Indonesia, melalui BUMN farmasi, berupaya mengejar kemandirian obat dan vaksin. Peluang pengembangan industri farmasi dinilai besar di tengah tumbuhnya kesadaran masyarakat serta tantangan terkait isu kesehatan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia, melalui badan usaha milik negara atau BUMN bidang farmasi, berupaya mengejar kemandirian obat dan vaksin. Selain menangkap peluang pasar yang berkembang, usaha itu dinilai penting untuk menghadapi tantangan terkait isu kesehatan ke depan.
Terkait itu, PT Bio Farma (Persero) membangun pabrik baru di Karawang, Jawa Barat, mulai tahun 2023. Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir, di sela- sela acara ”Ngobrol Pagi BUMN” di Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (22/8/2022), mengatakan, selain untuk menangkap peluang di industri farmasi, langkah itu merupakan bagian dari upaya mendorong kemandirian obat dan vaksin di Indonesia.
Honesti menambahkan, selama ini, pihaknya lebih berperan menjalankan program-program pemerintah ataupun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Artinya, harga terkontrol. Sementara ke depan, produk-produk bakal ditentukan mekanisme pasar.
Sejumlah produk akan diproduksi di pabrik yang pembangunannya diperkirakan menelan biaya Rp 5 triliun pada 2023-2027 tersebut, yakni biosimilar, rekombinan, dan produk bioteknologi lainnya. ”Vaksin ada, tetapi bukan program pemerintah. Katakanlah HIV, paru, dan lainnya. Sebab, kita harus menyiapkan produk-produk baru yang tak bergantung program pemerintah,” katanya.
Saat ini, lanjut Honesti, kapasitas produksi vaksin secara keseluruhan di Bio Farma sekitar 3 miliar dosis per tahun untuk segala jenis vaksin. Adapun di pabrik di Karawang nanti, kapasitasnya diharapkan mencapai 1-2 miliar dosis vaksin per tahun.
Pengembangan bisnis tersebut tak terlepas dari tren perkembangan penyakit ke depan. ”Saat ini, kan,produk belum banyak dan mahal karena pengembangan produk serta suplai terbatas. Kami akan mencoba produk-produk yang dibutuhkan dan peluangnya masih terbuka. Kami masuk pada area yang semua masih dalam tahap pengembangan atau mencari bentuk serta inovasi produk,” tutur Honesti.
Pada akhirnya, upaya tersebut guna mendukung kemandirian obat dan vaksin dalam negeri, mengingat saat ini sebagian besar bahan baku obat masih impor. Pandemi Covid-19 memberi banyak pelajaran karena, saat ada kebutuhan, bukan hanya problem harga, melainkan juga ada persoalan pada logistik. Sebab, sejumlah negara menerapkan penutupan wilayah (lockdown).
”Untuk menghindari kebergantungan seperti itu, ya, kita harus memproduksinya di dalam negeri. Saat sudah memiliki cucu perusahaan yang khusus memproduksi bahan baku obat, nantinya, mau ada perang dunia di mana pun, kita akan aman secara produksi. Investasi itu harus karena kita pasti membutuhkan kapasitas produksi, teknologi baru, dan pengembangan SDM (sumber daya manusia),” katanya.
Honesti mengatakan, ke depan, Bio Farma sebagai perusahaan induk akan membuat perusahaan baru (spin off) yang akan fokus pada manufaktur vaksin. Dengan demikian, nantinya, tak ada lagi aktivitas operasi di Bio Farma. Pada 2023, pihaknya akan membicarakan tentang unlocking value.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Edy Wuryanto, menyatakan, kemandirian obat dan vaksin mesti dimiliki Indonesia. Ia pun mendorong Bio Farma, sebagai BUMN, untuk terus mengembangkan riset terkait farmasi. Bio Farma perlu menggandeng ilmuwan-ilmuwan perguruan tinggi di Indonesia agar penelitian tak selesai di kampus.
Hal tersebut penting dalam menghadapi tantangan industri farmasi ke depan. ”Kemampuan mengatasi persoalan ini, kan,kita masih kurang, sementara Covid-19 ini selalu bermutasi. Di samping itu, dengan kekayaan alamnya, Indonesia memiliki banyak peluang untuk mengembangkan bahan baku di dalam negeri. Bio Farma, sebagai motor, perlu mengembangkan ini,” ujarnya.
Peneliti pada Centre of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, saat ini bisnis farmasi semakin menjanjikan. Bukan hanya karena ada Covid-19, melainkan juga karena produk farmasi akan selalu dibutuhkan, terlebih ada kecenderungan orang sudah mulai peduli akan kesehatan.
Hal tersebut yang seharusnya dibaca oleh perusahaan-perusahaan, termasuk Bio Farma. ”Permintaan produk farmasi ke depan akan semakin besar dan selalu tumbuh. Bio Farma memang perlu memanfaatkan peluang ini agar perusahaan farmasi nasional berkontribusi lebih besar untuk mengisi pasar dalam negeri,” ucap Ahmad.
Dengan adanya perusahaan induk (holding) BUMN farmasi, sudah seharusnya perusahaan farmasi nasional semakin kuat. Sebab, anak-anak perusahaan fokusnya bakal beragam, seperti pada bahan baku (hulu), menengah (intermediate), hingga hilir. Dengan demikian, strukturnya akan semakin kuat.
”Meski di awal impor, selanjutnya kan harus ada peta jalan. Dari impor kemudian produksi sendiri sehingga secara perlahan akan mengurangi ketergantungan pada impor. Perusahaan farmasi ini, kan, berkarakteristik padat modal sehingga akan menuntut riset dan pengembangan, termasuk SDM, sebagai tantangan. Juga dukungan finansial dan regulasi,” papar Ahmad.
Vaksin
Terkait kemajuan produksi vaksin Covid-19 buatan BUMN, yang akan bernama Indonesia Vaccine atau Indovac, Honesti mengemukakan, izin penggunaan darurat (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diperkirakan akan diperoleh pada pekan pertama atau kedua September 2022.
”Kami telah mengirim data ke BPOM. Kami optimistis karena data utama dan signifikan, yang harus jadi pertimbangan mereka, seperti safety, bahkan (terkait) halal pun, sudah diaudit BPOM dan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Sudah memenuhi kriteria. Insya Allah (EUA) kami akan dapatkan pertengahan September paling lambat,” ujarnya.
Saat sudah mendapat EUA, imbuh Honesti, Indovac akan digratiskan bagi masyarakat karena merupakan program pemerintah. Pada 2023, jika pandemi Covid-19 dicabut dan menjadi endemi, vaksin akan berbayar. Namun, saat ini pihaknya masih fokus program pemerintah. Adapun harganya diusahakan di bawah Rp 100.000 per dosis karena 80 persen proses produksi di Indonesia.