Mempertahankan Tradisi Leluhur lewat Tenun
Tak sekadar dikenakan, diperkenalkan, dan dipasarkan di dalam negeri, tradisi kain tenun terus dilestarikan untuk menerobos pasar global.
Tidak sekadar dikenakan, tetapi juga diangkat ke ruang publik sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia manakala Presiden Joko Widodo sendiri secara mengejutkan mengenakan baju adat Buton yang disebut Dolomani, tepatnya di Hari Kemerdekaan Ke-77 Indonesia. Di balik rajutan kainnya, terselip kerja keras mempertahankan tradisi leluhur.
Entah berasal dari desa mana tepatnya rajutan baju yang dikenakan Presiden Jokowi. Yang pasti, ada Desa Gumanano, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, memiliki tradisi unik leluhur menghasilkan kain tenun yang diwariskan secara turun-temurun.
Di sana, di setiap kolong rumah panggung dari setiap kepala keluarga, hampir pasti ditemui para perempuan desa yang sedang asyik menenun kain. Saat rajutan itu ditenun dengan ketekunan, hasilnya menjadi sempurna dan akan dinamai tenun Kamohu.
Usut punya usut, kegiatan menenun ini rupanya memiliki narasi yang kuat. Konon, dalam sejarahnya dikisahkan, seorang anak gadis di setiap keluarga tidak boleh turun tanah atau keluar rumah jika tidak pandai menenun. Keluar rumah dalam konteks ini ialah menikah. Rupanya, tersemat sebuah pesan yang mendalam di balik tradisi ini.
Erly, perempuan asli daerah tersebut, saat kunjungan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Senin (19/9/2022), mengatakan, kepandaian para perempuan untuk menenun diyakini akan berimbas pada rumah tangga yang mereka bina nantinya.
”Karena dengan menenun, mereka dapat merajut kehidupannya. Sejarahnya seperti itu. Maka, ini dilakukan di bawah rumah,” ujar Erly yang sedang asyik menenun di rumahnya di Desa Gumanano, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara.
Kamohu atau tenunan merupakan kain yang dihasilkan oleh para penenun di kolong rumah. Kamohu umumnya dijadikan sarung oleh masyarakat sekitar yang sebagian besar Muslim. Namun, kata Erly, perempuan-perempuan muda biasanya juga mengasah kreativitas mereka dan mengubah Kamohu menjadi tas selempang, syal, dan banyak kerajinan tangan lainnya.
Kini, di tengah masifnya digitalisasi yang berimbas terhadap modernisasi, tak membuat Erly takut akan punahnya tradisi menenun di desa mereka. Sebab, dia meyakini tradisi ini akan tetap lestari pada setiap generasi baru yang lahir di desa mereka.
”Tradisi ini akan selalu ada karena ibu di setiap keluarga akan selalu menurunkan keterampilan ini ke anak dan cucu mereka. Semua pasti bisa. Di saat mereka remaja, mereka harus diajarkan menenun. Makanya, ini menjadi keharusan di desa kami. Walaupun para perempuan ini punya pendidikan yang tinggi, mereka akan tetap melestarikan tradisi ini,” kata Erly.
Layaknya melukis di atas kain, istilah tersebut yang diucapkan Erly saat menjelaskan bahwa ketika para penenun ini membuat kain yang dipesan oleh pelanggan, pola kain yang diminta akan tergambar di pikiran para penenun dan langsung mereka tuangkan. Rupanya, cukup merogoh kocek sekitar Rp 200.000 hingga Rp 300.000, para pembeli akan mendapatkan kain yang dibuat oleh para perempuan hebat yang telah terpatri untuk meneruskan tradisi di masa depan.
Dibikin mendunia
Lain cerita dari sebuah desa di Buton, Rumah Tenun Magelang pun mencoba menarasikan perjalanan sederhana tradisi menenun hingga dibikin mendunia. Bahkan, mereka menarasikannya mulai dari menanam, memanen, hingga menjadi rajutan kain tenun. Tak sampai di situ, mata dunia dibikin terbuka akan kekayaan kain tenun ini.
Rumah Tenun Magelang memang bukan sekadar rumah tenun biasa. Di dalamnya ada cerita tenun untuk produk interior yang dinarasikan dengan begitu apik. Terlebih, daerah ini masih begitu mudah ditemui para petani dengan ketekunannya dan pemandangan desa yang begitu memiliki kekhasan. Rumah Tenun Magelang, yang berada di Tonoboyo Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, memang hadir dengan membawa konsep eduwisata dari bahan serat alam yang diolah dan dibuat menjadi kerajinan interior bernilai tinggi.
