Upaya pengendalian konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi diyakini sebagai solusi jangka pendek yang bijak dibanding harus menaikkan harga bersamaan dengan kenaikan suku bunga acuan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM subsidi yang akan diikuti dengan naiknya suku bunga acuan perlu dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Rencana pemerintah itu, jika jadi dijalankan, akan berisiko terhadap pengeluaran warga.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, Rabu (24/8/2022), di Jakarta, berpendapat, kenaikan suku bunga juga akan memicu bank segera lakukan penyesuaian suku bunga pinjaman. Ini akan berefek pengeluaran untuk membayar cicilan menjadi semakin berat.
”Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap menghadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) hampir sentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022? Masyarakat kelas menengah rentan terdampak juga, seperti mereka yang mungkin sebelumnya kuat beli pertamax, tetapi sekarang mereka migrasi ke pertalite. Kalau harga pertalite ikut naik, kelas menengah akan korbankan belanja lain,” ujarnya.
Apabila situasi terjadi, Bhima memandang hal itu akan berimbas terhadap permintaan industri manufaktur yang bisa terpukul. Serapan tenaga kerja akan terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi.
”Imbasnya bisa tiga sampai lima tahun pemulihan akan terganggu akibat daya beli turun tajam,” katanya.
Sepanjang Januari ke Juli 2022, lanjut Bhima, serapan subsidi energi baru Rp 88,7 triliun. Sementara APBN sedang surplus Rp 106,1 triliun atau 0,57 persen dari produk domestik bruto diperiode Juli 2022. Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara. Menurutnya, surplus itu seharusnya diprioritaskan untuk menambal subsidi energi. Jangan sampai muncul dugaan pemerintah tidak mau memangkas signifikan anggaran yang tidak urgen dan mengorbankan subsidi energi.
Dia lantas mengusulkan agar pemerintah menemukan win-win solution. Misalnya, pemerintah bisa merevisi aturan untuk menghentikan kebocoran solar subsidi yang masih kerap dinikmati oleh industri pertambangan dan perkebunan skala besar. Dengan menutup kebocoran solar, pemerintah sebenarnya bisa menghemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi solar adalah jenis subsidi.
”Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit daripada melakukan kenaikan harga untuk jenis pertalite dan solar. Pemerintah juga bisa secara paralel memangkas belanja infrastruktur ataupun belanja pengadaan barang jasa pemerintah pusat-daerah,” ujar Bhima.
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radi, saat dihubungi pada Selasa (23/8/2022) di Jakarta, berpendapat, solusi jangka pendek yang bisa diambil pemerintah adalah pengendalian konsumsi BBM subsidi. Pertalite, misalnya, hanya diperbolehkan untuk dikonsumsi motor dan angkutan umum. Sisanya, pemerintah memigrasikan ke pertamax. Sementara solusi jangka panjang, Fahmy mengusulkan pemakaian B30 dan B40, serta adopsi kendaraan listrik ditingkatkan.
”Langkah seperti itu tidak akan berefek besar bagi inflasi,” ujarnya.
Apabila kenaikan harga BBM subsidi dilakukan jangka pendek, Fahmy menilai, hal itu akan menambah beban pengeluaran warga, apalagi untuk warga miskin yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Mereka harus menggantungkan diri terhadap kendaraan umum.
”Jika harga BBM subsidi dinaikkan sekarang, efek domino ke warga besar. Solusi jangka pendek yang sebenarnya bisa dilakukan pemerintah adalah pengendalian konsumsi subsidi. Subsisi diberikan kepada warga yang amat membutuhkan,” kata Fahmy.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pemerintah tengah menyusun skema penyesuaian harga BBM guna mengurangi beban subsidi dan kompensasi energi. Beberapa skenario penyesuaian tengah dihitung dan dipersiapkan dengan memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat.
”Langkah yang disimulasikan termasuk skenario pembatasan volume. Pemerintah akan terus mendorong penggunaan aplikasi MyPertamina untuk mendapatkan data akurat sebelum pembatasan diterapkan,” kata Luhut dalam keterangan resmi, Minggu (21/8/2022).
Ia menambahkan, pemerintah menghitung rencana itu dengan hati-hati karena perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti inflasi, kondisi fiskal, dan pemulihan ekonomi. Hal itu dinilai penting guna menjaga stabilitas negara di tengah ketidakpastian global (Kompas, 22/8/2022).