Layanan E-Dagang Amazon dan PayPal Masuk Jajaran PSE Privat yang Tak Kunjung Daftar
PayPal dan sistem elektronik berupa layanan e-dagang milik Amazon termasuk ke dalam jajaran 10 PSE privat skala besar yang tak kunjung mendaftar hingga Jumat (29/7/2022) sore.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, masih ada 10 penyelenggara sistem elektronik atau PSE privat yang memiliki tingkat lalu lintas penggunaan tinggi, tetapi belum menunaikan kewajiban mendaftar. Padahal, kementerian mengklaim telah memberikan kelonggaran lima hari kerja, terhitung sejak diedarkan surat teguran tertulis pada Sabtu (23/7/2022).
”(PSE privat yang belum mendaftar) Di antaranya PayPal, layanan e-dagang milik Amazon.com, layanan mesin pencari milik Yahoo!, Bing, Dota, Epic Games, BattleNet, dan Counter Strike. Hari ini pukul 23.59 adalah tenggatnya. Mulai besok Sabtu (30/7/2022), kami akan tetap blokir mereka jika sampai tenggat tidak mendaftar,” ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (29/7/2022) sore.
Sebelumnya, Kemenkominfo menyebutkan telah menyisir dan menemukan sekitar 100 PSE privat yang memiliki tingkat lalu lintas tinggi, tetapi belum juga menunaikan kewajiban mendaftar. Di antara 100 PSE privat itu, ada nama-nama PSE yang Semuel sampaikan Jumat sore, seperti layanan e-dagang Alibaba dan LinkedIn. ”Layanan e-dagang Alibaba dan LinkedIn sudah mendaftar di Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik Berbasis Risiko (OSS RBA),” katanya.
Semuel menegaskan, tidak ada sanksi denda administratif terkait hal itu. Sesuai Pasal 7 Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, Menteri Komunikasi dan Informatika memberikan sanksi administratif berupa pemutusan akses kepada PSE privat yang tidak mendaftar. Jika PSE privat punya tanda daftar, tetapi tidak melaporkan perubahan informasi pendaftaran atau tidak memberikan informasi pendaftaran dengan benar, Menteri memberikan sanksi administratif teguran secara tertulis. Jika teguran diabaikan, sanksi berikutnya adalah penghentian sementara serta pencabutan akses dan pencabutan tanda daftar PSE privat.
Hingga Jumat sore, jumlah PSE privat yang sudah menunaikan kewajiban mendaftar mencapai 5.394 perusahaan, sedangkan jumlah sistem elektroniknya terdapat 8.962 unit. Satu perusahaan PSE bisa memiliki lebih dari satu sistem elektronik. Kemenkominfo juga mencatat terdapat 55 tanda daftar PSE yang dibekukan karena diduga abal-abal.
Dilihat dari kategori jenis layanan, hasil rekapitulasi data pendaftaran yang dilakukan Kemenkominfo menunjukkan, sistem elektronik paling banyak bergerak di layanan e-dagang (3.039), keuangan (3.502), dan teknologi informasi komunikasi (3.924).
Semuel mengakui, selama periode kewajiban mendaftar bagi PSE yang sudah beroperasi ini, laman informasi milik Kemenkominfo (pse.kominfo.go.id) yang memuat data PSE sempat mengalami peretasan. Dalam satu hari, dia menyebut pernah mencapai puluhan kali serangan peretasan. Tim Kemrnkominfo selalu berusaha memperbaiki.
”Bagaimanapun, laman itu bertujuan positif meski bukan laman untuk mengajukan pendaftaran. Kami ingin warganet ikut memantau PSE melalui laman itu,” katanya.
Hukum bermasalah
Saat bersamaan, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet, Nenden Sekar Arum, mengatakan, pihaknya sebenarnya tidak menolak kebijakan pemerintah yang mewajibkan seluruh PSE privat mendaftar di OSS RBA. Di negara lain, pemerintah juga mewajibkan PSE privat mendaftar. Data hasil pendaftaran akan mendukung perumusan kebijakan pengembangan ekonomi digital.
Safenet hanya memprotes dasar hukum yang dipakai oleh Kemenkominfo, yakni Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat yang telah diubah melalui Permenkominfo No 10/2021. Permenkominfo ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
”PP Nomor 71/2021 merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kita semua tahu bahwa UU ITE mengandung pasal-pasal karet dan mengapa pemerintah tetap bersikeras menggunakan UU itu beserta regulasi turunannya,” ujarnya.
Sanksi pemblokiran yang diamanatkan Permenkominfo No 5/2020 juga tidak luput dari kritik. Menurut Nenden, pengalaman negara lain yang juga mewajibkan pendaftaran hanya mengenakan sanksi denda administratif. ”Sanksi pemblokiran langsung menutup hak akses internet warga. Hak akses internet merupakan bagian dari hak asasi digital,” imbuhnya.