Sebagian besar peserta Kartu Prakerja ada di Jawa dan Sumatera. Perlu ada sosialisasi dan pembangunan infrastruktur digital yang lebih masif dan merata agar program tersebut bisa lebih luas menjangkau masyarakat.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama dua tahun terakhir, Kartu Prakerja telah menjalankan fungsi ganda, yakni sebagai program peningkatan keterampilan dan perlindungan sosial bagi pekerja. Namun, di balik efektivitas program tersebut, masih tersisa tantangan serius dan pekerjaan rumah untuk mengatasi kesenjangan digital yang tajam di masyarakat.
Sejak pertama kali diterapkan pada April 2020 hingga Juni 2022, jumlah penerima manfaat Kartu Prakerja telah mencapai 13 juta orang di seluruh Indonesia. Sejumlah survei internal dan eksternal menunjukkan, program tersebut terbukti cukup berhasil dalam hal memfasilitasi peningkatan keterampilan sekaligus menyediakan bantalan sosial bagi masyarakat.
Laporan Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Tahun 2021 menunjukkan, per 15 Desember 2021, penerima Kartu Prakerja tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Cakupan kepesertaan masih lebih banyak terpusat di Pulau Jawa dan Sumatera, yakni dengan jumlah peserta di Jawa mencapai 2,43 juta orang dan di Sumatera mencapai 1,43 juta orang.
Sisanya, peserta di Kalimantan mencapai 616.500 orang, Sulawesi 606.600 orang, Maluku 181.500 orang, Papua 157.000 orang, Bali 152.800 orang, Nusa Tenggara Barat 152.800 orang, dan Nusa Tenggara Timur 119.100 orang.
Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B Hirawan mengatakan, di satu sisi, program Kartu Prakerja yang sudah berjalan dua tahun terakhir perlu diapresiasi sebagai contoh kebijakan inovatif yang berorientasi digital serta berbasis pada data untuk mengukur efektivitas keberhasilan program.
Namun, ia menilai, masih ada disparitas terkait cakupan kepesertaan program tersebut akibat sosialisasi yang kurang gencar dan pembangunan infrastruktur digital yang belum merata. Hal itu tampak dari sebaran wilayah kepesertaan yang masih lebih banyak terpusat di Jawa dan Sumatera.
Menurut dia, perlu ada sosialisasi dan pembangunan infrastruktur digital yang lebih masif dan merata agar program Kartu Prakerja ke depan bisa lebih luas menjangkau masyarakat. Hal ini bukan semata-mata tantangan bagi manajemen pelaksana Kartu Prakerja, melainkan pemerintah secara keseluruhan.
”Ini salah satu pekerjaan rumah terbesar. Untuk mendorong program ini lebih baik, harus diberi karpet merah. Infrastruktur digital harus lebih masif dan merata di seluruh wilayah dan literasi masyarakat juga harus ditingkatkan,” katanya dalam webinar ”Dua Tahun Perjalanan Kartu Prakerja Mentransformasi Layanan Publik: Capaian, Pelajaran, dan Strategi ke Depan”.
Masih ada disparitas terkait cakupan kepesertaan program akibat sosialisasi yang kurang gencar dan pembangunan infrastruktur digital yang belum merata.
Susah sinyal
Problem kesenjangan digital juga tampak dari kesaksian salah seorang peserta dari Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Narwadus Aprilanda Faot. Untuk mendaftar Kartu Prakerja, Narwadus yang berasal dari daerah pelosok harus pergi ke kota untuk mendapat sinyal internet yang cukup kuat.
”Kebetulan saya tinggal di perbatasan, jauh dari kabupaten. Di tempat kami belum ada tower internet sehingga jaringan internet tidak terlalu bagus. Untung saja perjuangan tidak sia-sia karena akhirnya lolos dan sekarang sudah diterima di perusahaan,” tuturnya.
Kesenjangan digital di Indonesia memang masih cukup tajam di tengah pesatnya digitalisasi. Mengutip kajian Bank Dunia, ”Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia” (2021), berdasarkan kelompok desil pengeluaran per kapita, 71 persen masyarakat yang terkoneksi internet di Indonesia masih berasal dari kelompok desil 10 (paling sejahtera).
Semakin rendah kelas ekonominya, semakin terputus ia dari akses internet. Hanya 33 persen masyarakat dari kelompok desil 5 yang terkoneksi dengan internet, 28 persen dari kelompok desil 4, sebesar 24 persen dari kelompok desil 3, sebesar 20 persen dari kelompok desil 2, dan hanya 14 persen dari kelompok desil 1.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes menambahkan, ke depan Kartu Prakerja juga perlu mengakomodasi program pelatihan berbasis rural yang relevan dengan kondisi lapangan kerja di perdesaan untuk mengantisipasi reurbanisasi. Hal itu sejalan dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa 62 persen peserta berasal dari daerah rural.
Ia juga menilai perlunya evaluasi dari sisi penyediaan lapangan kerja. ”Evaluasi dari sisi penyedia lapangan kerja dan sektor swasta menjadi penting untuk meningkatkan efektivitas dan kualitas program. Apakah mereka merasa ada perbedaan antara orang yang mengikuti program Kartu Prakerja dan yang tidak mengikuti program?” ujarnya.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari mengatakan, pihaknya terus melakukan perbaikan dan pengembangan. Salah satu terobosan yang sedang disiapkan saat ini adalah menyediakan opsi pelatihan secara tatap muka atau luring setelah dua tahun terakhir ini menjalankan pelatihan secara daring akibat pandemi.
Salah satu terobosan yang sedang disiapkan saat ini adalah menyediakan opsi pelatihan secara tatap muka atau luring.
”Ini semua sedang kami pikirkan masak-masak. Karena kalau (pelatihan) offline itu, kan, kami harus mengaudit sarana dan prasarananya, pelaksanaan pelatihannya, rasio pengajar dengan peserta, apakah akan terjadi pergeseran jam dan lokasi, dan lain-lain,” katanya.
Terkait eksekusinya, ia mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan oleh Komite Cipta Kerja di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Awalnya, pemerintah berencana akan menerapkan pelatihan tatap muka pada semester II tahun 2022.
”Kami tunggu aba-aba dari Pak Menko. Pada intinya kami siap menjalankan pelatihan offline. Yang jelas, harus baby steps dulu, harus sangat hati-hati. Tetapi, komitmen kami adalah hadir di sebanyak mungkin lokasi,” ujar Denni.
Meski menyediakan opsi pelatihan luring, pelatihan daring tetap tersedia. Hal itu karena dari berbagai hasil survei dan diskusi, lebih banyak peserta yang membutuhkan pelatihan daring.
Misalnya, peserta perempuan yang dapat mengikuti pelatihan sembari mendampingi anak di rumah serta peserta dari daerah kepulauan yang tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk menghadiri pelatihan luring di ibu kota provinsi. ”Oleh karena itu, ketika pelatihan offline hadir, pelatihan online tetap ada, sebagai pilihan bagi peserta,” ujar Denni.