Pembatasan Harga Dinilai Bukan Opsi Terbaik Tekan Impor Barang
Upaya menekan arus impor barang melalui platform e-dagang disarankan tidak menggunakan opsi pembatasan harga minimal. Pemerintah bisa menempuh opsi lain, seperti pembatasan nomenklatur klasifikasi barang atau kode HS.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah membatasi harga minimal produk impor yang dijual secara daring dinilai kurang tepat. Wacana itu justru dikhawatirkan memicu diskriminasi layanan jual beli barang secara luring dan daring kepada konsumen atau pedagang.
Sebelumnya, dalam pertemuan media, Senin (13/6/2022) malam, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menyatakan, produk atau merek buatan dalam negeri seharusnya tidak kalah dengan produk dari luar negeri. Dalam rencana regulasi tata laksana perdagangan secara elektronik (e-dagang) yang sedang digodok, Kementerian UKM bersama Kementerian Perdagangan berencana memasukkan substansi pembatasan harga minimal produk impor yang bisa dijual secara daring, misalnya di atas 100 dollar AS per unit.
”Harga produk buatan luar negeri di bawah 100 dollar AS boleh masuk Indonesia, tetapi lewat importasi konvensional. Tidak lewat daring. Anggaplah, harga produk di bawah 100 dollar AS, produsen Indonesia harus mampu memproduksinya,” kata Teten.
Rencana memasukkan ketentuan itu di dalam regulasi akan disertai dengan komitmen kementerian/lembaga bersama swasta meningkatkan kualitas produk produksi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira saat dihubungi, Selasa (14/6/2022), di Jakarta, berpendapat, wacana itu berpotensi membuat Indonesia digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Adanya pembatasan harga minimal produk impor yang dijual di lapak daring merupakan kebijakan yang diskriminatif.
Pada saat yang sama, konsumen biasanya membeli barang di platform digital sesuai keragaman kebutuhan dan keinginan mereka. Dia mengamati, sebagian konsumen Indonesia membutuhkan barang dengan harga di bawah 100 dollar AS dan barang bersangkutan hanya bisa ditemukan di platfrom digital. Mereka sering kali tidak membedakan impor atau buatan dalam negeri.
”Dari sisi pedagang, pemerintah sempat menyebut ingin mendorong UMKM berjualan daring. Jika wacana pembatasan harga minimal diberlakukan, hal ini akan menjadi disinsentif bagi UMKM,” kata Bhima.
Pemerintah bisa memakai opsi lain untuk menekan arus impor barang melalui platform digital.
Apabila menginginkan arus barang impor melalui platform digital ditekan, dia memandang, pemerintah bisa memakai opsi lain. Sebagai contoh pembatasan harmonized system code (HS Code) atau nomenklatur klasifikasi barang. Dengan opsi ini, pemerintah terlebih dulu memetakan mana kategori barang yang menjadi fokus pemerintah untuk ditingkatkan daya saingnya.
Bhima mencontohkan produk mode bersahaja atau modest fashion. Pemerintah Indonesia pun sedang gencar memajukan daya saing ekonomi syariah yang salah satunya melalui produk mode bersahaja. Maka, seluruh produk impor jenis itu dikenai pembatasan untuk masuk ke pasar Indonesia.
”Bentuk pembatasannya berupa menaikkan bea masuk sesuai HS Code produk mode bersahaja yang pemerintah inginkan dan bea masuk antidumping. Cara seperti ini juga membutuhkan pengawasan tinggi, tetapi lebih adil dibandingkan pemerintah memukul rata pembatasan melalui harga minimal,” kata Bhima.
Opsi lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah, kata Bhima, adalah bekerja sama dengan pemilik platform digital untuk membatasi barang impor. Para pemilik platform dapat diminta untuk mengembangkan algoritma atau semacam pengaturan teknis yang membuat produk lokal selalu menonjol. Opsi ini mirip dengan upaya perusahaan media sosial mengembangkan algoritma penghapusan pencarian tawaran jual beli hewan.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga mengatakan, idEA sedang mempelajari rencana pemerintah itu. IdEA belum dapat memberikan tanggapan.
Berdasarkan laporan riset e-Economy SEA 2021 yang dirilis oleh Google, Bain & Company, dan Temasek, nilai ekonomi internet Indonesia yang dihitung menurut ukuran nilai barang dagangan mencapai 70 miliar dollar AS pada tahun 2021. Laporan yang sama memperkirakan nilai ekonomi internet Indonesia naik dua kali lipat menjadi 146 miliar dollar AS pada tahun 2025.
Sementara dalam pertemuan media kemarin malam, Teten dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan beberapa data/kajian terkait e-dagang. Pertama, sesuai data internal Kementerian Koperasi dan UKM bersama idEA per Juni 2022, terdapat sekitar 19 juta UMKM berpraktik jualan daring. Kedua, berdasarkan data Bank Indonesia, nilai transaksi e-dagang diproyeksikan mencapai Rp 526 triliun pada 2022.
Ketiga, belum ada kategori/label khusus untuk membedakan UMKM reseller ataupun produsen di platform e-dagang. Berdasarkan hasil pengamatan pemerintah, sebagian besar profil UMKM yang menggunakan platform e-dagang merupakan reseller. Keempat, sesuai kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tahun 2021, masih banyak produk impor dijual di platform e-dagang.