Petani sawit rakyat menghadapi sederet kendala untuk mengupayakan legalitas lahannya. Padahal, tanpa legalitas itu, target pemerintah meremajakan 500.000 hektar kebun sawit rakyat selama 2020-2022 akan sulit tercapai.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Target pemerintah meremajakan 500.000 hektar tanaman sawit rakyat selama 2020-2022 diperkirakan sulit tercapai. Sebab, petani yang menjadi sasaran program kesulitan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam sejumlah regulasi. Dampaknya, upaya mendongkrak produktivitas, nilai tambah, dan kesejahteraan petani menjadi terhambat.
Padahal, kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino, amanat Presiden Joko Widodo pada Jumat, 29 Mei 2020, jelas bahwa agenda strategis yang berdampak langsung pada kepentingan rakyat harus dipercepat, seperti program sertifikasi tanah untuk rakyat, reforma agraria, perhutanan sosial, dan peremajaan perkebunan rakyat.
Namun, sejumlah persyaratan untuk mewujudkan tujuan itu sulit dipenuhi petani. Soal kriteria lahan, misalnya, beberapa hal sulit dipenuhi petani, seperti sertifikat hak milik (SHM) atau dokumen penguasaan tanah dibuktikan dengan surat pernyataan penguasaan fisik sesuai ketentuan, soal SHM yang tidak sama dengan identitas pekebun, serta lahan tidak berada di kawasan hutan, lahan gambut, dan atau lahan hak guna usaha (HGU).
”Padahal, 80 persen petani pemegang sertifikat namanya tidak sesuai dengan nama di sertifikat. Selain itu, ketentuan soal lahan tidak berada di kawasan hutan, lahan gambut, dan atau lahan HGU jadi masalah mendasar pada program peremajaan sawit,” kata Rino pada webinar Kompas Talk bertajuk ”Permasalahan Lahan dan Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit” di Jakarta, Kamis (1/9/2022).
Akibat kesulitan itu, realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) justru cenderung turun tiga tahun terakhir, yakni dari 92.066 hektar tahun 2020 menjadi 27.747 ha tahun 2021 dan baru 1.582 ha tahun ini. Menurut dia, berdasarkan sejumlah kajian, selain aspek legalitas lahan yang menjadi faktor utama, penurunan realisasi itu terjadi karena aspek kerumitan birokrasi serta problem hukum terkait penggunaan hibah dana perkebunan.
”Pada sejumlah kasus, petani sebenarnya sudah memiliki SHM dan mengelola lahan sebagai transmigran, bahkan sejak 1986 atau jadi plasma sejak 1990, tetapi kemudian tidak bisa mengakses program PSR atau modal dari perbankan karena lahannya dianggap sebagai kawasan hutan,” ujarnya.
Kepastian usaha
Menurut Rino, ketentuan lain yang menyulitkan petani terkait Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022, antara lain mensyaratkan status lahan tidak berada di kawasan hutan dan gambut. ”Padahal, seperti di Riau, hampir separuh kebun sawit berada di kawasan hidrologis gambut. Petani tidak bisa mengakses program PSR karena kondisi itu,” ujarnya.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB University Sudarsono Soedomo menyatakan, selain syarat mengakses bantuan dan program PSR, dokumen terkait lahan diperlukan petani guna menjamin kepastian usaha. ”Kepastian hak penguasaan, seperti dalam bentuk sertifikat, penting bagi petani untuk mengejar kesejahteraan. Tanpa kepastian itu, orang enggan berinvestasi,” ujarnya.
Menurut dia, petani sawit rakyat telah bertahun-tahun mendambakan kepastian itu. Oleh karena itu, negara atau pemerintah mesti berupaya mengatasi kendala tersebut. Apalagi, petani sawit rakyat turut berkontribusi besar di industri sawit dan perekonomian nasional.
Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Suyus Windayana menyatakan, upaya pendaftaran bidang tanah dipercepat lima tahun terakhir. Sampai akhir 2021, sebanyak 94,2 juta (74,8 persen) bidang tanah telah terdaftar. Selain itu, ada program pendaftaran tanah lintas sektor, termasuk petani sawit rakyat.
Sejak 2020. Kementerian ATR/BPN juga bekerja sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit guna membantu penyertifikatan tanah petani dalam program PSR. Tahun 2021, Kementerian ATR/BPN menyertifikatkan 2.067 bidang tanah milik petani sawit atau 37 persen dari target 5.560 bidang tanah.