Kementerian Keuangan menyebut lebih dari separuh alokasi solar, pertalite, dan elpiji subsidi dinikmati oleh warga mampu. Distribusi subsidi diharapkan lebih efektif.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Papan daftar harga BBM di SPBU di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (25/8/2022). Pemerintah masih harus mengevaluasi soal harga BBM bersubsidi sebelum memutuskan akan menaikkan atau mempertahankan harga. Wacana kenaikan harga BBM bersubsidi mengemuka karena kuota pertalite dan biosolar diperkirakan habis pada Oktober 2022. Adapun anggaran subsidi dan kompensasi energi pada 2022 total mencapai Rp 502,4 triliun.
JAKARTA, KOMPAS — Pulihnya mobilitas masyarakat seiring meredanya kasus Covid-19 mendongkrak konsumsi energi. Tak terkecuali BBM dan elpiji subsidi. Tanpa pengendalian distribusi, kuota subsidi tahun ini diperkirakan terlampaui.
Sayangnya, mayoritas BBM dan elpiji subsidi dinikmati oleh rumah tangga mampu, yakni mereka yang berada di desil pengeluaran 5-10 atau 60 persen rumah tangga dengan tingkat pengeluaran tertinggi. Sementara 40 persen masyarakat terbawah justru mendapatkan porsi kecil.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memaparkan hasil rapat koordinasi terkait kebijakan subsidi BBM di Jakarta, Jumat (26/8/2022), menyebutkan, dengan alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi Rp 502,4 triliun tahun ini, pemerintah menyiapkan pertalite 23,05 juta kiloliter dan 15,1 juta kiloliter solar.
Berdasarkan kalkulasi pemerintah, rata-rata konsumsi pertalite dan solar masing-masing 2,5 juta kiloliter dan 1,5 juta kiloliter per bulan. Namun, kuota diperkirakan tidak cukup. ”Jika pola konsumsi BBM bersubsidi tak berubah, total kuota solar yang dibutuhkan 17,44 juta kiloliter dan pertalite 29,07 juta kiloliter sampai akhir 2022. Kami hitung, apabila konsumsi melebihi kuota, kita perlu menambah anggaran subsidi Rp 195,6 triliun,” ujarnya.
Belum tepat
Awalnya, subsidi dan kompensasi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 dianggarkan Rp 152,5 triliun. Namun, alokasinya ditambah Rp 349,9 triliun guna menahan harga pertalite, solar, dan elpiji bersubsidi.
Ia memaparkan, solar dengan harga keekonomian Rp 13.950 per liter saat ini dijual Rp 5.150 per liter, sedangkan pertalite dengan harga keekonomian Rp 14.450 per liter dijual Rp 7.650 per liter. Sementara elpiji 3 kilogram yang harga keekonomiannya Rp 18.500 per kg dijual Rp 4.250 per kg.
Akan tetapi, subsidi ratusan triliun rupiah justru dinikmati oleh kelompok masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas. Pertalite, misalnya, sebanyak 86 persen di antaranya dinikmati oleh rumah tangga dan 14 persen dunia usaha. Dari 86 persen konsumsi pertalite oleh rumah tangga, 80 persen di antaranya dinikmati oleh rumah tangga mampu dan hanya 20 persen sisanya yang dinikmati warga miskin (40 persen masyarakat terbawah).
Sementara itu, hanya 11 persen solar bersubsidi yang dinikmati oleh rumah tangga, sedangkan 89 persen lainnya dinikmati oleh dunia usaha. Dari seluruh subsidi solar yang dinikmati rumah tangga, 95 persen di antaranya dinikmati oleh rumah tangga mampu dan hanya 5 persen yang dinikmati rumah tangga miskin yang mencakup petani dan nelayan.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Tingginnya harga minyak mentah dunia kian melebarkan gap antara harga keekonomian dan harga jual pertalite dan solar. Kondisi tersebut mendongkrak kenaikan anggaran subsidi dan kompensasi energi. Hingga kini, APBN 2022 menanggung anggaran subsidi dan kompensasi energi Rp 502 triliun.
Adapun 68 persen elpiji subsidi dinikmati oleh rumah tangga mampu. Sri Mulyani menegaskan, APBN tetap akan dimanfaatkan sebagai peredam kejut untuk menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat. Namun, kapasitas APBN tahun ini harus dijaga untuk mengantisipasi ketidakpastian di tahun-tahun mendatang.
”Subsidi tidak akan dicabut, tetapi penyesuaian tetap perlu dipertimbangkan. Semua harus bergotong royong. Kelompok masyarakat yang relatif mampu harus berkontribusi lebih banyak dibanding masyarakat tidak mampu yang masih harus dibantu dengan berbagai instrumen,” ujar Sri Mulyani.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, evaluasi harga BBM dan pembatasan penerima subsidi yang akan dipayungi peraturan presiden masih dimatangkan. Sejumlah skema masih dihitung, termasuk dampaknya, seperti inflasi.
Sebelumnya, Ombudsman RI menyarankan pemerintah agar membatasi penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi hanya bagi sepeda motor di bawah 250 cc dan angkutan umum. Selain itu, pengisian per hari BBM bersubsidi juga perlu dibatasi. Opsi itu dinilai lebih tepat ketimbang langsung menaikkan harga BBM bersubsidi karena bisa memicu inflasi.
Saran itu didasarkan pada hasil kajian cepat pembatasan BBM bersubsidi melalui aplikasi MyPertamina. Saran ini juga disampaikan menyikapi semakin menipisnya kuota BBM bersubsidi hingga akhir 2022. Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, menyatakan, porsi konsumen pertalite dan solar mencapai lebih dari 70 persen. Oleh karena itu, jika dinaikkan, hal itu akan memicu inflasi.
Oleh karena itu, pembatasan kendaraan yang berhak menikmati BBM bersubsidi dinilai lebih tepat. ”Selain moda transportasi itu (sepeda motor di bawah 250 cc dan angkutan umum), diwajibkan tetap menggunakan pertamax dan jenis di atasnya. Kriteria ini agar dimasukkan dalam Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014,” kata Hery.
Pertamina, kata Hery, juga mesti melakukan edukasi soal masyarakat yang diprioritaskan mendapat BBM bersubsidi. Pasalnya, tak sedikit masyarakat yang belum mengerti perihal sasaran subsidi.
Menurut dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Lukman Hakim, harga BBM subsidi dan nonsubsidi seharusnya tak berjarak terlalu jauh. Hal itu perlu diterapkan guna mengedukasi masyarakat. Disparitas harga yang lebar membuat kondisi menjadi tak ideal.