Harga Tandan Sawit Belum Optimal, Pungutan Ekspor Dinilai Bukan Faktor Tunggal
Pungutan ekspor dinilai bukan menjadi faktor tunggal pemicu tertekannya harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani. Upaya lain diperlukan guna menderaskan arus ekspor minyak sawit mentah dan turunannya.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah pemerintah menghapus tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO dinilai belum berdampak signifikan pada kenaikan harga tandan buah segar atau TBS di tingkat petani. Patokan harga CPO yang rendah serta stok CPO yang masih melimpah di dalam negeri disinyalir menjadi faktor lain penyebab lambatnya kenaikan harga TBS.
Oleh karena itu, petani dan pelaku usaha sawit berharap pemerintah mengulik strategi dan kebijakan lain yang dapat memperlancar aliran ekspor CPO lebih deras guna menormalisasi harga produk hulu hingga hilir di pasar domestik.
Berdasarkan data yang dihimpun Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), harga rata-rata TBS sawit pada 19 Juli 2022 dari kebun petani swadaya adalah Rp 1.343 per kilogram. Harga TBS sawit petani swadaya terendah tercatat di Banten (Rp 1.200 per kg), Gorontalo (Rp 1.250 per kg), dan Sulawesi Tenggara (Rp 1.250 per kg).
Sebelum kebijakan penghapusan tarif pungutan ekspor diumumkan pada 14 Juli 2022, harga rata-rata TBS sawit dari kebun petani swadaya berada di level Rp 916 per kg.
Kenaikan harga TBS tidak signifikan disebabkan pungutan ekspor CPO bukanlah faktor tunggal penyebab tertekannya harga TBS di tingkat petani.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung, Rabu (20/7/2022), menyebutkan, secara umum harga TBS mengalami kenaikan, yakni Rp 50 per kg hingga Rp 150 per kg per hari. Namun, kenaikan itu belum ideal. Menurut dia, penghapusan pungutan ekspor sebesar Rp 3 juta per ton CPO atau Rp 3.000 per kg CPO idealnya tertransmisi pada terdongkraknya harga TBS sedikitnya Rp 1.000 per kg.
”Kenaikan harga TBS tidak signifikan disebabkan pungutan ekspor CPO bukanlah faktor tunggal penyebab tertekannya harga TBS di tingkat petani. Ada faktor lain yang justru lebih menekan harga TBS di petani, utamanya terkait patokan harga CPO di Indonesia,” ujarnya.
Gulat menjelaskan, selama ini terdapat tiga patokan harga CPO Indonesia, yakni data yang bersumber dari Kementerian Perdagangan, bursa di Rotterdam, dan tender PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). Menurut dia, jika harga CPO menggunakan referensi harga Rotterdam atau tender KPBN, petani akan merugi karena harga CPO di keduanya lebih rendah dari referensi harga Kementerian Perdagangan.
Pada 13 Juli 2022, misalnya, jika menggunakan harga CPO versi Kementerian Perdagangan sebagai patokan, harga TBS di tingkat petani bisa mencapai Rp 3.380 per kg. Sementara jika berpatokan pada harga CPO hasil tender KPBN atau Rotterdam, harga TBS di tingkat petani masing-masing hanya Rp 2.200 per kg dan Rp 2.150 per kg.
Di luar kenaikan harga TBS yang belum signifikan, Gulat mengapresiasi upaya pemerintah dalam membuka keran ekspor sawit. Menurut dia, percepatan ekspor sangat penting lantaran panen TBS sawit dengan volume tinggi diproyeksikan terjadi pada Agustus 2022. Artinya, ada potensi TBS sawit tidak terserap oleh pabrik pengolah kelapa sawit dengan kondisi fasilitas penyimpanan saat ini.
Apkasindo mengalkulasi stok CPO di Indonesia pada akhir Juli 2022 mencapai 10,9 juta ton. Jumlah stok tersebut 3-5 kali lipat dari rata-rata volume ekspor per bulan yang mencapai 2-3 juta ton. ”Dengan demikian, dibutuhkan waktu minimal tiga bulan untuk mengosongkan stok CPO di tangki dalam negeri,” ujar Gulat.
Saat dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menilai, untuk mempercepat ekspor CPO, pemangku kebijakan perlu mengeluarkan strategi lain selain penghapusan pungutan ekspor.
Ia mengusulkan agar pemerintah juga menghentikan sementara kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar domestik (DMO), termasuk soal penentuan kewajiban harga domestik (DPO) sementara atau hingga stok CPO domestik 3-4 juta ton per bulan.
”Relaksasi aturan DMO dan DPO saya perkirakan dapat menggandakan volume ekspor CPO pada Agustus 2022 menjadi 6 juta ton. Lancarnya ekspor harus menjadi perhatian utama karena kondisi stok sedang abnormal,” kata Eddy.
Sebelum menetapkan penghapusan pungutan ekspor, pemerintah menempuh beberapa cara untuk mendongkrak ekspor CPO dan produk turunannya. Langkah itu, antara lain, ditempuh dengan memberikan insentif ke eksportir, yakni dari tiga kali lipat menjadi lima kali lipat dari pemenuhan DMO bagi perusahaan yang menyalurkan minyak goreng curah bersubsidi. Pemerintah juga mengizinkan pemindahtanganan hak ekspor itu ke perusahaan lain sebanyak satu kali.
Sementara perusahaan non-peserta program Subsidi Minyak Goreng Curah juga dapat mempercepat ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya. Syaratnya, mereka harus membayar biaya tambahan sebesar 200 dollar AS per ton kepada pemerintah di luar pungutan ekspor dan bea keluar yang berlaku.
Hapus pungutan
Kebijakan tentang tarif nol pungutan ekspor tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103 Tahun 2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam revisi aturan disebutkan tarif pungutan ekspor produk CPO dan turunannya menjadi nol berlaku 15 Juli sampai 31 Agustus 2022. Lalu, mulai 1 September 2022, berlaku kembali tarif maksimal 240 dollar AS per ton ketika harga CPO di atas 1.500 dollar AS per ton dengan tarif progresif sesuai harga.
Dalam keterangan tertulis, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, keputusan otoritas fiskal menghapus sementara pungutan ekspor bertujuan meningkatkan ekspor CPO agar bisa lebih cepat sekaligus meningkatkan harga TBS sawit di tingkat petani.
Dalam konteks untuk merespons kenaikan harga CPO dan minyak goreng, pemerintah telah berupaya mengendalikan CPO yang bertujuan menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng, profit usaha yang adil, keberlanjutan program B30, dan kesejahteraan petani.
”Saat ini, ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng curah di pasar-pasar tradisional di beberapa wilayah, khususnya Jawa, sudah tercapai sehingga pemerintah memutuskan untuk menerbitkan kebijakan pelengkap untuk mendorong ekspor,” kata Febrio.