Ekspor CPO Diperkirakan Berjalan Lambat meski Rasio Pengali Dinaikkan
Gapki memperkirakan ekspor CPO akan berjalan lambat meski pemerintah melonggarkan kebijakan. Sementara di saat harga TBS masih rendah, petani sawit harus menanggung kenaikan harga pupuk sebesar 70-80 persen per zak.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menaikkan rasio pengali ekspor minyak kelapa sawit mentah dan sejumlah produk turunannya menjadi sembilan kali lipat dari realisasi kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik atau DMO. Namun, ekspor minyak goreng dan bahan bakunya itu diperkirakan tetap berjalan lambat.
Hal itu terjadi karena pasar global masih lesu dan eksportir membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan kapal. Di samping itu, kebijakan percepatan ekspor melalui program pengosongan tangki-tangki minyak kelapa sawit mentah (CPO) atau flush out telah berakhir per 31 Juli 2022. Hingga kini, pemerintah belum memastikan akan melanjutkan atau benar-benar menghentikan program itu.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Selasa (2/8/2022), mengatakan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menaikkan rasio pengali ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya naik dari tujuh kali lipat dari realisasi DMO (1:7) menjadi sembilan kali lipat (1:9). Kebijakan ini tidak akan serta-merta mempercepat ekspor karena pasar CPO global tengah lesu.
”Eksportir juga membutuhkan waktu lebih lama untuk mencari dan mendapatkan kapal tanker lantaran ketersediaan kapal masih terbatas. Selain itu, eksportir harus memenuhi DMO dan memastikan telah mengantongi persetujuan ekspor (PE) sebelum memesan kapal,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Eddy menjelaskan, dalam situasi normal, ekspor CPO bisa dilakukan kurang atau paling lama sebulan. Sebelum mendapatkan persetujuan ekspor (PE), eksportir biasanya sudah mencari kapal.
Dalam kondisi sekarang, eksportir harus memenuhi DMO dan memastikan mendapat PE dahulu, baru mencari kapal. Untuk memperoleh kapal juga tidak mudah karena harus ”berebut” dahulu dengan para pengguna dari negara lain.
”Saat ini, untuk mengekspor CPO setidaknya membutuhkan waktu sebulan lebih, bahkan ada yang mencapai dua bulan. Ini membuat ekspor menjadi lambat. Untuk itu, kami berharap agar pemerintah menghapus kebijakan DMO. Jika nanti stok minyak goreng seret dan harganya naik, pemerintah dapat menerapkannya kembali,” katanya.
Saat ini, untuk mengekspor CPO setidaknya membutuhkan waktu sebulan lebih bahkan ada yang mencapai dua bulan. Ini membuat ekspor menjadi lambat.
Pada 29 Juli 2022, pemerintah memutuskan melanjutkan kebijakan DMO. Kemendag telah menaikkan rasio pengali ekspor atas DMO dari 1:7 menjadi 1:9 untuk mengdongkrak ekspor. Keputusan itu merupakan hasil rapat koordinasi kementerian dan lembaga terkait yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada 29 Juli 2022.
Kebijakan itu diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penetapan Rasio Pengali Besaran Volume Pemberian Persetujuan Ekspor CPO; Refined, Bleached, and Deodorized (RBD) Palm Oil; RBD Palm Olein; dan Used Cooking Oil (UCO). Kebijakan yang diterbitkan pada 29 Juli 2022 itu berlaku per 1 Agustus 2022.
Eddy juga menuturkan, per 31 Juli 2022, program flush out juga telah berakhir. Hal itu merujuk pada Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102 Tahun 2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar dalam Rangka Program Percepatan Penyaluran CPO, RBD Palm Oil, RBD Palm Olein, dan UCO.
Program itu diikuti perusahaan-perusahaan yang tidak ikut program Minyak Goreng Curah Bersubsidi atau Simirah I. Mereka dikenai tambahan bea keluar ekspor sebesar 200 dollar AS per ton.
”Hingga kini, pemerintah juga belum memastikan akan memperpanjang atau menyetop kebijakan percepatan ekspor CPO melalui program flush out. Informasi yang kami dapat, perusahan-perusahaan peserta program itu yang tidak segera merealisasikan ekspornya akan dikenai sanksi,” tuturnya.
Harga pupuk naik
Gapki juga menyebutkan, tangki-tangki CPO di pabrik-pabrik kelapa sawit juga masih penuh. Per akhir Juli 2022, totalnya diperkirakan sekitar 7 juta ton atau tak banyak berkurang dari data akhir Mei 2022 yang mencapai 7,32 juta ton. Padahal, realisasi ekspornya berdasarkan catatan Kemendag mencapai 2,77 juta ton pada periode 23 Mei-28 Juli 2022 dan Badan Pusat Statistik sebesar 1,76 juta ton per Juni 2022.
Eddy menjelaskan, hal itu disebabkan lantaran ekspor berjalan lambat, serapan hasil DMO mulai jenuh, serta serapan dan produksi CPO masih terus berjalan. Saat ini, serapan hasil DMO yang distribusikan di bawah 200.000 ton per bulan dari target DMO yang sebanyak 300.000 per bulan.
”Kendati tangki-tangki CPO belum berkurang maksimal, pabrik-pabrik kelapa sawit juga masih memproduksi CPO agar tandan buah segar (TBS) petani terserap dan tidak rusak,” kata Eddy.
Petani harus menanggung kenaikan harga pupuk NPK nonsubsidi sebesar 70-80 persen.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengemukakan, serapan TBS kelapa sawit petani mandiri masih terus berjalan. Namun, meski sejumlah pelonggaran kebijakan telah dilakukan, kenaikan harga TBS menjadi di atas Rp 2.000 per kilogram masih lambat.
Per 1 Agustus 2022, harga TBS sawit di tingkat petani mandiri di 14 kabupaten di 10 provinsi berkisar Rp 750-Rp 1.540 per kg. Harga itu jauh di bawah harga TBS yang ditetapkan oleh dinas perkebunan provinsi penghasil kelapa sawit, dengan harga tertinggi mencapai Rp 1.951 per kg.
Dengan harga TBS yang rendah, lanjut Darto, petani harus menanggung kenaikan harga pupuk NPK nonsubsidi sebesar 70-80 persen. Harga pupuk NPK di Riau, misalnya, naik dari Rp 320.000 per zak (kapasitas 50 kg) menjadi Rp 900.000 per zak, sedangkan harga pupuk urea naik dari 250.000 per zak menjadi Rp 960.000 per zak.