Pemerintah didesak segera merealisasikan kompensasi dan bantuan kepada peternak yang terdampak penyakit mulut dan kuku. Beban peternak berlipat karena pada saat yang sama harga bahan pokok dan kebutuhan sehari-hari naik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
ANDY RIZA HIDAYAT
Pedagang membawa sapi ke truk di area Pasar Hewan Tanah Merah, Bangkalan, Jawa Timur, Sabtu (18/6/2022). Transakai hewan ternak di pasar ini menurun selama wabah penyakit mukut dan kuku melanda.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI mendorong pemerintah segera merealisasikan pemberian kompensasi dan bantuan bagi peternak yang hewannya mati akibat penyakit mulut dan kuku. Hal itu akan mengurangi beban peternak di tengah kenaikan harga bahan pokok dan sejumlah kebutuhan sehari-hari. Namun, Kementerian Pertanian menyebut anggaran terkait hal itu belum turun.
Aturan terkait kompensasi dan bantuan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 518 Tahun 2022 tentang Bantuan dalam Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang ditetapkan pada 7 Juli 2022. Keputusan menteri itu antara lain mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Peraturan Pemerintah No 47/2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan.
Dalam keputusan itu disebutkan, pendepopulasian ditempuh melalui pemotongan hewan bersyarat (test and slaughter) dan pemusnahan populasi (stamping out). Kompensasi diberikan jika hewan yang didepopulasi merupakan hewan sehat yang berpotensi menularkan PMK pada hewan. Sementara hewan yang mati akibat PMK atau tertular PMK dan dikenai tindakan pemotongan bersyarat dapat diberikan bantuan.
Sementara dalam lampiran keputusan itu, pada kriteria wilayah, disebutkan wilayah yang diberikan kompensasi ialah wilayah atau kawasan (pulau) yang merupakan zona hijau. Sementara yang diberikan bantuan ialah wilayah atau kawasan zona merah. Adapun besarannya ditetapkan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian.
Anggota Komisi IV DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Hermanto, saat dihubungi, Minggu (17/7/2022), mengatakan, kompensasi dan bantuan bagi peternak penting. Pasalnya, peternak memerlukan waktu lama untuk membesarkan ternaknya, yakni hingga lebih dari dua tahun, dengan biaya sendiri. Apabila ternak mati, modal dan penghasilan mereka hilang.
”Kami meminta pemerintah segera merealisasikan kompensasi dan bantuan bagi peternak yang terdampak PMK. (Wabah) PMK ini berdampak pada ekonomi mereka. Dengan kehilangan penghasilan, daya beli menurun, sedangkan saat ini harga sejumlah bahan pokok sedang naik luar biasa. Peternak harus terus disemangati,” kata Hermanto.
Apalagi, lanjut Hermanto, apa yang dialami oleh para peternak, dengan turut terdampak wabah PMK, bukan kesalahan mereka. Beban semakin berat jika semua beban tersebut harus ditanggung sendiri sehingga kompensasi dan bantuan dari pemerintah harus segera dilaksanakan. Di sisi lain, vaksinasi juga mesti digenjot dan pengawasan lalu lintas hewan ternak mesti ditingkatkan guna mencegah penularan PMK lebih luas.
Saat dikonfirmasi terkait sejauh mana sosialisasi dan pelaksanaan Kepmentan No 518/2022, Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementan, Nuryani Zainuddin menjawab singkat, ”Menunggu anggarannya turun,” katanya lewat pesan singkat, Minggu. Saat ditanya mengenai penetapan besaran kompensasi ataupun bantuan bagi peternak, ia tidak merespons.
Sebelumnya, setelah mengikuti rapat terkait penanganan dan pengendalian PMK yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada Kamis (23/6), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah menyetujui ganti rugi sapi Rp 10 juta dari setiap sapi yang terpaksa dimusnahkan (Kompas, 24 Juni 2022).
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud saat ditanya di sela-sela sosialisasi peraturan terkait pupuk bersubsidi, di Jakarta, Jumat (15/7/2022), mengatakan, Rp 10 juta ialah nominal maksimal. ”Ada formulasi-formulasinya (oleh Kementan). Tergantung (bobot) besar kecil sapinya,” kata Musdhalifah.
ALBERDI DITTO PERMADI
Kondisi sapi-sapi milik Pujo Santoso yang terjangkit PMK, di Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (18/6).
Rancu
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Ali Usman, Minggu, menilai, sejumlah diktum dalam Kepmentan No 518/2022 rancu dan perlu diperjelas. Di antaranya mengenai kriteria sasaran ternak untuk dikompensasi, yakni ”hewan sehat yang berpotensi menularkan PMK”. Selain itu, kerancuan juga ada pada sumber dana pemberian, apakah APBN, APBD provinsi, atau APBD kabupaten/kota.
Pasal 44 Ayat (3) UU No 18/2009 tentang PKH memang menyebutkan bahwa pemerintah tidak memberi kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan. Sementara pada ayat (4) pasal itu disebutkan, pemerintah memberi kompensasi bagi hewan sehat, yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi.
Adapun dalam penjelasan atas UU itu disebutkan, yang dimaksud ”tidak memberikan kompensasi” ditujukan kepada hewan tertular penyakit hewan menular eksotik. Sementara yang dimaksud ”pemerintah memberi kompensasi bagi hewan sehat” adalah jika penyakit itu bukan penyakit hewan menular eksotik, contohnya brucellosis dan anthrax.
Menurut PP No 47/2014, penyakit hewan eksotik adalah penyakit yang belum pernah ada atau sudah dibebaskan di suatu Wilayah atau di seluruh wilayah NKRI. Adapun PMK, dalam Kepmentan No 4.026/2013 telah ditetapkan sebagai salah satu penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang bersifat eksotik, seperti disebutkan dalam Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Ditjen PKH Kementan Edisi 3.1.
Sederet regulasi tersebut, kata Ali, rancu dan cenderung multitafsir. ”Diperlukan peran peternak dan asosiasi untuk mendorong pemerintah untuk merevisi aturan tersebut. Jika rancu seperti itu, dana kompensasi berpotensi tidak tepat sasaran. Juga berpotensi pula disalahgunakan,” katanya.
Terkait PMK, menurut dia, para peternak tidak tahu apa-apa, kemudian virus menyerang tiba-tiba hewan ternaknya. ”Ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebab, bagaimanapun, pemerintahlah yang harus bertanggung jawab karena telah gagal mencegah masuknya PMK dan mengendalikannya agar tak menyebar lebih luas,” ucapnya.
Ketua Umum Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat, Aun Gunawan mengatakan, begitu mendengar pernyataan resmi pemerintah ada penggantian Rp 10 juta, para peternak antusias. Namun, jika memang ada sejumlah syarat lewat regulasi yang ada, peternak hanya bisa pasrah.
Di sisi lain, khusus sapi perah, ia sebenarnya mendorong pemerintah mengimpor sapi indukan yang bunting 3-5 bulan, yang saat ini harganya berkisar Rp 40 juta-Rp 45 juta per ekor. Peternak bersedia membeli kepada pemerintah asalkan disubsidi 50 persen.
Hal tersebut penting karena menyangkut produksi susu segar nasional. ”Kalau dikasih uang atau lewat (fasilitas) kredit usaha rakyat (KUR) untuk beli sapi, dari mana sapinya? Sebelum ada PMK saja, kontribusi pemenuhan kebutuhan susu segar nasional hanya 20-22 persen (selebihnya impor). Kalau populasi dan produksi berkurang, mungkin turun terus hingga hanya 15 persen,” katanya.