”Kami mengedukasi masyarakat tentang serat alam,” kata Rif Fatka Ridwan dari Rumah Tenun Magelang dalam diskusi panel Cerita Kriya bertajuk ”Membangun Ekosistem Hulu-Hilir untuk Memastikan Bisnis UMKM yang Berkelanjutan”, di Bali, beberapa waktu lalu.
Karena mitra Rumah Tenun Magelang adalah petani tanaman serat, komunikasi dengan petani terus dilakukan secara intensif. Tujuannya agar hasil yang diharapkan sesuai dengan kualitas dan permintaan pasar. Sebab, kata Rif Fatka, dengan perawatan yang tidak maksimal, hasil yang didapatkan juga tidak akan sesuai.
Menariknya lagi, mitra penyeratan suwi dan sambung serat adalah ibu-ibu dengan jumlah ratusan orang. Bahkan, Rif Fatka menunjuk produk Tirai Uyang yang diproduksi menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) dengan bahan serat alam sebagai produk unggulan Magelang.
”Sekitar 90 persen produk ini telah diekspor ke luar negeri, terutama Amerika Serikat. Sudah dijual di mancanegara, seperti di Amerika Serikat, lewat butik,” kata Rif Fatka.
Selain Tirai Uyang, ada juga produk wallcovering dan karpet serta hasil produk lainnya. Bahan bakunya adalah serat alam yang banyak ditemui di sekitar kita, seperti rami, abaca, kudzu, dan eceng gondok.
Di masa pandemi Covid-19, Rumah Tenun Magelang tetap bisa bertahan, bahkan sudah siap melebarkan sayap hingga menembus pasar Eropa. "Secara rutin, kami diskusi dengan pembeli untuk proses produksi, desain, dan juga kendala," ujar Rif Fatka.
Menurut Rif Fatka, antara pembeli dan pihak penjual saling mengunjungi untuk mengembangkan produk ke depan. Sampai-sampai, Rumah Tenun Magelang memperoleh berbagai macam penghargaan dari Amerika Serikat.
Memang, kesuksesan Rumah Tenun Magelang tidak diraih dengan mudah. Penuh perjuangan untuk mewujudkan hingga menjadi seperti sekarang. Rumah Tenun Magelang didirikan oleh Saryanto Sarbini, Aryantie Saryanto, dan Sri Susilodewi Aryadini pada 1988. Awalnya, hanya sebagai pemasok produk kerajinan untuk perkantoran dan hotel.
”Produk didapatkan dari perajin di Majalaya dan Pekalongan,” ujar Rif Fatka.
Setelah usaha semakin berkembang, pada 1992, Rumah Tenun Magelang memutuskan memproduksi sendiri. Bahkan, tak butuh waktu lama, pada 1993, melalui Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), mereka memulai kerja sama dengan pembeli luar negeri.
Tahun 1996, berkembang lagi menjadi pemasok bagi perusahaan-perusahaan. Seiring dengan mendapatkan semakin banyak pembeli dan produksi berjalan lancar, mereka memutuskan membangun Rumah Tenun Magelang seperti terlihat sekarang ini.
Begitu apiknya pengembangan produk budaya daerah, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sampai menyebutkan bahwa produk kriya dan wastra di Tanah Air saat ini sudah berjalan pada jalur yang tepat. Mereka sudah terhubung pada ekosistem bisnis dari hulu ke hilir, terkonsolidasi dengan pasar hingga pembiayaan.
”Mulai dari pengembangan branding, memperluas jangkauan pasar, menumbuhkan tanggung jawab sosial pada kelestarian lingkungan, hingga menumbuhkan kecintaan akan produk dalam negeri,” kata Teten.
Kita patut berbangga, saat ini hasil olahan, seperti kayu, enceng gondok, dan hasil produk olahan lainnya, telah tampil di jejaring ritel global, seperti Zara, H&M, IKEA, Walmart, Sarinah, Alun-alun Indonesia, hingga Kemchiks. Kriya dan wastra Indonesia pun diharakan bisa semakin lebih dikenal dunia dengan sentuhan seni dan budaya kekayaan alam Indonesia
Namun, kata Teten, pengembangan kriya dan wastra memang tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Selain mengedukasi para petani, kehadiran aggregator sangat diperlukan untuk mewujudkan UMKM ekspor dan memiliki daya saing tinggi. Saatnya UMKM membangun kolaborasi dengan para aggregator.
”Tidaklah cukup antar-UMKM bersaing di negeri sendiri, sementara UMKM melihat sendiri, betapa persaingan semakin ketat dengan membanjirnya produk-produk asing. Aggregator perusahaan besar pun perlu ambil bagian dalam perannya mengonsolidasikan UMKM supaya dapat menembus pasar ekspor, khususnya sektor kriya dan wastra,” kata Teten.