Petani Desak KPPU Usut Perusahaan Sawit yang Diduga Monopoli
Selain dugaan penguasaan lahan, sejumlah perusahaan diduga memonopoli suplai bahan baku sawit. Dugaan praktik tersebut dinilai merugikan petani sawit di daerah.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serikat Petani Kelapa Sawit mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU mengusut dugaan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri sawit dan program biodiesel. Praktik tersebut dinilai merugikan petani sawit di daerah.
Hal ini menjadi salah satu tuntutan para petani sawit dari 20 Kabupaten penghasil sawit terbesar di Indonesia yang tergabung di dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Beberapa di antaranya berasal dari Jambi, Riau, Aceh, dan Kalimantan Timur. Mereka menggelar aksi di kantor KPPU di Jakarta dan dilanjutkan ke kantor salah satu perusahaan di Jakarta Selatan.
Ketua Departemen Advokasi SPKS Marselinus Andry mengatakan, pihaknya telah melaporkan sejumlah perusahaan sawit itu ke KPPU sejak Maret 2022 lalu. Namun, hingga saat ini, lembaga tersebut belum menanggapi laporan mereka.
”KPPU menurut kami terlihat diam selama ini. Padahal sebetulnya, kasus dugaan monopoli ini sudah banyak buktinya di daerah-daerah. Ada penguasaan lahan yang melebihi aturan terjadi di mana-mana yang menimbulkan konflik,” kata Andry di depan Gedung KPPU, Jakarta Pusat, Selasa (15/11/2022).
Selain dugaan penguasaan lahan, perusahaan tersebut juga diduga memonopoli suplai bahan baku sawit. Suplai bahan baku terhadap tiga perusahaan itu, kata Andry, hanya berasal dari para penyuplai (supplier) pihak ketiga yang menjadi bagian dari perusahaan. Hal tersebut membuat para petani kesulitan mendapatkan lahan serta memperoleh akses pemasaran ke pabrik sawit.
"Kalau lahan dikuasai, suplai dikuasai, lalu petani mau jual ke mana? Petani akan dibiarkan rugi terus. Kalau kami sebut, ’petani selalu buntung dengan industri sawit’. Karena apa? Karena dibiarkan buah-buah TBS (tandan buah segar) dari mereka itu dijual ke tengkulak (pedagang perantara) dengan harga yang lebih murah dari harga yang ditetapkan pemerintah dan juga harga pabrik,” kata Andry.
Terkait industri biodiesel, Andry mengklaim tidak ada satu pun biodiesel yang diproduksi perusahaan bersumber dari petani. ”Sehingga, klaim pemerintah terhadap kesejahteraan harga TBS dan lain-lain itu omong kosong. Karena tidak terbukti tidak ada satu pun yang melakukan kemitraan dengan koperasi petani,” kata Andry.
Andry menyampaikan, terungkapnya kasus mafia minyak goreng yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa bulan lalu, seharusnya menjadi momentum bagi KPPU untuk mengusut tuntas dugaan-dugaan tersebut.
”Karena beberapa mafia dari perusahaan raksasa sawit ini terkoneksi langsung dengan industri sawit dan juga biodiesel. Kami harapkan KPPU melihat momentum itu untuk lebih mengusut persoalan di lapangan mengenai struktur pasar yang tidak sehat ini,” ujarnya.
Kebijakan subsidi
SPKS juga mengkritik kebijakan pemerintah terkait subsidi lahan sawit. Menurut Andry, kebijakan itu memberikan ruang perusahaan sawit untuk semakin memonopoli dan melakukan persaingan usaha tidak sehat dalam industri sawit dan biodiesel.
Dalam kajian yang dilakukan, SPKS mencatat terdapat 10 besar grup perusahaan sawit yang menjalankan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) jenis biodiesel yang menerima subsidi dari dana sawit selama periode 2019-2021. ”Dana sawit yang dikelola BPDP-KS adalah dana yang bersumber dari petani kelapa sawit,” ujar Andry.
Saat dihubungi secara terpisah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPPU Deswin Nur mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan SPKS sejak Maret lalu. Saat ini, KPPU tengah melakukan proses klarifikasi atas laporan tersebut.
Klarifikasi ditujukan untuk memperjelas substansi dugaan dan bukti-bukti awal yang disampaikan dalam laporan. Klarifikasi, kata Deswin, bergantung pada laporan awal serta kerja sama pelapor dalam melengkapi data yang dimintakan KPPU untuk memperkuat dugaan tersebut.
”Jika laporan sudah dinyatakan lengkap dan patut, minimal satu jenis alat bukti, dapat dilanjutkan ke penyelidikan. Di mana, KPPU akan mencari satu jenis alat bukti tambahan dan memanggil para terlapor dan pihak yang berkaitan. Semua data atau informasi atau bukti sedang diolah oleh tim di KPPU. Lengkap tidaknya, akan diputuskan setelahnya,” kata Deswin.
Merespons hal ini, saat dihubungi, Ketua Departemen Advokasi SPKS Marselinus Andry mengatakan, KPPU sejauh ini tidak melakukan investigasi mendalam. Menurut dia, saat tahap klarifikasi, KPPU tidak fokus pada inti laporan. ”Malah diseret ke isu masalah kebijakan atau aturan dan kasus kemitraan. KPPU sendiri malah meminta bukti-bukti terkait dengan kasus kemitraan,” kata Andry.