, Indonesia masih memiliki ketahanan energi yang cukup dan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi lewat pemanfaatan sumber energi yang lebih bersih.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Ekonomi Berdikari bertema ”Lawan Krisis Global dengan Ketahanan Energi” yang diadakan harian Kompas di Jakarta, Selasa (24/1/2023). Sebagai pembicara kunci adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyampaikan pidato secara daring.
Narasumber diskusi ialah Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia Dannif Danusaputro, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, Gubernur Indonesia untuk Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) 2015-2016 Widhyawan Prawiraatmadja, Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Evy Haryadi, serta Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro.
Dalam sambutannya, Airlangga menyampaikan, Indonesia tak boleh tertinggal dalam transisi energi. Indonesia harus menguasai teknologi di bidang energi bersih, misalnya teknologi pemanfaatan tenaga nuklir dan tenaga hidrogen. Teknologi di bidang energi bersih menjadi salah satu syarat untuk Indonesia menjadi negara maju.
”Indonesia bisa menjadi negara maju dengan pemanfaatan teknologi di bidang energi bersih, seperti tenaga nuklir ataupun hidrogen. Masih ada tantangan bagi Indonesia untuk menjadi negara yang berdikari energi kendati sumber energi bersihnya melimpah,” kata Airlangga.
Tantangan tersebut, ujar Airlangga, masih adanya ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah ataupun bahan bakar minyak. Selain itu, ada masalah keterjangkauan dalam hal harga energi. Sayangnya, harga energi fosil lebih murah daripada harga energi bersih. Oleh sebab itu, transisi energi membutuhkan gotong royong dan dukungan semua pihak karena pemerintah pusat tidak bisa melakukannya sendirian.
”Meski masih bergantung pada energi fosil, Indonesia terus mengoptimalkan sumber energi bersih yang ada, seperti biodiesel (yang berbahan baku minyak kelapa sawit) atau gasifikasi batubara (menjadi dimetil eter sebagai pengganti elpiji),” ucap Airlangga.
Widhyawan menambahkan, pertumbuhan ekonomi suatu negara akan selalu membutuhkan energi. Bagi Indonesia yang masih bergantung pada energi fosil dalam menggerakkan perekonomian, hal yang perlu dilakukan ialah bagaimana menekan emisi dari energi fosil yang digunakan itu. Di sisi lain, untuk menekan emisi, teknologi yang dipakai membutuhkan biaya tak sedikit.
”Oleh sebab itu, transisi energi yang turut menopang aktivitas ekonomi nasional membutuhkan waktu dan perubahan perilaku masyarakat. Proses transisi pun tetap harus menomorsatukan prinsip keamanan energi,” tuturnya.
Program pemerintah dalam transisi energi, menurut Komaidi, sudah berada di jalur yang benar. Namun, pemanfaatan energi hijau di Indonesia berkorelasi dengan penambahan biaya atau investasi. Hal ini makin menantang jika dikaitkan dengan daya beli masyarakat.
”Selain itu, peningkatan konsumsi energi fosil global, terutama batubara pada 2020-2021, di tengah kampanye transisi energi, menegaskan bahwa keamanan dan keberlanjutan pasokan energi tetap menjadi prioritas menuju target emisi nol bersih,” ucap Komaidi.
Indonesia membaik
Menurut Djoko Siswanto, Indonesia masuk dalam klasifikasi ”tahan” untuk urusan ketahanan energi pada 2022 dengan skor 6,61. Angka tersebut membaik dari tahun sebelumnya dengan skor 5,57.
Negara yang masuk klasifikasi ”sangat tahan” memiliki skor 8-10. ”Meski ada konflik Rusia-Ukraina yang berdampak pada krisis energi di banyak negara, ketahanan energi Indonesia masih cukup baik,” katanya.
Djoko menambahkan, transisi energi yang sedang dilakukan Indonesia bukan berarti sama sekali menghilangkan pemanfaatan energi fosil. Energi fosil, seperti batubara dan minyak bumi, akan tetap digunakan dengan cara menekan emisinya. Dalam target bauran energi nasional, batubara dan minyak bumi masih dimanfaatkan dengan porsi makin kecil.
Di sektor pembangkit listrik, menurut Evy Hariyadi, pemanfaatan batubara masih berlangsung sembari mengombinasikan dengan biomassa (metode co-firing). Selain itu, sejumlah pembangkit listrik berbahan bakar batubara juga sudah dikonversi menggunakan gas bumi.
”Memang pemanfaatan energi terbarukan masih lamban. Namun, kami harus tetap mempertimbangkan keamanan energi, keterjangkauan energi, dan kelestarian lingkungan,” tutur Hariyadi.
Sementara itu, meski bisnis utamanya adalah energi fosil, menurut Dannif, Pertamina berkomitmen mendukung transisi energi, salah satunya dengan pengembangan tenaga panas bumi dan pemanfaatan biodiesel.