Perkuat Ekosistem Industri sebelum Melarang Ekspor Timah
Rencana pemerintah melarang ekspor timah harus diiringi dengan strategi pengembangan hilirisasi industri untuk menjamin serapan produksi timah. Pemerintah masih mengkaji wacana tersebut dan menampung berbagai masukan.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Lanskap Gurun Namang, kawasan tambang timah di Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung (Babel), Kamis (21/7/2022). Babel adalah penghasil timah terbesar kedua di dunia. Tiap tahun, ekspor timah Babel mencapai 200.000 ton
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana melarang ekspor timah dalam waktu dekat untuk mengurangi ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap komoditas mentah. Wacana itu perlu diiringi kajian strategi yang matang untuk mendorong hilirisasi industri serta memperkuat ekosistem timah dari hulu ke hilir di dalam negeri.
Hilirisasi dibutuhkan karena selama ini sebanyak 98 persen timah diekspor ke luar negeri. Hanya 2 persen dari hasil produksi timah di hulu yang diserap di sektor hilir oleh industri dalam negeri. Jika larangan ekspor timah mentah ujug-ujug dikeluarkan tanpa memastikan berjalannya hilirisasi dan ekosistem industri di dalam negeri, pasokan timah akan menumpuk dan tidak terserap optimal.
”Kita harus menciptakan ekosistem industri hilir supaya ada yang menampung hasil produksi di hulu. Perlu dipetakan dari sekarang, produksi timah kita paling berpotensi diolah untuk membuat turunan produk apa saja? Nilai tambahnya paling besar di sektor apa?” kata Peneliti Center of Industry, Trade and Investment di Institute of Development of Economics and Finance Ahmad Heri Firdaus, Kamis (22/9/2022).
Ia mencontohkan, hasil olahan timah berpotensi digunakan untuk menjadi komponen elektronik, otomotif, serta konstruksi bangunan. Namun, akibat struktur industri timah yang masih ”bolong” dan kebiasaan mengekspor timah dalam bentuk mentah tanpa mengolahnya menjadi produk bernilai tambah, industri lokal di sektor-sektor tersebut kerap menggunakan komponen hasil impor yang biasanya berasal dari China dan negara Asia Timur lainnya.
Itu membuat pabrik-pabrik elektronik dan otomotif di Indonesia selama ini lebih banyak dijadikan pusat perakitan atau assembly produk jadi. Indonesia sendiri belum mampu memproduksi komponen elektronik atau otomotif secara mandiri dan masih mengandalkan impor.
”Kita itu jago merakit. Kita mengekspor timah mentah, kita impor lagi dalam bentuk komponen atau perangkat arus lemah, baru kita rakit menjadi produk jadi yang siap dilempar ke pasar. Kalau mau jadi produsen timah yang kuat dan bernilai tambah, kita harus bisa mengolahnya hulu ke hilir di dalam negeri,” ujar Heri.
KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA
Pekerja memeriksa balok-balok timah di gudang PT Bukit Timah di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung. Timah merupakan komoditas utama dari Bangka Belitung dengan nilai ekspor rata-rata Rp 2 triliun per bulan atau setara 70 persen nilai ekspor provinsi tersebut.
Dengan pemetaan proyeksi hilirisasi yang jelas, pemerintah bisa menarik lebih banyak investasi untuk memperdalam struktur industri timah. Indonesia pun mampu memproduksi timah, melakukan pemurnian, memproduksi komponen atau produk intermediate lainnya dari timah, hingga memproduksinya menjadi barang akhir (final goods) di dalam negeri.
”Jangan sampai produksi timah menumpuk di dalam negeri, tidak bisa diekspor karena sudah dilarang, tapi tidak ada industri yang menggunakannya juga di dalam negeri,” kata Heri.
Insentif
Sementara itu, pelaku usaha mendukung rencana pemerintah untuk mendorong hilirisasi timah. Namun, PJS Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Carmelita Hartoto mengingatkan, pemerintah harus memastikan kapasitas serapan bahan baku di dalam negeri sudah optimal seiring dengan rencana penghentian ekspor timah. Infrastruktur hilirisasi harus ditingkatkan secara bertahap untuk menjamin nilai tambah dan keberlangsungan dari industri.
