Produksi CPO dan PKO pada 2023 diperkirakan 49 juta ton. Volume produksi itu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produksi CPO dan PKO tiga tahun terakhir yang sebanyak 52 juta ton.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produksi minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan minyak inti sawit atau PKO pada 2023 diperkirakan turun. Hal itu merupakan imbas kenaikan harga pupuk yang mencapai dua kali lipat sejak tahun lalu dan peremajaan tanaman sawit.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Kamis (5/1/2023), mengatakan, produksi CPO dan PKO pada 2023 diperkirakan 49 juta ton. Volume produksi itu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produksi CPO dan PKO tiga tahun terakhir yang sebanyak 52 juta ton.
”Penurunan produksi itu tidak hanya lantaran siklus tahunan, tetapi juga karena kenaikan harga pupuk nonsubsidi hingga dua kali lipat harga di awal tahun 2022. Kenaikan harga pupuk itu merupakan dampak dari perang Rusia-Ukraina dan depresiasi nilai tukar rupiah,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Produksi CPO dan PKO pada 2023 diperkirakan 49 juta ton. Volume produksi itu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produksi CPO dan PKO tiga tahun terakhir yang sebanyak 52 juta ton.
Menurut Eddy, produsen dan importir pupuk mulai membatasi pembelian bahan baku pupuk dan pupuk. Mereka tidak berani menstok bahan baku pupuk atau pupuk terlalu banyak karena takut rugi mengingat nilai tukar rupiah masih bergejolak.
Pembelian pupuk subsidi secara langsung mulai sulit dilakukan karena harus memesan terlebih dahulu dari jauh hari. Mekanisme tersebut tidak terlalu menyulitkan pengusaha sawit besar. Namun, bagi sebagian besar petani sawit swadaya, mekanisme ini menjadi hambatan lantaran keterbatasan modal.
Oleh karena itu, Gapki berharap agar pemerintah turut menjaga ketersediaan pupuk nonsubsidi. ”Kami tidak meminta pupuk itu disubsidi karena akan membebani keuangan negara. Kami hanya berharap agar pemerintah memperkuat lobi dengan negara-negara produsen pupuk dan memberikan insentif, seperti keringanan pajak atau bea masuk dalam kurun waktu tertentu,” kata Eddy.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mencatat, pada akhir 2022 hingga awal 2023, harga pupuk urea, NPK, dan KCL di sejumlah daerah naik dengan kisaran 30-75 persen. Harga pupuk urea nonsubsidi di Rokan Hulu, Riau, misalnya, naik 74 persen menjadi 960.000 per zak (kapasitas 50 kilogram).
Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto menuturkan, petani mulai menggunakan pupuk seadanya yang harganya jauh lebih murah tanpa tahu kualitasnya seperti apa. Jika hal ini terus terjadi pada tahun ini, produksi tandan buah segar (TBS) akan berkurang sehingga berpengaruh pada penurunan produksi CPO dan PKO.
Selain itu, penurunan produksi pada tahun ini juga dipengaruhi peremajaan tanaman kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit baru yang ditanam secara masif sejak dua tahun lalu itu masih belum berproduksi.
”Yang paling penting bagi petani saat ini adalah ketercukupan pupuk nonsubsidi yang harganya terjangkau. Pemerintah sebenarnya bisa menyubsidi pupuk tersebut dengan dana pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Subsidi itu khusus diberikan kepada petani skala kecil dan harus terkontrol penyalurannya,” tuturnya.
Petani mulai menggunakan pupuk seadanya yang harganya jauh lebih murah tanpa tahu kualitasnya seperti apa. Jika hal ini terus terjadi pada tahun ini, produksi TBS akan berkurang sehingga berpengaruh pada penurunan produksi CPO dan PKO.
Kebijakan DMO
Selain persoalan pupuk, Gapki dan SPKS juga meminta perintah berhati-hati menerapkan kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO) CPO dan tiga produk turunannya. Pada tahun ini, pemerintah masih melanjutkan kebijakan itu, tetapi mengurangi rasio pengali ekspor keempat komoditas tersebut dari 1:8 menjadi 1:6.
Eddy berpendapat, pengurangan rasio pengali ekspor tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap ekspor CPO dan tiga produk turunannya. Namun, dalam implementasinya, pemerintah perlu melihat kondisi lapangan dan mencermati dampaknya. Jangan sampai kebijakan itu menekan harga TBS sawit di tingkat petani dan menyebabkan penumpukan TBS di pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit.
Darto menyatakan, kebijakan itu tidak akan berdampak langsung ke petani. Namun, ia khawatir pelaksanaan kebijakan itu akan susah terkontrol sehingga perlu diawasi agar perusahaan tidak menekan harga TBS sawit di tingkat petani.
Sementara itu, Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani mengemukakan, kebijakan kewajiban DMO berbasis rasio pengali ekspor tersebut tidak akan banyak berpengaruh terhadap kinerja ekspor CPO dan pasokan minyak goreng di dalam negeri. Syaratnya, tidak terjadi disparitas harga CPO antara pasar internasional dengan pasar domestik.
Konsumsi minyak goreng untuk keperluan rumah tangga diperkirakan sebesar 3,14 juta ton per tahun atau sekitar 261.700 ton per bulan. Dengan rata-rata ekspor CPO sebanyak 2 juta ton per bulan dan produksi CPO 3,9 juta ton per bulan, kebutuhan CPO untuk memenuhi DMO yang ditetapkan pemerintah sebesar 343.000 ton per bulan itu dapat mencukupi kebutuhan di dalam negeri.
”Namun, jika terjadi disparitas harga CPO di pasar internasional dengan pasar domestik, harga TBS di tingkat petani dapat tertekan dan memengaruhi kenaikan harga minyak goreng,” katanya.