Berdasarkan data Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, pada akhir 2021, panas bumi menjadi jenis energi terbarukan kedua terbesar dalam bauran nasional, dengan 5,54 persen, atau setelah hidro yang 6,78 persen.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panas bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia dan dapat menjadi pemikul beban dasar pembangkit listrik di masa mendatang. Namun, ada tantangan penyumbatan pipa akibat endapan silika yang akan membutuhkan upaya lebih dalam pemeliharaan.
Ahli pembangkitan listrik energi panas bumi, yang juga mantan direksi PT Geo Dipa Energi (Persero), Dodi Herman, mengatakan, lapangan panas bumi memiliki karakteristik masing-masing. Ada yang berkarakter dua fase yang berarti lebih besar kandungan air panas ketimbang uapnya sehingga memerlukan peralatan lebih lengkap, seperti separator. Di sisi lain, ada lapangan yang didominasi oleh uap panas.
Lapangan panas bumi di Dieng, Jawa Tengah, adalah contoh berkarakter dua fase. ”(Tipe ini), penurunan produksi reservoirnya cenderung lebih kecil dibandingkan yang didominasi uap. Namun, kekurangannya adalah butuh lebih banyak peralatan dan perlu lebih besar upaya pemeliharaannya,” kata Dodi dalam webinar ”Maintenance Strategy in Renewable Energy” yang digelar PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) secara hibrida, Rabu (13/7/2022).
Dodi menambahkan, pada karakter lapangan seperti itu, mineral jenis silika terbawa dan bersifat mengendap. Apabila melewati pipa, endapannya akan menempel dan menimbulkan kerak. Hal tersebut membutuhkan strategi dalam pemeliharaan yang besar. Perlu perlakuan khusus pada peralatan yang digunakan dibandingkan lapangan yang dominan uap.
Direktur Teknik Ormat Technologies Indonesia Remi Harimanda mengemukakan, pengendapan (scaling) memang menjadi hal yang paling ditakutkan pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Hal tersebut dapat terjadi jika fluida benar-benar kotor, seperti yang terjadi di Dieng. Kandungan silika yang tinggi menyebabkan terjadinya pengendapan hingga masuk separator dan menjadi masalah krusial.
”Salah satu hal tindakan untuk menghindari scaling ini adalah dengan menurunkan derajat keasaman (pH) sehingga akan mencegah pengendapan silika dalam waktu cepat. Jadi tidak mengendap seketika, tetapi butuh waktu,” ujar Remi.
Ia menambahkan, PLTP tidak berdampak langsung pada lingkungan. Namun, dari penampakan bagi orang awam terlihat seperti ada banyak asap yang keluar. ”Sementara orang tahunya asap itu polutan. Padahal itu adalah air,” lanjutnya.
Menurut Dodi, strategi pada pemeliharaan di PLTP ujungnya adalah produktivitas yang tinggi dengan biaya seefisien mungkin. ”Pertanggungjawaban perusahaan, termasuk laba, juga tak terlepas dari strategi pemeliharaan. Ada perspektif finansial karena peningkatan produksi akan berdampak pada laba perusahaan itu sendiri,” jelasnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2021, panas bumi menjadi jenis energi terbarukan kedua terbesar dalam bauran energi nasional, dengan 5,54 persen, atau setelah hidro yang 6,78 persen. Angka porsi energi panas bumi itu meningkat dari 2015, yakni 4,34 persen.
Potensi besar
Vice President Energi Panas Bumi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Hendra Yu Tonsa menuturkan, sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, pengembangan panas bumi diharapkan akan mencapai 3,4 gigawatt (GW). Panas bumi potensial karena potensi di Indonesia adalah kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.
”Hingga kini panas bumi baru memanfaatkan fluida dengan temperatur tinggi sehingga masih ada potensi untuk pengembangan panas bumi dengan pembangkit-pembangkit yang sudah. Dan berdasarkan data Kementerian ESDM, wilayah eksplorasi panas bumi ke depan adalah medium to low enthalpy,” ujar Hendra.
Ia menambahkan keunggulan energi panas bumi adalah terbarukan dan berkelanjutan. Ke depan, akan terus diupayakan agar selain ramah lingkungan, PLTP juga andal, yang juga berarti efektif dan efisien. Guna mewujudkan hal tersebut diperlukan strategi pemeliharaan PLTP yang tepat.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, Indonesia memiliki kekayaan potensi energi terbarukan. Salah satunya panas bumi, yang tersebar pada kawasan cincin api (ring of fire) meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
Menurut dia, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) menjadi prioritas karena pengembangannya singkat dan biaya investasi yang semakin murah. ”Meski demikian, pembangkit listrik energi terbarukan yang andal untuk dimanfaatkan sebagai base load (pemikul beban dasar) ialah panas bumi. (Itu) dengan capacity factor tinggi dan kemampuan beroperasi 24 jam tanpa baterai,” kata Dadan.