Transisi ke Ekonomi Sirkular Perlu Perencanaan Matang
Transisi menuju ekonomi berkelanjutan menjadi hal mutlak yang tidak dapat ditunda. Kebutuhan itu semakin mendesak di tengah masalah lingkungan yang semakin kompleks. Namun, implementasinya butuh perencanaan matang.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Ekonomi sirkular membawa manfaat besar bagi perekonomian, seperti mendongkrak produk domestik bruto, mengurangi sampah dan emisi, serta menambah lapangan kerja baru. Transisi ke ekonomi berkelanjutan ini perlu direncanakan dengan matang untuk menekan efek samping yang bisa merugikan pekerja dan kelompok masyarakat rentan.
Mengacu pada kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jika digarap dengan sungguh-sungguh, pendekatan sirkular di lima sektor prioritas nasional diperkirakan bisa menghasilkan keuntungan ekonomi, lingkungan, dan sosial yang besar pada tahun 2030.
Kelima sektor itu adalah makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan grosir dan eceran, serta peralatan elektrik dan elektronik.
Dari sisi ekonomi, pendekatan sirkular berpotensi menghasilkan tambahan produk domestik bruto (PDB) nasional Rp 593 triliun-Rp 638 triliun pada tahun 2030. Dari sisi lingkungan, ekonomi sirkular dapat mengurangi limbah di setiap sektor sebesar 18-52 persen. Sementara, dari sisi sosial, ekonomi sirkular diperkirakan bisa menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Rabu (13/7/2022), kendati menyimpan potensi besar bagi perekonomian dunia, pendekatan sirkular belum diseriusi oleh banyak negara. Sampai sekarang, hanya 8,6 persen negara di dunia yang menerapkan ekonomi sirkular secara intensif di sektor industrinya.
”Menerapkan ekonomi hijau, biru, dan sirkular, itu memang peluang sekaligus tantangan. Ada banyak keseimbangan yang harus dijaga. Kita harus melibatkan banyak pemangku ketimpangan, belum lagi isu pembiayaan yang jadi tantangan,” ujarnya pada sesi seminar di forum Pertemuan Tingkat Sherpa G20 Ke-2 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, dari hasil survei Bappenas terhadap sejumlah perusahaan dalam negeri, pendekatan sirkular belum banyak dirilik sektor swasta. Beberapa penyebabnya adalah kesulitan mengubah kebiasaan dan standar produksi, kurangnya infrastruktur, kurangnya kebijakan dan aturan mengikat, serta minimnya modal.
”Pemerintah telah berupaya menyusun kebijakan yang tepat untuk mengimplementasikan ekonomi sirkular. Namun, kita masih harus belajar banyak pada kesuksesan negara lain. Kebijakan ke arah situ sudah ada, tetapi memang masih berproses,” katanya.
Efek samping
Di sisi lain, menurut dia, transisi menuju ekonomi berkelanjutan memerlukan perencanaan yang matang. Dengan demikian, efek samping dari transisi tersebut tidak merugikan kelompok masyarakat yang paling rentan serta kelompok pekerja.
Dari hasil survei Bappenas terhadap sejumlah perusahaan dalam negeri, pendekatan sirkular belum banyak dirilik sektor swasta.
Pasalnya, selain berpotensi memunculkan jutaan lapangan kerja baru, transisi menuju ekonomi berkelanjutan juga berpotensi mematikan sejumlah pekerjaan lama. ”Dalam setiap perubahan dan transisi ada cost yang harus dibayar. Yang harus dipastikan adalah selama masa transisi itu, pemerintah memberikan intervensi yang tepat untuk menekan hal itu terjadi,” katanya.
Aspek utama yang dari sekarang harus disiapkan pemerintah adalah memastikan sumber daya manusia (SDM) telah siap untuk menyambut transisi ekonomi berkelanjutan itu. Perlu ada peningkatan kapasitas dan keterampilan pekerja secara masif untuk bisa mengisi jutaan lapangan kerja yang baru yang dimunculkan oleh ekonomi hijau, biru, dan sirkular.
”Keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar kerja ke depan akan berbeda dari sekarang sehingga kebijakan ketenagakerjaan di sini menjadi sangat penting. Kebijakan itu pun harus langsung ditujukan ke kelompok rentan yang paling berpotensi tertekan dengan adanya transisi ekonomi ini,” ujar Amalia.
Meski demikian, transisi menuju ekonomi berkelanjutan menjadi hal mutlak yang tidak dapat ditunda. Kebutuhan itu kian mendesak di tengah masalah lingkungan yang semakin kompleks. Pada tahun 2021, emisi karbon di tingkat global meningkat hingga 6 persen menjadi 36,3 miliar ton, mencapai level tertinggi.
Meski demikian, transisi menuju ekonomi berkelanjutan menjadi hal mutlak yang tidak dapat ditunda. Kebutuhan itu kian mendesak di tengah masalah lingkungan yang semakin kompleks.
Dalam 30 tahun terakhir, penggunaan plastik pun semakin berlipat ganda. Riset oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), pada periode 2000-2019, maraknya pabrik manufaktur membuat sampah plastik naik dua kali lipat dari 234 juta ton menjadi 460 juta ton. Kendati demikian, hanya 9 persen dari sampah plastik tersebut yang didaur ulang.
Pembiayaan
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, selain untuk mengantisipasi efek samping yang merugikan atau trade-off dari proses transisi tersebut, rencana matang juga dibutuhkan untuk memastikan peralihan ekonomi berkelanjutan itu dapat benar-benar diterapkan.
Ia secara khusus menyoroti kurangnya dukungan finansial untuk menerapkan konsep sirkular itu di Indonesia. ”Ekonomi hijau, biru, dan sirkular ini tidak mudah. Kita perlu dukungan finansial yang bukan hanya bersifat business as usual, tetapi dengan kerangka yang harmonis dan melibatkan semua pihak, pemerintah, sektor swasta, dan komunitas global,” katanya.
Salah satunya dengan memanfaatkan platform seperti G20 sebagai wadah untuk mewujudkan kerangka dan peta jalan transisi ekonomi berkelanjutan serta dukungan pembiayaan untuk mendorong peralihan tersebut, khususnya di negara-negara berkembang.
”Semoga forum ini menjadi platform konkret untuk mendorong skema pembiayaan blended finance bagi ekonomi berkelanjutan, seperti lewat dukungan perbankan secara multilateral. Selain itu juga untuk mendorong sistem dan kebijakan dagang global yang selaras dengan konsep ekonomi berkelanjutan,” tutur Yose.