Nilai Transaksi Turun, Perdagangan Aset Kripto Meredup?
Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, nilai transaksi aset kripto di Indonesia pada 2022 menurun. Tidak hanya itu, popularitas aset kripto juga menurun.

JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan aset kripto dipresiksi menurun pada tahun 2023. Kondisi tersebut bahkan sudah mulai terjadi sejak tahun 2022. Lantas, apakah investasi aset kripto masih menjadi pilihan?
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda mengatakan, ketertarikan investasi terhadap aset kripto saat ini sedang meredup.
”Terjadi peredupan di dalam perdagangan kripto. Tidak hanya di Indonesia, tetapi global. Tahun ini tahun yang paling redup. Tahun 2022 menuju redup, 2023 itu sangat redup, tetapi di 2024 menjadi sebuah momentum,” kata Harmanda seusai acara penandatangan perjanjian kerja sama (PKS) antara Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Aspakrindo di Gedung Bappebti, Jakarta, Kamis (5/1/2023).

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda seusai acara penandatangan perjanjian kerja sama (PKS) antara Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Aspakrindo di Gedung Bappebti, Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Berdasarkan data dari Bappebti, nilai transaksi aset kripto di Indonesia pada 2022 menurun. Pada 2021, nilainya berada di angka Rp 859,4 triliun. Angka tersebut meningkat dari nilai tahun 2020 yang hanya Rp 64,9 triliun. Sementara per Januari hingga November 2022, angkanya menurun menjadi Rp 296,6 triliun.
Popularitas aset kripto juga menurun. Berdasarkan data dari Statista Global Consumer Survey terhadap penduduk di Amerika Serikat pada 2020-2022, sebanyak 18 persen penduduk telah berinvestasi lewat aset kripto. Namun, penduduk yang berencana untuk melanjutkan investasinya hanya 15 persen.
Selain itu, fenomena crypto winter diprediksi belum berakhir pada 2023. Crypto winter merupakan kondisi jatuhnya harga atau nilai aset kripto di pasar secara drastis dan berkepanjangan.
Harmanda mengatakan, ada dua hal yang membuat perdagangan aset kripto pada 2023 meredup. Pertama, ketidakpastian ekonomi di tahun 2023 membuat investor menahan uangnya untuk berinvestasi.
”Sekarang banyak orang yang berpikir bahwa cash is the king. Akhirnya sekarang mereka tarik (dana yang diinvestasikan) semuanya,” kata pria yang akrab disapa Manda ini.
Alasan kedua, kata Manda, kepercayaan terhadap kripto menurun. Salah satunya penyebabnya ialah runtuhnya entitas bisnis aset kripto asal AS bernama FTX. Kini, FTX mendaftarkan diri ke pengadilan di Delaware, AS, untuk mendapatkan status bangkrut.
Keruntuhan FTX bermula dari permintaan pengambilan dana nasabah yang menyimpan dalam bentuk aset kripto ke dalam mata uang dollar AS. Jumlah permintaan tergolong tinggi hingga kekurangan sekitar 8 miliar dollar AS. Nasabah mulai mengalami kesulitan mencairkan dana mereka sejak 8 November 2022 dan kemudian makin banyak yang tidak bisa mencairkan pada 11 November 2022.
Saat terjadi permintaan itu, dana tunai di FTX tak mencukupi. Belakangan diketahui, selama ini dana nasabah ternyata diinvestasikan ke anak-anak perusahaannya, yaitu Alameda dan lain-lain. Uang nasabah itu dikabarkan diinvestasikan ke sejumlah produk investasi berisiko tinggi (Kompas.id, 17/11/2022).
”Kami tetap menyambut optimis bahwa perdagangan kripto di global masih sangat luar biasa animonya. Cuma memang kripto tidak bisa lepas dari central life system, terutama ekonomi secara global,” ujar Manda.
Baca juga: Aset Kripto Diprediksi Masih Tertekan pada 2023
Senada dengan Manda, dihubungi secara terpisah, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, berpandangan, kasus FTX berpengaruh negatif terhadap kinerja aset kripto. Selain itu, suku bunga acuan yang ditetapkan The Fedatau bank sentral AS juga berpotensi naik.
”Saya rasa masih akan negatif minimal sampai semester I tahun 2023. Investor juga masih akan wait and see terkait dengan pergerakan harga kripto acuan seperti bitcoin,” kata Nailul.
Literasi
Terkait aset kripto, hal yang menjadi fokus Bappebti adalah peningkatan literasi. Untuk itu, otoritas di bawah naungan Kementerian Perdagangan yang berwenang mengatur dan mengawasi kripto tersebut menandatangani PKS dengan Aspakrindo pada Kamis siang.
Pelaksana Tugas Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko mengatakan, salah satu yang disepakati dalam PKS tersebut adalah terkait pertukaran data dan informasi soal aset kripto. Selama ini, hal tersebut sebenarnya sudah dilakukan. Namun, dengan adanya PKS, pertukaran data dan informasi akan lebih mudah serta proses penentuan kebijakan terkait aset kripto menjadi lebih cepat.
”Perjanjian ini upaya lebih cepat untuk memperoleh data. Kalau semuanya menggunakan peraturan, saya khawatir justru akan lambat. Sementara kripto ini kan gerakannya sangat cepat,” katanya.

