Untuk mengurangi pemakaian minyak dan batubara dalam program pencapaian emisi nol bersih, pemanfaatan gas semakin vital. Konsumsi gas diperkirakan meningkat berkali lipat di masa mendatang.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Instalasi jaringan pipa gas mulai dibangun sekitar kawasan Semarang Utara hingga PLTU Tambaklorok di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (27/5). PT Perusahaan Gas Negara (PGN) nantinya akan menyelesaikan pengembangan infrastruktur jaringan gas bumi, antara lain pipa transmisi Kalimantan-Jawa.
BADUNG, KOMPAS — Peran gas bumi bakal semakin vital dalam transisi energi global, termasuk di Indonesia, untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak ataupun batubara di sektor pembangkit listrik. Permintaan gas bumi akan meningkat pesat dan mencapai puncaknya pada 2050 saat konsumsi gas meningkat 11 kali lipat dibandingkan dengan konsumsi pada 2022. Dibutuhkan investasi yang lebih besar dan pembangunan infrastruktur gas yang masif untuk mengoptimalkan pemakaian gas dalam transisi energi.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi panel acara 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022 yang diselenggarakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kamis (24/11/2022), di Badung, Bali. Narasumber diskusi, antara lain, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha, dan Deputy Chief of Party USAID Mike Crosetti.
Dalam paparannya, Dadan mengatakan, gas bumi akan semakin banyak dikonsumsi sebelum sumber energi terbarukan digunakan sepenuhnya 100 persen sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. Apalagi, Indonesia memiliki target menaikkan produksi gas menjadi 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030 atau dua kali lipat dari produksi saat ini yang sebanyak 6,5 miliar standar kaki kubik per hari.
”Gas bumi akan menjadi pilihan untuk menggantikan pemakaian bahan bakar minyak pada pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Sampai 2025, kapasitas PLTD yang akan diganti dengan tenaga gas adalah sebanyak 499 megawatt (MW). Selain gas, sumber energi terbarukan lain yang akan didorong sebagai sumber energi primer pembangkit listrik ditargetkan menjadi sebanyak 18.500 MW sampai 2025,” tutur Dadan.
Dengan skenario pencapaian emisi nol bersih pada 2060 dan penghentian operasi pembangkit listrik berbahan bakar batubara di 2040, menurut Mike, pada 2050 konsumsi gas meningkat menjadi 11 kali lipat dibandingkan dengan konsumsi gas tahun ini. Namun, akselerasi dalam mencapai target nol emisi bersih tersebut membutuhkan investasi yang lebih besar. Kebijakan penetapan harga gas untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan fluktuasi harga gas internasional akan memengaruhi pencapaian target tersebut.
”Gas akan memainkan peranan penting dalam program dekarbonisasi di sektor pembangkit listrik di Indonesia. Namun, faktor ketersediaan dana investasi ataupun kebijakan harga gas oleh pemerintah, termasuk perkembangan teknologi dan pergerakan harga gas dunia, akan berdampak signifikan terhadap target dekarbonisasi,” tutur Mike.
Sementara itu, terkait peran gas dalam bauran energi nasional, Satya menuturkan, porsi pemakaian gas diharapkan 14 persen pada 2025 dan meningkat menjadi 15 persen pada 2050. Target itu mensyaratkan skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen per tahun. Namun, dengan skenario pertumbuhan ekonomi 5,9 persen per tahun, porsi gas dalam bauran energi nasional di 2025 diharapkan 13 persen dan meningkat menjadi 15 persen pada 2050.
”Namun, porsi energi terbarukan tetap diharapkan lebih besar. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi 5,9 persen per tahun, peran energi terbarukan diharapkan 23 persen di 2025 dan naik menjadi 53 persen di 2050,” kata Satya.
Dadan menuturkan, tantangan utama mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi di masa transisi energi adalah ketersediaan dan keandalan infrastruktur. Optimalisasi energi baru dan terbarukan di masa transisi juga harus mempertimbangkan keseimbangan pasokan dan pertumbuhan permintaan energi. Di saat yang sama, inovasi teknologi di sektor energi terbarukan turut berperan vital.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Petugas PGN melakukan pengecekan rutin instalasi jaringan gas rumah tangga di Perumahan Budha Szu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat, Selasa (12/2/2020). Pada tahun ini, pemerintah melalui Perusahaan Gas Negara (PGN) akan membangun 266.000 jaringan gas rumah tangga di 49 kabupaten/kota. Dalam jangka panjang, pemerintah menargetkan 10 juta sambungan gas rumah tangga terpasang dalam 5-10 tahun mendatang.
”Untuk mencapai tujuan transisi energi, selain oleh pemerintah, dukungan sektor swasta, akademisi, organisasi nonpemerintah, termasuk media massa, dibutuhkan. Kolaborasi yang apik bisa membantu mengakselerasi pencapaian target transisi energi, termasuk penciptaan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan,” ujar Dadan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengungkapkan, sejumlah lapangan gas di Indonesia yang diharapkan berkontribusi besar untuk mendukung peningkatan produksi, selain Blok Masela di laut lepas Maluku, adalah Blok Andaman di wilayah Sumatera bagian utara dan lapangan baru di utara Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Namun, Tututkan mengakui bahwa infrastruktur jaringan gas di Indonesia belum sepenuhnya terhubung. Saat ini sedang diupayakan pembangunan jaringan pipa gas Cirebon (Jawa Barat) ke Semarang (Jawa Tengah) sepanjang 255 kilometer. Selain itu, proyek jaringan pipa gas yang tengah diusahakan adalah jaringan Dumai (Riau) ke Sei Mangkei (Sumatera Utara) sekitar 400 kilometer.
”Apabila kedua proyek itu selesai dibangun, jaringan pipa dari Aceh sampai ke Jawa Timur akan terhubung memenuhi kebutuhan industri. Ini bagus untuk ketahanan energi di Indonesia,” ucap Tutuka.