Jangan sampai produksi timah menumpuk di dalam negeri, tidak bisa diekspor karena sudah dilarang, tapi tidak ada industri yang menggunakannya juga di dalam negeri.
”Sebab, persoalannya, penyerapan timah logam untuk kebutuhan domestik itu memang masih sangat kecil, ada kesenjangan antara industri hulu dan hilir,” katanya.
Ia juga meminta agar kebijakan itu diiringi dengan sejumlah insentif yang mendorong iklim berusaha serta pengembangan hilirisasi di dalam negeri, baik dalam bentuk pembebasan pajak atau kemudahan izin beroperasi. Senada, Heri mengatakan, dukungan atau proteksi kebijakan bagi dunia usaha itu juga bisa diberikan dalam bentuk pengenaan tarif bea impor.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kegiatan penambangan timah yang dikelola oleh PT Timah di tambang terbuka Pemali, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung, Rabu (15/3/2017). Jumlah produksi normal di tambang terbuka Pemali berkisar 100-150 ton timah per bulan.
”Untuk memaksimalkan potensi industri hilir menyerap olahan timah dari dalam. Bisa dalam bentuk kebijakan hambatan tarif atau non-tarif dalam batasan yang masuk akal. Intinya, bagaimana supaya produsen di hilir mau menggunakan bahan baku dari dalam, bukan impor,” katanya.
Wacana melarang ekspor logam timah berulang kali disuarakan Presiden Joko Widodo. Pemerintah sebelumnya sudah mengeluarkan kebijakan untuk menyetop ekspor nikel dan kini berencana menambah daftar larangan ekspor komoditas tambang mentah. Selain timah, ekspor komoditas lain yang juga akan dibatasi adalah bauksit dan tembaga.
Masih dikaji
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, strategi investasi akan disesuaikan dengan program hilirisasi, sebagaimana saat ini gencar dilakukan untuk hilirisasi nikel di sektor kendaraan listrik dan elektronik. Investasi harus berkontribusi terhadap hilirisasi untuk mengakhiri siklus ketergantungan ekonomi nasional terhadap komoditas mentah, sekaligus mengurangi dampak perubahan iklim.
Sejauh ini, belum ada keputusan kapan larangan ekspor timah mentah dalam bentuk ingot itu akan diterapkan. Pemerintah masih menyusun peta jalan dan strategi untuk mengembangkan hilirisasi di dalam negeri. ”Pada intinya perlu ada dorongan untuk memajukan industri melalui optimalisasi kebijakan pemanfaatan sumber daya alam, seperti yang dilakukan negara-negara maju,” katanya.
Kementerian ESDM masih melakukan kajian dengan menampung masukan dari dunia usaha serta berkoordinasi dengan kementerian lain dalam rangka mengembangkan ekosistem hilirisasi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan, pemerintah akan berhati-hati sebelum menerapkan larangan ekspor timah. Apalagi, ketergantungan masyarakat terhadap industri hulu timah terhitung tinggi, khususnya di Provinsi Bangka Belitung sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia.
RHAMA PURNA JATI
Aktivitas tambang pasir di bekas kawasan tambang timah daratan di Kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (8/1/2020). Lubang tambang di Bangka Belitung terus meningkat dalam lima tahun terakhir, bahkan jumlahnya mencapai 12.000 lubang tambang.
”Baik dari segi penerimaan daerah, lapangan kerja, maupun struktur sosial-ekonomi masyarakat sangat bergantung pada timah. Jangan sampai terjadi guncangan karena kita tidak siap,” katanya.
Saat ini, Kementerian ESDM masih melakukan kajian dengan menampung masukan dari dunia usaha serta berkoordinasi dengan kementerian lain dalam rangka mengembangkan ekosistem hilirisasi timah di dalam negeri.
”Kebijakan ini harus dirumuskan dengan matang. Di mana kita mau membangun pabrik untuk hilirisasi? Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Tidak bisa kita melarang ekspor, tapi pabrik pengolahan belum selesai,” kata Ridwan.