Permudah Aturan untuk Optimalkan Peremajaan Sawit Rakyat
Sejumlah aturan yang dibuat pemerintah justru dinilai membuat capaian peremajaan sawit rakyat tidak optimal. Keterlibatan beberapa kementerian untuk mengurusi sawit membuat pemenuhan persyaratan memakan waktu yang lama.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Program peremajaan sawit rakyat atau PSR yang dicanangkan pemerintah belum berjalan sesuai harapan. Aturan yang terlalu berat dinilai membuat capaian program itu tidak optimal. Padahal, peremajaan tanaman dapat mendongkrak pendapatan petani, meningkatkan produktivitas, serta mewujudkan pengelolaan sawit yang berkelanjutan.
Pemerintah menargetkan peremajaan atau replanting kebun sawit milik petani seluas 540.000 hektar hingga tahun 2024. Namun, berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), realisasi program PSR sejak tahun 2016 hingga 2022 baru mencapai 273.666 hektar dengan total dana yang dikucurkan sebesar Rp 7,52 triliun.
BPDPKS, yang diresmikan pada 2015, adalah badan layanan umum di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bertugas mengelola dana perkebunan kelapa sawit. Lembaga ini bertugas mengelola dana perkebunan kelapa sawit sesuai kebijakan komite pengarah dengan memperhatikan program pemerintah.
Tarif layanan yang dikenakan terdiri dari tarif pungutan dana perkebunan atas ekspor kelapa sawit, crude palm oil (CPO), dan/atau produk turunannya, serta tarif iuran pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. (Kompas.id, 25/1/2022).
Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman, memaparkan, realisasi PSR pada 2019 mencapai 90.491 hektar dengan dana yang dikeluarkan sebesar Rp 2,2 trilun. Pada 2020, realisasinya bertambah menjadi 94.033 hektar dengan dana sebesar Rp 2,6 triliun. Capaiannya kemudian menurun pada 2021 menjadi 42.212 hektar dengan dana Rp 1,6 triliun dan pada 2022 menjadi 30.759 hektar dengan dana Rp 923 miliar.
"Mengapa demikian? Hal ini disebabkan adanya ketentuan regulasi baru yang mewajibkan para petani yang akan ikut replanting ini harus menjamin lahan-lahan tersebut tidak berada di kawasan hutan, tidak di kawasan gambut, dan tidak tumpang tindih dengan hak guna usaha dari perkebunan-perkebunan lain," kata Eddy dalam konferensi pers akhir tahun BPDPKS di Jakarta, Kamis (22/11/2022).
Menurut Eddy, tiga persyaratan tersebut menyulitkan petani maupun pekebun sawit. Mereka juga harus mendapatkan surat keterangan itu dari dari instansi-instansi yang berwenang, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
BPDPKS, kata Eddy, sudah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Ditjenbun Kementan), yang secara teknis merupakan pemilik program PSR tersebut, untuk mensosialisasikan kepada para petani atau pekebun agar memenuhi persyaratan itu.
"Kita terus berkoordinasi dengan kementerian lembaga terkait seperti KLHK dan ATR/BPN untuk bisa mempercepat pemenuhan persyaratan-persyaratan tersebut," kata Eddy.
Dalam kesempatan itu, Eddy menjelaskan, program PSR merupakan upaya untuk menanam kembali sawit yang usianya telah mencapai 25 tahun atau lebih dan hasilnya sudah tidak produktif. Pemerintah juga memberikan dana sebesar Rp 30 juta per hektar dengan maksimum lahan yang dilakukan penanaman sawit kembali seluas 4 hektar. Dengan demikian, pemerintah melalui BPDPKS akan memberikan dana sebesar Rp 120 juta.
Dana tersebut, lanjut Eddy, dalam bentuk hibah. Petani atau pekebun sawit tidak diwajibkan mengembalikan dana itu. Namun, mereka diminta memanfaatkan uang tersebut untuk penanaman sawit kembali.
"Target yang diinginkan oleh bapak Presiden (Joko Widodo) itu kan 180.000 hektar per tahunnya, itu yang akan kita capai. Jadi di tahun 2023, BPDPKS sudah mengalokasikan anggaran khusus untuk PSR ini sesuai dengan target yang ditetapkan sebesar 180.000," ujar Eddy.
Infografik Perkembangan Peremajaan Sawit Rakyat (2016-2022)
Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, mengatakan, dengan luas kebun sawit rakyat yang mencapai 6,8 juta hektar, dibutuhkan penanaman kembali sekitar 270.000 hektar per tahun agar komposisi tanaman mendekati ideal.
"Jangankan 270.000 hektar, 180.000 pun sulit tercapai. Padahal, petaninya ada, uangnya ada, dan benihnya pun tersedia. Mengapa terjadi seperti itu? Jawabanya hanya satu, soal legalitas kebun sawit petani. Pemerintah membuat prosedur tetap PSR yang juga menyulitkan pemerintah sendiri," kata Tungkot.
Tungkot mempertanyakan mengapa pemerintah membuat aturan yang mengharuskan petani sawit memiliki surat keterangan kebun yang tidak berada di kawasan hutan. Menurut dia, aturan itu sama sekali tidak memiliki dasar. Ia menilai, untuk mengatasi dan mempercepat pencapaian target PSR, diperlukan terobosan dan negara harus hadir.
"Caranya, Presiden menugaskan PTPN (PT Perkebunan Nusantara) bersama dinas kabupaten atau provinsi untuk mensukseskan PSR. Sebagian besar kebun sawit rakyat berada di sekitar kebun sawit PTPN, dan selama ini tandan buah segar-nya juga ditampung pabrik kalapa sawit PTPN," kata Tungkot.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, berpandangan, menurunnya capaian PSR dikarenakan keterbatasan wewenang dari BPDPKS terkait persyaratan PSR yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam Permentan tersebut, kementerian lain diikutsertakan untuk mengatur persyaratan PSR, yakni KLHK terkait kawasan hutan dan ATR/BPN terkait izin hak guna usaha (HGU) serta sertifikasi yang tidak diakui. "Kami mencatat ada 38 persyaratan PSR. Namun, yang terkait KLHK dan ATR-BPN cukup berat bagi kami sekelas petani," kata Gulat.
Gulat mengatakan, tidak semua provinsi memiliki lahan gambut. Namun, dengan adanya sejumlah persyaratan tersebut, petani diwajibkan mendapatkan surat keterangan bebas gambut. Ia menyampaikan, sebelum peraturan itu dibuat, seharusnya kementerian terkait saling berkoordinasi. Lebih lanjut, Gulat mendesak agar Permentan 3/2022 direvisi.
"Mandirikan BPDPKS melalui Badan Sawit Indonesia (Badasi) yang berada langsung di bawah Presiden (RI). Ini wajib dan harus dilaksanakan karena Indonesia sangat tergantung kepada ekonomi sawit dan selama ini terlampau banyak kementerian yang mengurusi sawit," tutur Gulat.
Kompas sudah berupaya menghubungi Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri, dan Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan Heru Tri Widarto, untuk mengetahui upaya mereka dalam meningkatkan capaian PSR. Namun hingga berita ini ditulis, ketiganya tidak merespons.