Pelaksana Tugas Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko dan Ketua Umum Aspakrindo Teguh Kurniawan Harmanda (kiri ke kanan) saat acara penandatanganan perjanjian kerja sama antara Bappebti dan Aspakrindo di Gedung Bappebti, Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Didid melanjutkan, lewat PKS tersebut, pihaknya melibatkan Aspakrindo untuk membantu meningkatkan literasi masyarakat terkait aset kripto. Hal ini disebabkan peminat aset kripto bertambah. Bappebti mencatat, pada 2021 jumlah investor mencapai 11,2 juta. Per November 2022, jumlah investor meningkat menjadi 16,55 juta. Didid menyampaikan, dari 16,55 juta investor, 48 persen di antaranya berusia 18-35 tahun dengan 70 persen nilai transaksinya di bawah Rp 500.000.
”Kelemahan kami adalah literasi, kami akan melakukan literasi dengan Aspakrindo. Besok (Februari) rencananya bulan literasi kripto. Kami enggak mungkin 28 hari terus-terusan (menggelar literasi) di seluruh Indonesia. Kami akan bagi tugas dengan Aspakrindo,” ujar Didid.
Baca juga: ”Booming” Aset Kripto, Riset Dulu Sebelum Beli
Terkait peminat aset kripto yang bertambah, Manda berpesan masyarakat jangan sekadar ikut-ikutan berinvestasi. Untuk menentukan investasi yang legal, publik bisa melihat data dari Bappebti. Saat ini, ada 383 jenis aset kripto yang dapat diperjualbelikan di Indonesia.
Manda berujar, masyarakat juga jangan mudah terhasut sebelum memastikan kebenarannya. Selain itu, saat memutuskan akan berinvestasi, jangan menggunakan dana operasional ataupun dana darurat.
”Jangan sampai ketika nanti beli kripto pakai dana kuliah atau dana operasional tiba-tiba (nilai) kriptonya turun, terus dia enggak bisa berbuat apa-apa. Ini yang juga harus dimitigasi,” ujar Manda.
Pajak diturunkan
Dalam kesempatan itu, Manda meminta agar pajak aset kripto diturunkan. Sejak 1 Mei 2022, pemerintah mengenakan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Dalam aturan itu, pemerintah membuat ketentuan tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
Berdasarkan regulasi tersebut, tarif PPN yang ditetapkan sebesar 0,11 persen jika transaksi diselenggarakan oleh pedagang aset kripto yang terdaftar di Bappebti dan PPN 0,22 persen jika transaksi dilakukan melalui pedagang yang tidak terdaftar di Bappebti. Sementara tarif PPh Pasal 22 final ditetapkan 0,1 persen jika transaksi melalui pedagang yang terdaftar di Bappebti dan 0,2 persen jika transaksi dilakukan oleh pedagang yang tak terdaftar di Bappebti.

Manda mengatakan, asosiasi mengusulkan tarif PPh final 0,05 persen, tanpa PPN. Asosiasi juga menilai industri aset kripto di Indonesia masih relatif baru. Kebijakan yang tak tepat berpotensi menekan pertumbuhannya. Ia menambahkan, asosiasi juga sudah melakukan audiensi dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Saat ini, asosiasi masih menunggu respons dari DJP Kemenkeu.
”Kami tidak menolak adanya penerapan pajak. Cuma kami menginginkan penerapan pajak yang sifatnya efektif dan efisien karena sekarang ini sangat enggak efektif. Karena apa? Akhirnya capital outflow, orang berdagang atau bertranskasi di luar. Yang dirugikan siapa? Yang dirugikan Indonesia juga,” tuturnya.
Terkait pajak aset kripto, Kompas sudah berupaya menghubungi Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor, serta Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal. Namun, hingga berita ini ditulis, ketiganya tidak merespons.
Baca juga: Literasi Aset Kripto Perlu Diperkuat