Pasien Gangguan Ginjal Akut Bisa Tuntut Ganti Rugi
Jika terbukti obat yang mengandung etilen glikol dan dietilen glikol sebagai penyebabnya, pasien gangguan ginjal akut bisa menuntut produsennya. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia membuka posko pengaduan bagi korban.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasien gangguan ginjal akut dapat menuntut ganti rugi materiil dan nonmateriil ke perusahaan farmasi produsen jika obat sirop yang terpapar etilen glikol dan dietilen glikol terbukti sebagai penyebabnya. Badan Perlindungan Konsumen Nasional akan mengawal hal itu dalam rangka perlindungan konsumen.
”Hak meminta ganti rugi sudah tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Korban bisa minta ganti rugi atas kerugian yang dialami,” kata Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Muhammad Mufti Mubarok di Jakarta, Rabu (26/10/2022).
Menurut dia, korban harus dapat memastikan terlebih dahulu penyebab ia terkena gangguan ginjal akut. Setelah terverifikasi, korban dapat meminta ganti rugi atau menuntut produsen obat yang terbukti menggunakan bahan berbahaya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, per 21 Oktober 2022, jumlah kasus gangguan ginjal akut di Indonesia mencapai 241 kasus dan tersebar di 22 provinsi. Terdapat 133 kasus kematian atau 55,1 persen dari total kasus. Laporan kasus gangguan ginjal akut tertinggi berada di DKI Jakarta (57 kasus), Jawa Barat (33 kasus), Aceh (31 kasus), dan Jawa Timur (30 kasus).
Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah membuka posko pengaduan bagi korban obat sirop yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Para korban dapat mengadu jika ingin mengajukan penuntutan atau minta ganti rugi kepada pihak terkait. ”Posko pengaduan dapat diakses melalui e-mail dan nomor telepon YLKI,” ujar Ketua YLKI Tulus Abadi.
EG dan DEG merupakan zat kimia yang memiliki racun jika dikonsumsi melebihi batas aman. Korban yang terdampak ialah anak berusia di bawah 18 tahun. Terkait hal ini, YLKI juga siap memfasilitasi korban yang melakukan gugatan publik, baik kepada produsen obat, Kementerian Kesehatan, maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dianggap lalai.
”Saat ini, YLKI juga sedang melakukan inventarisasi keluarga korban. YLKI siap memfasilitasi korban untuk penyelesaian masalah, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan,” tambah Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo.
Dia menambahkan, memang seharusnya ada pihak yang bertanggung jawab dan salah satu instrumen yang punya kewenangan menyatakan suatu pihak bersalah adalah pengadilan.
Sebagai mitigasi, industri farmasi seharusnya menggunakan bahan baku yang sesuai dengan regulasi serta melakukan pemonitoran dan evaluasi secara berkala, baik bersama BPOM maupun penguji independen. Hal ini diperlukan agar kualitas produk yang didistribusikan terjamin dan aman dikonsumsi masyarakat.
”Konsumen tidak bisa mengecek sendiri apakah produk tersebut berbahaya atau tidak. Mereka hanya dapat mengecek tanggal kedaluwarsa untuk memastikan suatu produk layak dikonsumsi atau tidak. Mereka berpikir, jika suatu produk sudah dipasarkan, berarti sudah layak konsumsi,” kata Tulus.
Tulus menyampaikan, Kementerian Kesehatan dan BPOM harus lebih selektif dalam memberikan izin edar obat-obatan kepada produsen obat. BPOM juga harus lebih mengawasi para produsen obat agar tidak terjadi hal seperti ini di kemudian hari.
”Pengawasan terhadap industri obat harus lebih diperketat. Bisa jadi produsen obat melakukan penyimpangan setelah produk mendapat izin BPOM untuk dijual,” kata Tulus.
Penanganan
Untuk memastikan keamanan produk obat-obatan, Kementerian Perindustrian meminta produsen obat melakukan uji laboratorium terhadap bahan baku obat yang digunakan, apakah sesuai dengan standar mutu yang berlaku atau tidak.
”Hal ini bertujuan untuk mengeksplorasi seluruh faktor risiko penyebab gangguan ginjal, baik dari sumber obat-obatan maupun potensi penyebab lainnya,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam siaran pers Kementerian Perindustrian.
Hingga saat ini, Kemenperin telah melakukan koordinasi secara langsung dengan mengunjungi beberapa industri farmasi untuk memastikan produk yang dimiliki telah memenuhi persyaratan cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan memiliki nomor izin edar.
”Pengecekan ke fasilitas produksi dilakukan untuk memastikan industri tidak menggunakan EG dan DEG sebagai bahan baku tambahan dalam obat sirop,” tambahnya.
Kemenperin juga akan memastikan industri farmasi memiliki tim khusus untuk menangani laporan atau keluhan pelanggan terhadap produknya serta melakukan pantauan dan mendeteksi efek samping dari obat yang diproduksi.